BANDUNG – �Pelaksanaan Pilkada langsung yang sudah berlangsung di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir dinilai menimbulkan biaya (cost) yang sangat banyak. Akibatnya, banyak kepala daerah berlomba �korupsi� untuk �menarik pulang� uang yang sudah dikeluarkan selama proses pemilihan.

Karena alasan itu, Asosiasi DPRD kabupaten/kota seluruh Indonesia (Adkasi) mengusulkan kepada pemerintah dan DPR agar pelaksanaan Pilkada tidak lagi dilakukan secara langsung, tapi dilakukan di DPRD.

“Pola pilkada sekarang ini membuat cost politik menjadi mahal. Karenanya dalam rapat pleno di Mamuju, Sulawesi Barat, Kamis (8 Februari 2018), Adkasi menelorkan rekomendasi agar pilkada dilakukan di DPRD,” kata Wakil Ketua Umum Adkasi, Samsul Ma’arif, di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat (KBB) Jumat (9/2/2018).

Menurut dia, total ada tujuh rekomendasi yang dihasilkan dalam rapat tersebut dan nantinya akan dibawa ke Rakernas Adkasi bulan depan di Jakarta yang rencananya akan dihadiri Presiden Joko Widodo. Rekomendasi lain yang tak kalah penting adalah tuntutan mengangkat tenaga honorer yang bekerja di instansi pendidikan menjadi CPNS melalui perubahan UU ASN.

Samsul yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD KBB ini menilai, perubahan regulasi pemilihan kepala daerah sangat penting. Sebab dengan biaya tinggi maka implikasinya masyarakat menjadi pragmatis, kondisi sosial rawan konflik, serta calon yg terpilih mudah terperangkap korupsi.

Fakta menunjukkan, sudah ada sekitar 350-an kepala daerah di Indonesia yang tersandung kasus korupsi. Bahkan lebih memalukan lagi banyak di antara mereka yang tertangkap tangan KPK. Ini dicurigai karena pada akhirnya mereka melakukan berbagai cara agar cost politik yang sudah dikeluarkan kembali tergantikan dengan cepat.

“Istilahnya balik modal dulu. Ini yang bahaya karena kerja dari kepala daerah menjadi tidak fokus ke rakyat dan lebih mementingkan dapur pribadinya dulu,” ucap politisi PPP ini.(wib)