Oleh: Iqbal Almuntarie *)
JALAN menjadi objek yang selalu menarik perhatian masyarakat setiap waktunya sebagai cerminan baik atau tidaknya pengelolaan infrastruktur oleh pemerintah. Penggunaan jalan yang masif membuat kerusakan sekecil apa pun mudah terlihat dan sering memicu anggapan bahwa pemerintah tidak mengelola anggaran, termasuk dari penerimaan pajak, secara bertanggung jawab karena tidak diimbangi dengan perbaikan infrastruktur.
Sejatinya benar, bahwa secara umum sesuai Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (UU Jalan), jalan dikuasai oleh negara di mana pemerintah sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara mempunyai kewenangan mengelola prasarana jalan.
Sepantasnya ketika luapan emosional masyarakat pecah akibat kerusakan jalan, pemerintah menjadi pihak yang teradili. Walaupun kemudian timbul pertanyaan, pemerintah yang mana? Pusat, provinsi, kabupaten/kota, atau bahkan desa?
Ketidaktahuan masyarakat berpotensi dimanfaatkan sebagai celah bagi pemerintah untuk menghindari tanggung jawabnya dalam menyediakan layanan jalan yang optimal. Alasan bahwa jalan tersebut bukan tanggung jawabnya adalah hal klise pertama yang dikeluarkan, dilanjutkan ketika alasan tersebut tidak dapat dipakai, maka keterbatasan anggaran menjadi pilihan.
Fokus untuk pihak yang bertanggung jawab terhadap jalan, masyarakat layak untuk diberi edukasi yang menyeluruh sehingga ke depannya, pelaporan terhadap ketidaklaikan kualitas jalan tepat sasaran. Hal ini guna menghindari kritik masyarakat yang hanya fokus menyasar kepada kepala daerah tertentu atas dasar intensi personal yang tidak objektif, tanpa menjustifikasi secara aturan, siapa sebenarnya penanggung jawab dari jalan tersebut.
Desentralisasi dan Kesenjangan Kapasitas
UU Jalan telah mengatur secara jelas bahwa jalan diklasifikasikan menurut statusnya ke dalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan kota, jalan kabupaten, dan jalan desa. Masing-masing dari status jalan tersebut memiliki penanggung jawabnya.
Jalan nasional oleh presiden, dalam hal ini melalui Kementerian Pekerjaan Umum, jalan provinsi oleh pemerintah provinsi, jalan kota oleh pemerintah kota, jalan kabupaten oleh pemerintah kabupaten, dan jalan desa oleh pemerintah kabupaten beserta dengan pemerintah desa.
Pengaturan ini merupakan amanat dari otonomi daerah, dengan mendesentralisasi pengelolaan jalan guna mendorong kemajuan melalui kemandirian daerah. Namun dalam praktiknya, masih banyak pemerintah daerah yang belum memiliki kapasitas memadai untuk menjalankan tanggung jawab tersebut.
Berkaca pada kondisi di Provinsi Lampung, sebagaimana disampaikan oleh Gubernur Lampung pada Juni 2025, panjang jalan nasional di wilayah tersebut mencapai sekitar 1.300 km, dengan tingkat kemantapan sebesar 94%. Jalan provinsi tercatat sepanjang 1.700 km, dengan tingkat kemantapan 78%. Sementara itu, jalan kabupaten/kota mencapai 17.000 km, namun hanya 50% dalam kondisi mantap. Adapun jalan desa memiliki panjang sekitar 24.000 km, dengan tingkat kemantapan yang lebih rendah, yakni 30%.
Dari fakta tersebut, terdapat dua hal yang dapat diperhatikan. Pertama, kritik masyarakat tampaknya keliru sasaran. Sebagian besar kerusakan terjadi pada jalan kabupaten/kota, yang seharusnya menjadi tanggung jawab bupati atau wali kota, bukan semata-mata gubernur.
Kedua, kondisi ini menggarisbawahi kelemahan desentralisasi dalam tata kelola penyelenggaran jalan. Terlihat bahwa semakin kecil lingkup pemerintahan, semakin menunjukkan keterbatasan kapasitas yang berpengaruh pada kemandirian pemerintah dalam pengelolaan jalan.
Peningkatan Kapasitas Daerah
Semestinya, setiap penyerahan urusan jalan kepada provinsi dan kabupaten/kota telah disertai dengan anggaran yang memadai, dari pusat. Untuk memastikan hal tersebut, pendataan terhadap kondisi jalan rusak mesti dilakukan secara terbuka dan rutin sebagai dasar menentukan kebutuhan alokasi anggaran tahunan secara lebih akurat sehingga dapat memperkuat tanggung jawab pengelolaan antar tingkat pemerintahan.
Dengan mengomparasikan tingkat kerusakan untuk jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, Kementerian Keuangan dapat mempertimbangkan hasil tersebut dalam menetapkan besaran Pendapatan Transfer Pemerintah, sebagai bagian dari APBD, agar kapasitas APBD pemerintah daerah tidak jauh dari kebutuhan yang memang diperlukan. Dengan demikian, porsi anggaran untuk pengelolaan jalan tidak lagi terpusat pada kementerian teknis di tingkat pusat, melainkan dapat lebih merata ke pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Pendekatan penganggaran ini bertujuan untuk menghindari pengalihan kewenangan sepihak yang kerap terjadi. Selain kasus pengambilalihan jalan provinsi di Lampung oleh pemerintah pusat, terdapat pula kasus kabupaten/kota yang mengusulkan agar tanggung jawab infrastruktur dikembalikan ke pemerintah provinsi.
Fakta ini mencerminkan ironi. Padahal pemberian otonomi daerah diberikan agar daerah dapat meningkatkan layanan publik secara lebih cepat, termasuk dalam pengelolaan infrastruktur jalan, yang diharapkan mampu mengakselerasi kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, tidak sedikit daerah yang merasa tidak mampu menjalankan amanat tersebut, meskipun janji politik terkait perbaikan jalan sering dijadikan janji kampanye oleh kepala daerah.
Oleh karena itu, agar keterbatasan anggaran tidak terus dijadikan alasan atas lemahnya implementasi desentralisasi dalam pengelolaan jalan, terdapat setidaknya lima langkah yang dapat dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskal:
- Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Reprioritisasi Anggaran
Salah satu pendekatan mendasar untuk meningkatkan APBD adalah dengan mengoptimalkan PAD melalui inovasi dalam penggalian potensi lokal, pengelolaan aset yang lebih efisien, dan peningkatan layanan publik yang berorientasi pada pendapatan.
Upaya ini kemudian diiringi dengan penyusunan anggaran yang cermat, termasuk reprioritisasi belanja untuk pengelolaan jalan, tentu tanpa mengorbankan layanan publik yang juga esensial.
- Dana Alokasi Khusus (DAK)
Pemerintah daerah dapat mengajukan DAK fisik dari pemerintah pusat untuk membiayai pembangunan dan perbaikan jalan, sepanjang sejalan dengan program prioritas nasional.
- Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU)
Pemerintah daerah dapat bermitra dengan swasta melalui skema KPBU untuk mengatasi keterbatasan anggaran belanja modal. Pembayaran oleh pemerintah kepada badan usaha pelaksana kemudian dilakukan secara bertahap melalui mekanisme Availability Payment, yaitu skema pembayaran berkala oleh pemerintah berdasarkan ketersediaan layanan infrastruktur yang memenuhi standar kualitas tertentu.
- Pembiayaan melalui Pinjaman
Hanya untuk kebutuhan mendesak, pemerintah daerah dapat mengakses pembiayaan melalui pinjaman dari lembaga keuangan seperti PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) sebagai Special Mission Vehicle (SMV) di bawah Kementerian Keuangan untuk pembiayaan pembangunan, dengan tetap memperhatikan kapasitas fiskal dan risiko pembayaran.
- Pemanfaatan Corporate Social Responsibility (CSR)
Sebagai solusi alternatif, pemerintah daerah dapat menggandeng perusahaan lokal melalui CSR untuk mendukung perbaikan jalan, khususnya di lingkungan sekitar wilayah operasional perusahaan.
Ketika kapasitas anggaran bukan lagi hambatan utama, pemerintah daerah akan lebih mampu memperbaiki dan mengelola jalan secara mandiri. Tindakan perbaikan dapat dilakukan langsung berdasarkan kewenangan dan kondisi di lapangan, tanpa menunggu laporan berulang dari masyarakat. Masyarakat pun tidak perlu lagi menyuarakan keluhan melalui konten viral untuk mendapat perhatian.
Respons cepat dari pemerintah ini akan menjadi bentuk edukasi publik bahwa tanggung jawab perbaikan jalan tidak selalu berada di tangan gubernur atau presiden. Jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota masing-masing memiliki penanggung jawab berbeda: pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten/kota.
Akhirnya, amanat otonomi daerah dalam desentralisasi pengelolaan jalan dapat benar-benar terwujud, sehingga perbaikan jalan dapat dilakukan secara lebih masif dan merata. Jalan yang lebih layak akan memperlancar pergerakan orang dan barang untuk kemudian menghidupkan harapan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
*) Penulis Konsultan Perencanaan Infrastruktur Transportasi dan Pemerhati Kebijakan Publik, Alumnus Sarjana Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) asal Lampung