Oleh : Timbul Priyadi *)
Pendahuluan
Pada 1 September 2025, ribuan warga Lampung, dari mahasiswa hingga berbagai elemen masyarakat, menuliskan sebuah babak baru dalam sejarah demokrasi Indonesia. Aksi “Lampung Melawan” tidak sekadar menjadi ajang penyampaian aspirasi, melainkan sebuah pertunjukan luar biasa tentang bagaimana dialog, bukan konfrontasi, adalah kunci kemajuan bangsa.
Peristiwa ini menjadi catatan emas yang mengajarkan kita bahwa kekuasaan dan rakyat bisa bersatu dalam satu ruang, tanpa ada yang merasa terancam. Ini bukti nyata bahwa semboyan “Ayo Jaga Lampung Bersama” bukanlah sekadar slogan kosong, melainkan sebuah realita yang diwujudkan bersama.
Sebagai putra daerah asal Lampung yang baru saja usai mengemban tugas sebagai Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Tinggi Semarang periode 2014-2024, penulis merasakan kebanggaan mendalam atas keberhasilan aksi damai ini. Di tengah hiruk-pikuk aksi serupa yang terjadi di beberapa kota besar—bahkan di antaranya terjadi aksi penjarahan dan tindak kekerasan oleh aparat yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa—Lampung menunjukkan kedewasaan empati dan persatuannya. Aksi ini adalah cerminan dari masyarakat yang memahami bahwa perjuangan harus dilakukan dengan martabat, bukan dengan kekerasan.
Kehadiran Pemimpin, Tanda Legitimasi dan Kepercayaan
Kehadiran Gubernur, pimpinan DPRD, Kapolda, Pangdam, serta tokoh masyarakat dan pemuka agama yang menyambut langsung para peserta aksi adalah anomali yang patut diapresiasi. Pihak pemerintah melalui aparat keamanan tidak mengedepankan barikade atau memperkuat jatidiri dengan mengirimkan pasukan antihuru-hara, melainkan membuka pintu hati dan telinga. Sikap ini bukan hanya sekadar gestur politik, melainkan pengakuan bahwa suara rakyat adalah penguat legitimasi pemerintahan.
Pemerintah daerah Lampung telah memberikan contoh nyata tentang sebuah kepemimpinan yang matang, yang menganggap kritik sebagai masukan, bukan ancaman. Ini adalah langkah berani yang mendobrak stigma bahwa setiap aksi massa harus direspons dengan ketegangan.
Kedewasaan Massa, Kekuatan Moral Gerakan Sipil
Di sisi lain, kedewasaan para peserta aksi juga tak kalah penting. Mereka datang dengan damai, menyampaikan tuntutan secara terorganisir, dan menghindari segala bentuk anarkisme. Ini membuktikan bahwa masyarakat kita sudah semakin cerdas dan beradab dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka memahami bahwa perjuangan untuk keadilan dan perubahan tidak perlu diwarnai kekerasan. Dengan menolak provokasi dan tetap fokus pada tujuan, mereka menunjukkan kekuatan sejati dari gerakan sipil: kekuatan moral dan persatuan.
Peristiwa di Lampung ini harus menjadi model. Ini adalah blueprint bagi daerah lain di Indonesia untuk membangun jembatan antara pemimpin dan rakyat. Demokrasi bukan hanya tentang pemilu, melainkan tentang percakapan sehari-hari yang jujur antara pemerintah dan warganya. Ketika pemimpin bersedia mendengarkan dan rakyat bersedia berbicara dengan damai, setiap masalah dapat diselesaikan tanpa harus ada yang terluka.
Penutup
Aksi “Lampung Melawan” bukan hanya sukses secara teknis karena tidak ada kerusuhan. Lebih dari itu, ia sukses secara substansi. menginspirasi kita semua untuk percaya bahwa dialog adalah revolusi yang paling efektif. Mengingatkan kita bahwa bangsa yang kuat bukan hanya yang memiliki militer tangguh, tetapi yang memiliki pemimpin yang mau duduk bersama, merangkul dan mendengarkan aspirasi rakyatnya, dan rakyat yang tegak menyuarakan kebenaran tanpa harus merusak.
Lampung telah menunjukkan kepada kita, jalan menuju Indonesia yang lebih baik adalah jalan yang dibangun di atas fondasi rasa saling percaya dan empati untuk saling menghargai.
*) Penulis adalah Praktisi Hukum dan Pemerhati Peradilan