Oleh Iqbal Almuntarie, Praktisi Infrastruktur Transportasi; Alumnus Sarjana Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung
BENCANA banjir yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera beberapa waktu lalu kembali memperlihatkan satu kenyataan bahwa ketika jalan dan jembatan terputus, kehidupan ikut terhenti.
Kita melihat kenyataan masyarakat yang terisolasi tanpa bantuan meskipun bantuan logistik sebenarnya telah menumpuk.
Tidak hanya itu, listrik padam hingga layanan kesehatan sulit dijangkau.
Ketika di dalam kondisi bencana, konektivitas tidaklah lagi berbicara efisiensi mobilitas atau kelancaran arus barang, melainkan soal mitigasi bencana untuk bertahan hidup.
Selama ini, konektivitas dalam kebijakan pembangunan Indonesia kerap dipahami sebagai instrumen ekonomi.
Jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara diposisikan untuk meningkatkan mobilitas, mempercepat dan menurunkan biaya logistik, hingga membuka akses pasar.
Paradigma ini jelas belum lengkap, meski tentu tidak keliru.
Khususnya ketika bencana datang, ukuran keberhasilan konektivitas semestinya ditentukan sedemikian hingga setiap bantuan dapat menjangkau wilayah terdampak tepat waktu.
Pembelajaran pascabanjir Sumatera kini menunjukkan bahwa konektivitas sesungguhnya adalah tulang punggung dalam manajemen mitigasi bencana.
Ketika akses transportasi terputus, jarak yang semula dekat berubah menjadi keterisolasian.
Tidak hanya memutus prasarana fisik, tetapi juga jalur evakuasi, distribusi logistik, dan layanan dasar.
Dalam situasi darurat bencana, kualitas infrastruktur konektivitas menentukan kecepatan respons, efektivitas penanganan, serta siapa yang dapat diselamatkan lebih awal dan siapa yang harus bertahan dalam ketidakpastian.
Di sinilah kebutuhan untuk meredefinisi konektivitas menjadi semakin mendesak dalam konteks mitigasi bencana.
Konektivitas perlu dipahami sebagai bagian dari upaya pertumbuhan ekonomi sekaligus dengan tidak mengesampingkan kemampuan infrastruktur untuk tetap berfungsi, beradaptasi, dan pulih dalam jangka waktu yang dapat diterima ketika bencana terjadi.
Dengan perspektif ini, konektivitas diposisikan menjadi bagian integral dari indikator pembangunan yang mencerminkan ketangguhan wilayah dalam menghadapi risiko bencana.
Pendekatan Resiliensi Konektivitas
Konektivitas berperan sebagai lifeline atau jalur kehidupan dalam situasi bencana.
Tidak sedikit kasus di mana bantuan sebenarnya tersedia, namun tertahan karena akses darat terputus. Sementara akses udara dan laut tidak dapat dimobilisasi dengan cepat dan masif.
Kondisi ini menunjukkan bahwa perencanaan infrastruktur jalan masih kerap dibangun sebagai jaringan tunggal yang minim alternatif sehingga ketika satu ruas terganggu, wilayah di sekitarnya langsung terisolasi.
Pendekatan resiliensi konektivitas membantu melihat persoalan ini secara lebih sistematis.
Dari sisi struktur jaringan, ketangguhan ditentukan oleh kepadatan dan homogenitas jaringan serta ketersediaan ruas dengan fungsi substitusi.
Jaringan jalan yang memiliki banyak alternatif dan keterhubungan antarsimpul perlu diutamakan untuk meminimkan jaringan yang terfragmentasi.
Untuk itu, penyusunan Rencana Umum Jaringan Jalan, baik di tingkat nasional oleh Kementerian Pekerjaan Umum (PU) maupun di tingkat provinsi dan kabupaten / kota, perlu secara eksplisit mempertimbangkan kebutuhan mitigasi bencana.
Ketangguhan jaringan juga ditentukan oleh kualitas fisik jalan.
Pemenuhan kondisi jalan ‘mantap’ sebagaimana ditetapkan dalam standar Kementerian PU, menjadi prasyarat agar jaringan tetap dapat difungsikan dalam situasi darurat.
Demikian pula pada jalan tol, pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM) perlu dipastikan setiap waktu.
Agar jalan tol benar-benar dapat berfungsi sebagai jalur bebas hambatan bahkan saat bencana untuk evakuasi, logistik, maupun mobilisasi alat berat.
Di luar aspek fisik jalan, faktor kesiapsiagaan sistem perlu diperhatikan.
Ketangguhan konektivitas mensyaratkan kejelasan prosedur operasional sejak sebelum bencana terjadi: ruas mana yang harus diprioritaskan sebagai jalur evakuasi.
Ruas mana yang tidak boleh mengalami penurunan kualitas karena berfungsi sebagai akses kritis.
Kemudian, rute alternatif apa yang perlu disiapkan dan dapat segera dibuka ketika gangguan terjadi.
Kesiapsiagaan ini juga mencakup perencanaan dukungan moda lain, termasuk pemanfaatan akses udara atau laut, ketika seluruh jaringan jalan tidak lagi dapat difungsikan.
Implikasi Redefinisi Kebijakan
Redefinisi konektivitas membutuhkan penyesuaian dalam kebijakan pembangunan di setiap kementerian/lembaga.
Di tingkat koordinasi, Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan mengambil peran strategis untuk menempatkan resiliensi konektivitas sebagai agenda lintas sektor.
Selama ini, sasaran utama konektivitas nasional masih berfokus pada transformasi dan pengungkit pertumbuhan ekonomi melalui efisiensi logistik serta peningkatan produktivitas.
Sasaran tersebut perlu diperluas dengan dimensi ketangguhan dan kesiapsiagaan bencana sehingga konektivitas juga dinilai dari kemampuannya mempertahankan akses dalam kondisi darurat.
Di sisi teknis, Kementerian Pekerjaan Umum perlu memperkuat indikator jaringan jalan yang tangguh terhadap bencana.
Jalan dan jembatan tidak hanya dipetakan untuk menurunkan waktu tempuh mobilitas masyarakat.
AKkn tetapi juga sebagai aset kritis kebencanaan yang mendukung evakuasi, distribusi logistik, dan mobilisasi alat berat.
Peningkatan aksesibilitas jalan idealnya juga diukur dari kemampuannya tetap dapat difungsikan saat terjadi bencana selain dari pengukuran saat kondisi normal.
Sementara itu, Kementerian Perhubungan berperan memastikan keterpaduan antarmoda dalam menjaga konektivitas ketika jaringan jalan terganggu.
Dalam situasi darurat, konektivitas tidak dapat bergantung pada satu moda saja.
Kesiapan simpul transportasi, seperti pelabuhan, bandara perintis, maupun terminal darurat, perlu diintegrasikan dan diukur kinerjanya dalam skenario kebencanaan.
Pada tahap penanggulangan bencana, BNPB berperan memastikan seluruh sistem konektivitas tersebut benar-benar terintegrasi.
Rencana kontinjensi dan rencana tanggap darurat perlu secara eksplisit menjamin bahwa jalur evakuasi dan distribusi logistik lintas moda dapat difungsikan dalam berbagai skenario bencana.
Integrasi data kerentanan jaringan transportasi perlu menjadi basis dalam pengambilan keputusan darurat dalam menjadi referensi kementerian/lembaga dalam membenahi infrastruktur konektivitas pascabencana.
Pada akhirnya, redefinisi konektivitas adalah pilihan arah pembangunan.
Apakah konektivitas hanya diposisikan sebagai penggerak ekonomi atau juga sebagai penyokong keselamatan masyarakat saat bencana datang.
Banjir di Sumatera memberi pelajaran bahwa tanpa konektivitas yang tangguh, respons secepat apa pun akan selalu tertahan tanpa tersalurkan.
Menempatkan konektivitas sebagai bagian dari tata kelola bencana bukan berarti mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Justru karena itulah konektivitas perlu didefinisikan ulang sejak tahap perencanaan, diukur dengan indikator ketahanan terhadap bencana, dan dikelola melalui koordinasi lintas sektor.
Probabilitas bencana yang tinggi di Indonesia menuntut redefinisi konektivitas untuk keberhasilan mitigasi bencana.(Disadur dari Suaramerdeka.com/net)




















