BANDAR LAMPUNG – Pengadilan Tipikor Tanjungkarang kembali menggelar sidang lanjutan kasus dugaan mafia tanah Kementerian Agama (Kemenag) RI, Senin (22/12/2025).

Sidang digelar di ruang Garuda dengan agenda pembacaan eksepsi atau keberatan dari para terdakwa terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Adapun terdakwa dalam perkara ini yakni mantan Kepala BPN Lampung Selatan Lukman, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) Theresa, serta pengusaha Thio Stepanus Sulistio. Sementara satu tersangka lainnya, Affandy Masyah Natanarada Ningrat, baru ditetapkan oleh Kejati Lampung

Karena kesehatannya, Thio Stepanus Sulistio hadir menggunakan kursi roda.
Ia tampak didampingi istri dan anaknya yang setia mengikuti jalannya persidangan.

Bey Sujarwo SH, MH selaku Kuasa Hukum Thio Stepanus Sulistio mengatakan dakwaan jaksa prematur dan bertentangan dengan fakta hukum yang telah ada.

Berikut eksepsi lengkap keberatan dari Thio Stepanus Sulistio melalui Bey Sukarwo

1. KEBERATAN TERHADAP SURAT DAKWAAN PENUNTUT UMUM

Majelis Hakim yang terhormat,

Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati, Terdakwa serta hadirin sidang yang kami hormati,

Bahwa M. Yahya Harahap mengatakan dalam Bukunya (Pembahasan dan penerapan KUHAP, pustaka Kartini, Jakarta, 1985, hlm. 663-664) bahwa “pada dasarnya alasan yang dapat dijadikan dasar hukum mengajukan keberatan agar surat dakwaan dibatalkan, apabila surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan pasal 143 atau melanggar ketentuan pasal 144 ayat (2) dan (3) KUHAP”.

Bahwa setelah mencermati secara seksama Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Nomor: No. Reg. Perkara: PDS-08/KALIA/10/2025 yang telah dibacakan pada persidangan yang lalu, kami berpendapat bahwa surat dakwaan tersebut mengandung berbagai kejanggalan, kekaburan, dan ketidakcermatan, baik dalam aspek formal maupun materiil, yang secara yuridis mengakibatkan dakwaan tersebut tidak dapat diterima atau batal demi hukum.

Berdasarkan evaluasi dan pertimbangan hukum di atas, kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa dengan ini mengajukan Nota Keberatan (Eksepsi) terhadap Surat Dakwaan Penuntut Umum tersebut, dengan pokok-pokok alasan sebagai berikut:

A. Surat Dakwaan Obscuur Libel (Dakwaan Kabur).

Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, diatur surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum haruslah memenuhi syarat-syarat antara lain:

1. Syarat formal yaitu:

Bahwa surat dakwaan harus menyebutkan identitas lengkap Terdakwa/Tersangka serta bahwa surat dakwaan harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum. 2. Syarat materiil:

Bahwa surat dakwaan harus memuat dan menyebutkan waktu, tempat delik dilakukan. Kemudian surat dakwaan haruslah disusun secara cermat, jelas, dan lengkap tentang Tindak Pidana yang didakwakan.

Dalam Nota Keberatan (Eksepsi) yang kami ajukan ini adalah mengenai persyaratan materiil dari Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Kami berpendapat bahwa Surat Dakwaan tersebut tidak memenuhi syarat fundamental sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 143 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, khususnya mengenai keharusan

bahwa dakwaan harus disusun secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan.

1. Tidak Cermat Dakwaan Penuntut Umum.

Adapun Ketidakcermatan Dakwaan Penuntut Umum sebagai berikut:

a. Bahwa Penuntut Umum dalam perkara perdata telah berlangsung juga bertindak selaku Jaksa Pengacara Negara yang sangat mengetahui isi dari Putusan perdata tersebut yang telah berkekuatan hukum tetap yang mana hak kepemilikan Terdakwa sebagaimana termuat dalam SHM No. 212/1994 tanggal 5 Maret 1994 dan SHM No. 1098/Pemanggilan Tanggal 27 Oktober 2008 keduanya atas nama Terdakwa keseluruhan luasannya adalah 13.605 M² (Tiga Belas Ribu Enam Ratus Lima Meter Persegi). Sedangkan dalam Dakwaan Penuntut Umum Luas lahan SHP No. 12/NT Desa Pemanggilan Milik dahulu Departemen Agama RI saat ini Kementerian Agama RI seluas 17.200 M² (Tujuh Belas Ribu Dua Ratus Meter Persegi).

Berdasarkan hal tersebut Dakwaan Penuntut Umum secara jelas dan nyata telah bertentangan dengan uraian peristiwa pidana dalam penerbitan 2 (dua) SHM No. 212/1994 tanggal 5 Maret 1994 dan SHM No. 1098/Pemanggilan Tanggal 27 Oktober 2008 keduanya atas nama Terdakwa yang luasnya hanya 13.605 M² (Tiga Belas Ribu Enam Ratus Lima Meter Persegi).

b. Bahwa Dakwaan Penuntut Umum dalam uraian Peristiwa pidana tidak menjelaskan. mengenai rangkaian Tindak Pidana terjadi sejak kurun waktu kapan, apakah terdapat Tindak Pidana sebelum proses jual beli antara saksi Affandy Masyah yang merupakan Penerima Kuasa Jual dari ahli waris alm. Supradi dengan Terdakwa yang antara lain terhadap Penerbitan SHM No. 212/1994 a.n Supardi yang dimana proses penerbitan SHM a quo dalam uraian Dakwaan Penuntut Umum didasarkan kepada dokumen-dokumen diduga palsu yang dijadikan warkah dalam Penerbitan SHM No. 212/1994 a.n. (alm). Supardi.

Bahwa seharusnya Penuntut Umum secara cermat menguraikan peristiwa hukum pada tahun 1994 atas penerbitan SHM No. 212/1994, siapakah Pihak-Pihak yang bertanggung jawab secara hukum serta apabila terdapat kerugian negara berapakah kerugian negara dalam penerbitan SHM No. 212/1994 tersebut, karena faktanya Peristiwa hukum yang terkait dengan Terdakwa sejak terjadinya proses peralihan dari ahli waris Alm. Supardi kepada Terdakwa pada tahun 2008.

c. Bahwa dakwaan Penuntut Umum tidak eermat dan tidak secara rinci menguraikan luas 17.200 M² (Tujuh Belas Ribu Dua Ratus Meter Persegi), apakah luas tersebut hasil dari perbuatan Tindak Pidana yang dilakukan oleh terdakwa sebagaimana uraian dalam Dakwaan ataukah hanya semata-mata terhadap luas yang termuat dalam SHP.

No. 12/NT Desa Pemanggilan Milik dahulu Departemen Agama RI saat ini Kementerian Agama RI, sehingga tidak terdapat kepastian hukum atas kerugian aset milik negara yang dipersangkakan terhadap Terdakwa, apakah seluas 17.200 M² (Tujuh Belas Ribu Dua Ratus Meter Persegi), atau seluas 2 (dua) SHM No. 212/1994 tanggal 5 Maret 1994 dan SHM No. 1098/ Pemanggilan Tanggal 27 Oktober 2008 dengan total 13.605 M² (Tiga Belas Ribu Enam Ratus Lima Meter Persegi).

d. Bahwa Dakwaan Penuntut Umum tidak cermat dalam menguraikan fakta-fakta hukum pada dakwaan perkara a quo, dimana Penuntut Umum selalu mendalilkan objek tanah tersebut merupakan aset milik negara padahal secara fakta hukum, terdakwa telah melakukan upaya hukum berupa Gugatan Perdata pada Pengadilan Negeri Kalianda hingga Tingkat Peninjauan Kembali yang menegaskan hak kepemilikan secara keperdataan milik Terdakwa.

e. Bahwa Dakwaan Penuntut Umum tidak cermat karena telah mengabaikan ketentuan dari alasan-alasan Hapusnya Barang Milik Negara sebagai berikut:

1) BMN terjadi pemindahtanganan karena terjadinya Kerusakan dan Tidak Ekonomis Pasal 18 dan Pasal 47 ayat (2) PMK 83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara.

2) Tidak Dapat Digunakan/Dimanfaatkan Pasal 47 ayat (2) PMK 83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara.

3) Pemindahtanganan

Pasal 5 PMK No 165/PMK.06/2021 perubahan atas PMK No. 111/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemindahtanganan Barang Milik Negara dan Pasal 54 PP No 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara.

4) Pengalihan Status Penggunaan Pasal 16 dan lebih rinci diatur dalam pasal 36 PMK 83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara.

5) Keputusan Pengadilan

Pasal 26 PMK 83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara dan Pasal 83 ayat 2 PP No 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara.

6) Penyerahan kepada Pengelola Barang Hilang

Pasal 18 dan Pasal 47 ayat (2) PMK 83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara diatur dalam Pasal 53 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penggunaan Barang Milik Negara.

7) Hapusnya Barang Milik Negara Karena adanya Putusan Pengadilan

Pasal 15 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 83/Pmk.06/2016 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara:

1) Penghapusan BMN dari Daftar Barang Pengelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan dalam hal BMN sudah tidak berada dalam penguasaan Pengelola Barang karena:

a) Penyerahan kepada Pengguna Barang:

b) Pemindahtanganan;

c) Adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan sudah tidak ada Upaya hukum lainnya;

d) Menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e) Pemusnahan; atau sebab-sebab lain.

f. Bahwa dalil Dakwaan terkait adanya Putusan Perdata terkait hak milik Terdakwa, Penuntut Umum dengan sengaja tidak menegaskan bahwa Putusan Perdata yang telah berkekuatan hukum tersebut menjadi alasan yang sah menurut hukum untuk dapat hapusnya barang milik negara dalam hal ini adalah SHP No. 12/NT Desa Pemanggilan Milik Dahulu Departemen Agama R1 saat ini Kementerian Agama RI seluas 17.200 M² (Tujuh Belas Ribu Dua Ratus Meter Persegi). Namun, Penuntut Umum dalam perkara a quo yang sebagian besar juga adalah Jaksa Pengacara Negara dalam Perkara Perdata tersebut tidak fair menegakkan hukum karena walapun Penutut Umum telah mengetahui secara pasti bahwa pada tanggal 30 September 2024 dalam putusan perdata tersebut telah memilik Putusan Peninjauan Kemabali, bukanya menjalankan dan patuh kepada Putusan Perdata a quo, justur Penuntut Umum melibatkan Terdakwa dalam dugaan Tindak Pidana dengan menyampingkan fakta hukum bahwa Terdakwa adalah Pembeli beritikad baik sehingga proses peralihan jual beli dalam proses perdata sah secara hukum.

Bahwa akibat ketidakcermatan Penuntut Umum tersebut, mengakibatkan dakwaan a quo menjadi bertentangan dengan, Asas-Asas Hukum, Doktrin dan Yurisprudensi antara lain: a. Asas-asas hukum

1) Asas Prejudiciale Geschil

Majelis Hakim seharusnya menyatakan tidak berwenang memeriksa pokok perkara pidana ini sebelum status kepemilikan aset tersebut diselesaikan secara final, atau dalam konteks ini, mengakui hasil final dari putusan perdata yang ada. Jika pengadilan pidana tetap memaksakan pemeriksaan padahal status Aset Negara tersebut telah dibatalkan oleh putusan perdata yang telah inkracht, maka proses peradilan ini tidak hanya melanggar asas kepastian hukum, tetapi juga akan membawa pada pertentangan putusan yang serius antar lembaga peradilan.

Dengan demikian, Surat Dakwaan Penuntut Umum yang tetap memaksakan unsur ‘Aset Negara sebagai dasar pidana tanpa mengindahkan Putusan Perdata harus dinyatakan batal demi hukum karena obscuur libel atau tidak.

2) Asas Res Judicata Pro Veritate Habetur, yang berarti “Putusan Hakim Harus Dianggap Benar”.

Asas ini menegaskan bahwa setiap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) harus dianggap benar dan mengikat secara absolut terhadap semua pihak, termasuk lembaga negara dan peradilan lainnya, sepanjang mengenai fakta dan status hukum objek yang dipersengketakan. Dalam konteks perkara a quo, dimana objek dakwaan pidana (tanah) adalah objek yang sama dengan perkara perdata, maka Putusan Perdata yang telah menguatkan status kepemilikan Terdakwa adalah kebenaran hukum yang wajib diakui.

Mahkamah Agung Republik Indonesia telah berulang kali menegaskan kaidah hukum yang fundamental ini: ‘Putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap mengikat setiap orang, termasuk negara, sepanjang objeknya sama.

Oleh karena itu, pengabaian Penuntut Umum terhadap Putusan Perdata yang inkracht tersebut tidak hanya menunjukkan ketidakcermatan (cermat) dalam penyusunan dakwaan, tetapi juga secara langsung menciderai asas kepastian hukum (rechtszekerheid). Hal ini menyebabkan unsur ‘Hilangnya Aset Negara’ yang menjadi inti dakwaan pidana runtuh dengan sendirinya dan harus dinyatakan kabur (obscuur libel) karena bertentangan dengan kebenaran hukum yang telah ditetapkan.

b. Doktrin Hukum

Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H. (Ahli Hukum Pidana dan Penyalahgunaan Wewenang). Yang menyatakan:

1) Batasan Unsur Melawan Hukum: Meskipun fokus beliau seringkali pada Penyalahgunaan Wewenang (Pasal 3), pandangan beliau mengenai pembuktian unsur Tipikor menuntut adanya niat jahat (mens rea) dan perbuatan yang secara jelas melanggar Hukum Publik.

2) Larangan Kriminalisasi Kebijakan/Sengketa Perdata: Beliau menekankan pentingnya pembatasan agar hukum pidana tidak mengkriminalisasi perselisihan perdata atau keputusan administratif yang masih dalam sengketa.

3) Inti Kontradiksi: inti dakwaan Penuntut Umum adalah mengenai status aset. Ketika status aset telah diputuskan secara inkracht oleh peradilan perdata, Penuntut Umum seharusnya mengakui fakta hukum tersebut. Melanjutkan dakwaan pidana mengindikasikan upaya kriminalisasi sengketa kepemilikan pembatasan yang disarankan oleh Prof. Indriyanto.

c. Yurispudensi

1. Putusan Mahkamah Agung No. 1655 K/Pid/1990 meyatakan: Menegaskan bahwa suatu perkara pidana yang penetapan salah satu unsurnya (bijzondere voorwaarde) bergantung pada penentuan status hukum di ranah perdata (misalnya kepemilikan aset), maka peradilan pidana harus menangguhkan pemeriksaan sampai adanya putusan perdata yang berkekuatan hukum tetap.

2. Putusan Mahkamah Agung No. 1205 K/Sip/1971 menyatakan: Menguatkan bahwa Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) harus diakui dan mengikat setiap orang, termasuk Negara atau lembaga lain, sepanjang mengenai objek sengketa yang sama.

3. Putusan Mahkamah Agung No. 518 K/Sip/1975 menyatakan: Menguatkan prinsip bahwa putusan yang telah inkracht tidak dapat dibatalkan atau dikesampingkan oleh putusan peradilan lain dengan derajat yang sama atau lebih rendah. Dalam kasus ini, peradilan pidana tidak boleh menghasilkan putusan yang bertentangan dengan putusan PK Perdata yang sudah final.

Konsekuensi logis dan yuridis dari pengabaian tersebut adalah timbulnya Implikasi Prejudicial Question, yang mana unsur pokok pidana yang didakwakan khususnya unsur ‘secara melawan hukum telah mengakibatkan hilangnya Aset Negara menjadi prematur untuk dibuktikan dalam peradilan pidana. Hal ini disebabkan karena status kepemilikan aset tersebut telah ditentukan secara definitif sebagai hak milik Terdakwa melalui putusan pengadilan yang lebih tinggi, sehingga peradilan pidana harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard).

2. Tidak Jelas Dakwaan Penuntut Umum.

Adapun ketidakjelasan dakwaan Penuntut Umum sebagai berikut:

a. Luas objek tanah (aset negara) tidak jelas dan tidak berkepastian hukum.

Bahwa Penuntut Umum dalam dakwaan mendalilkan Kerugian Negara Sebesar Rp.54.445.547.000,- (Lima Puluh Empat Miliar Empat Ratus Empat Puluh Lima Juta Lima Ratus Empat Puluh Tujuh Ribu Rupiah) akibat hilangnya Aset Negara milik Kementerian Agama RI seluas 17.200 M² (Tujuh Belas Ribu Dua Ratus Meter Persegi), akibat dari adanya Putusan Perdata (vide him 4 dakwaan).

Bahwa Terdakwa dalam Perkara Perdata a quo tidak pernah mendapatkan Hak Milik seluas 17.200 M² (Tujuh Belas Ribu Dua Ratus Meter Persegi), namun mendasari 2 (dua) SHM No. 212/1994 tanggal 5 Maret 1994 dan SHM No. 1098/ Pemanggilan Tanggal 27 Oktober 2008 dengan total luas 13.605 M² (Tiga Belas Rihu Enam ratus Lima Meter Persegi).

Sehingga antara Dakwaan Penuntut Umum yang seluas 17.200 M² (Tujuh Belas Ribu Dua Ratus Meter Persegi) dengan fakta hukum perdata terkait dengan hak kepemilikan terdakwa terdapat selisih luas sebesar 3.595 M² (Tiga Ribu Lima Ratus Sembilan Puluh Lima Meter Persegi) yang diikutsertakan dalam penghitungan Kerugian Negara dan juga dituduhkan timbul akibat perbuatan Terdakwa adalah Dakwaan yang tidak beralasan hukum.

Sehingga menegaskan bahwa Penuntut Umum tidak jelas dan tidak memiliki kepastian hukum terhadap luas tanah yang menjadi bukti dugaan Tindak Pidana sehingga nilai kerugian atas tanah seluas 17.200 M² (Tujuh Belas Ribu Dua Ratus Meter Persegi) dengan nilai Rp.53.589.570.000,00,- (Lima Puluh Tiga Miliar Lima Ratus Delapan Puluh Sembilan Juta Lima Ratus Tujuh Puluh Ribu Rupiah) sebagaimana penghitungan oleh BPKP perwakilan Provinsi Lampung adalah penghitungan kerugian Negara yang didasari oleh keterangan dan data yang tidak jelas berdasarkan fakta hukum dalam dugaan peristiwa pidana a quo.

b. Bahwa Dakwaan Penuntut Umum tidak menjelaskan kronologis apakah perbuatan terdakwa berdampak atas kerugian lepas atau hilangnya tanah aset dahulu Departemen Agama RI saat ini Kementerian Agama RI yang hilang sebagian atau seluruhnya berdasarkan kepada SHP Nomor: 12/NT/1982 Tanggal 03 Juli 1982 ataukah akibat hukum yang timbul akibat dari dugaan Tindak Pidana a quo telah berdampak tidak dapat dikuasai atau memanfaatkan tanah aset dahulu Departemen Agama RI saat ini Kementerian Agama RI.

Bahwa apabila secara jelas menegaskan kerugian senilai Rp.53.589.570.000,00,- (Lima Puluh Tiga Miliar Lima Ratus Delapan Puluh Sembilan Juta Lima Ratus Tujuh Puluh Ribu Rupiah) terjadi akibat hilangnya tanah seluas 17.200 M² (Tujuh Belas Ribu Dua Ratus Meter Persegi) tidak pernah terjadi dalam fakta hukum proses perdata, melainkan luas lahan yang menjadi objek gugatan perdata adalah seluas 13.605 M² (Tiga Belas Ribu Enam Ratus Lima Meter Persegi) bila mengikuti tafsir harga BPKP Provinsi Lampung terhadap nilai tanah Per-meter tidak mencapai nilai Kerugian Negara yang dimaksud dalam Dakwaan Primair dan Subsidair.

c. Bahwa dakwaan tidak jelas menegaskan apakah peristiwa proses dugaan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Primair dan Subsidair terjadi dalam proses peralihan SHM No. 212/1994 tanggal 5 Maret 1994 atau SHM No. 1098/Pemanggilan Tanggal 27 Oktober 2008 ataukah kedua-duanya. Dikarenakan penerbitan 2 (dua) SHM tersebut memiliki jarak waktu yang cukup lama.

Bahwa dalam Dakwaan Penuntut Umum hanya menguraikan secara singkat seakan-akan bahwa proses peralihan keduanya sama-sama melawan hukum secara administratif atau prosedural sedangkan SHM No. 212/1994 tanggal 5 Maret 1994 adalah produk Badan

Pertanahan Nasional (BPN) Lampung Selatan yang sah saat terjadi proses jual beli antara ahli waris alm. Supardi, melalui saksi Affandi Mansyah selaku kuasa jual yang mana SHM tersebut telah terbit dan ada sebelum adanya proses peralihan hak pada Terdakwa melalui Proses Jual beli.

Sedangkan Proses penerbitan SHM No. 1098/Pemanggilan Tanggal 27 Oktober 2008, dilakukan oleh Terdakwa melalui proses Jual beli dengan belum diterbitkannya Sertifikat Hak Milik dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lampung Selatan, hingga dinaikkan status hak kepemilikannya menjadi SHM melalui Saksi Theresia Dwi Wijanti. S.H., selaku Notaris dan PPAT sehingga proses penerbitan SHM a quo secara hukum telah memenuhi prosedur yang berlaku.

Berdasarkan hal tersebut, terbukti secara sah dan meyakinkan Dakwaan Penuntut Umum tidak jelas karena menggabungkan Tindak Pidana Umum atau Pelanggaran Administratif dengan Tindak Pidana Korupsi.

d. Dakwaan terhadap kerugian pagar yang terdapat pada objek aset negara milik dahulu Departemen Agama RI saat ini Kementerian Agama RI tidak diuraikan apakah mengalami kehilangan/musnah/rusak atau kerugian lainya tidak jelas dilakukan oleh siapa pelakunya yang kemudian terdapat perhitungan kerugian negara.

Maka atas ketidakjelasan tersebut Penuntut Umum haruslah menjelaskan:

1) Apakah pagar tersebut yang dibangun melalui keuangan Negara yang berada pada objek telah hilang/musnah/rusak ataukah tidak dapat difungsikan akibat dari Perbuatan Terdakwa?

2) Bahwa apabila pagar tersebut masih ada dan tidak hilang/musnah/rusak atau tidak dapat difungsikan, apakah relevan bila terdapat perhitungan kerugian negara?

3) Apakah kerugian negara sebagaimana dakwaan primair dan subsidair atas pagar tersebut merupakan kerugian yang nyata atau dalam potensial kerugian negara?

e. Tidak terdapat uraian jelas apakah peristiwa hukum dugaan tindak pidana sebagaimana Dakwaan Primair dan Subsidair telah mengakibatkan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) ataukah peristiwa hukum dimaksud hanya berpotensi menimbulkan kerugian negara (potential loss).

Bahwa Penuntut Umum mendalilkan dalam Dakwaannya Negara telah mengalami kerugian Sebesar Rp.54.445.547.000,- (Lima Puluh Empat Miliar Empat Ratus Empat Puluh Lima Juta Lima Ratus Empat Puluh Tujuh Ribu Rupiah) yang terdiri dari:

1) Kerugian Negara senilai Rp.53.589.570.000,00,- (Lima Puluh Tiga Miliar Lima Ratus Delapan Puluh Sembilan Juta Lima Ratus Tujuh Puluh Ribu Rupiah) terjadi akibat hilangnya tanah seluas 17.200 M² (Tujuh Belas Ribu Dua Ratus Meter Persegi) padahal hal tersebut tidak pernah terjadi dalam fakta hukum pre

perdata, melainkan luas lahan yang menjadi objek gugatan perdata adalah seluas 13.605 M² (Tiga Belas Ribu Enam Ratus Lima Meter Persegi) bila mengikuti tafsir harga BPKP Provinsi Lampung terhadap nilai tanah Per-meter tidak mencapai nilai Kerugian Negara yang dimaksud dalam Dakwaan Primair dan Subsidair.

Sehingga Kerugian Negara dalam hilangnya lahan dahulu Departemen Agama RI saat ini Kementerian Agama RI, tersebut merupakan Potensial Kerugian Negara karena lahan a quo masih dalam penguasaan dahulu Departemen Agama RI saat ini Kementerian Agama RI, serta tidak ada perubahan fisik serta tidak hilangnya manfaat atas objek tersebut serta Terdakwa belum pernah mengelola, menguasai bahkan memperoleh hasil dari lahan a quo hal ini dapat dibuktikan dengan adanya Permohonan Eksekusi atas objek sengketa. Maka secara jelas dan nyata Dakwaan Penuntut Umum mendalilkan adanya kerugian negara berdasarkan Perhitungan BPKP Perwakilan Provinsi Lampung dengan nilai Rp.53.589.570.000,00,- (Lima Puluh Tiga Miliar Lima Ratus Delapan Puluh Sembilan Juta Lima Ratus Tujuh Puluh Ribu Rupiah) adalah perhitungan yang bersifat potential loss (potensi atau perkiraan Kerugian) bukan merupakan actual loss (kerugian nyata).

2) Kerugian Negara senilai Rp.855.977.000,- (Delapan Ratus Lima Puluh Lima Juta Sembilan Ratus Tujuh Puluh Tujuh Ribu Rupiah), namun pada fakta hukumnya Penuntut Umum tidak menguraikan dalam dakwaan mengenai Pagar tersebut apakah mengalami hilang/musnah/rusak ataukah tidak dapat difungsikan akibat dari Perbuatan Terdakwa, sehingga kerugian negara tersebut masih merupakan asumsi Penuntut Umum atau baru bersifat Potensi atau Perkiraan Kerugian Negara.

Bahwa berdasarkan hal poin 1 dan 2 di atas, sangat jelas dan nyata Dakwaan Penuntut Umum bertentangan dengan kaidah Hukum Pidana yang berlaku dalam sistem Peradilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 mengubah makna Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK/Tipikor) dari delik formil menjadi delik materiil. Kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi harus dibuktikan secara nyata (actual loss), bukan hanya potensi atau perkiraan kerugian (potential loss).

B. Kompetensi Absolut

1. Bahwa Dakwaan Penuntut Umum menggabungkan Kompetensi Peradilan Administratif pada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dan mendalilkan terdapat Perbuatan Melawan Hukum yang telah mengakibatkan hilangnya aset negara berupa tanah yang terletak di Desa, Pemanggilan Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan seluas 17.200 M²

(Tujuh Belas Ribu Dua Ratus Meter Persegi) yang dianggap telah bertentangan dengan:

a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;

b. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah:

c. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1970 tentang Penjualan dan atau Pemindahtanganan Barang-Barang yang Dimiliki/Dikuasai Negara;

d. Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan

e. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

2. Bahwa Peraturan Perundang-Undangan di atas merupakan batu uji dalam ruang lingkup Peradilan Tata Usaha Negara untuk menguji pelanggaran Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara apakah telah sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang tidak ada kaitannya dengan diri Terdakwa selaku pembeli beritikad baik yang telah memiliki Putusan perdata yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (Inkracht).

3. Bahwa tidak konsistennya Dakwaan Penuntut Umum yang mendakwa Terdakwa melanggar Peraturan Perundang-Undangan di atas namun dalam Dakwaan Primair dan Subsidair mendakwa melakukan Pelanggaran Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

4. Bahwa apabila Penuntut Umum berkeyakinan telah terjadi pelanggaran hukum sebagaimana Peraturan Perundang-Undangan di atas, maka selayaknya pelanggaran tersebut dilakukan gugatan pada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menemukan dan menentukan siapa saja pihak yang bertanggungjawab secara hukum dalam penerbitan atau proses peralihan hak sebagaimana SIM No. 212/1994 tanggal 5 Maret 1994 dan SHM No. 1098/Pemanggilan Tanggal 27 Oktober 2008, bukan malah menuduhkan Terdakwa melanggar Peraturan Perundang-Undangan di atas dan secara otomatis Terdakwa dianggap melakukan Tindak Pidana Korupsi.

5. Bahwa berdasarkan uraian di atas Penuntut Umum telah keliru mendalilkan pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan yang dimaksud dalam dakwaan, sehingga kami berpendapat tanpa adanya pembuktian terhadap pelanggaran dimaksud merupakan penerapan hukum yang prematur serta memaksakan terhadap diri Terdakwa sedangkan Terdakwa bukan merupakan Pejabat Negara yang menerbitkan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara.

Kesimpulan

Bahwa berdasarkan seluruh uraian fakta-fakta di atas, maka kami berkesimpulan sebagai berikut:

1. Bahwa Dakwaan Penuntut Umum telah melanggar pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP bahwa syarat materiil dari Dakwaan harus dibuat secara cermat, lengkap, jelas, yang meliputi secara rinci terkait Luas Objek aset negara yang hilang, musnah, berubah manfaat ataupun hal lain sehingga merugikan keuangan negara, dimana dalam Dakwaan tidak tercermin hal-hal seperti itu atau obscuur libel maka sudah sepatutnya surat dakwaan dari Penuntut Umum dinyatakan batal demi hukum.

2. Bahwa Dakwaan Penuntut Umum pada Dakwaan Primair dan Subsidair telah melanggar Syarat Materiil serta merupakan bentuk pembangkangan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 mengubah makna Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dari delik formil menjadi delik materiil. Kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi harus dibuktikan secara nyata (actual loss), bukan hanya potensi atau perkiraan kerugian (potential loss).

3. Bahwa Dakwaan Penuntut Umum tidak secara cermat dan jelas mendalilkan kerugian negara apakah timbul akibat hilangnya sebagian atau seluruhnya aset negara berupa tanah yang terletak di Desa Pemanggilan, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan seluas 17.200 M² (Tujuh Belas Ribu Dua Ratus Meter Persegi), ataukah aset tersebut masih ada, utuh atau sudah berubah bentuk dan hilang manfaatnya sehingga secara nyata negara telah dirugikan.

4. Bahwa tuduhan akibat dari Perbuatan Terdakwa yang berakibat kerugian negara atas hilangnya aset negara atas tanah seluas 17.200 M² (Tujuh Belas Ribu Dua Ratus Meter Persegi) dan pagar keliling sepanjang 2.938,5 M (Dua Ribu Sembilan Ratus Tiga Puluh Delapan Koma Lima Meter) adalah tidak beralasan hukum.

5. Bahwa dalam Dakwaan Penuntut Umum hanya menjelaskan Putusan Perdata tingkat pertama sampai dengan Putusan Mahkamah Agung RI No: 525K/Pdt.G/2023, namun tidak menerangkan adanya upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali Nomor: 919 PK/Pdt/2024 tertanggal 30 September 2024 yang diajukan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Indonesia cą. Kementerian Agama RI, cq. Kanwil Kementerian Agama Propinsi Lampung yang pada Pokoknya putusan PK tesebut: Menolak Permohonan peninjauan kembali dari Pemohon PK I: Kementerian Keuangan RI dan Pemohon PK II: Pemerintah Republik Indonesia cq. Kementerian Agama RI, cq. Kanwil Kementerian Agama Propinsi Lampung.

Hal ini menegaskan dan menguatkan Putusan Tingkat Pertama hingga Tingkat Kasasi terkait Hak Kepemilikan sebidang tanah dengan luas seluas 13.605 M² (Tiga Belas Ribu Enam Ratus Lima Meter Persegi) yang terletak di Desa Pemanggilan, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan adalah Hak Milik Terdakwa.

6. Bahwa Penuntut Umum yang sebagian besar juga bertindak selaku perwakilan Para Pihak dalam Proses Gugatan Perdata sebagai Jaksa Pengacara Negara pada Kejaksaan Tinggi Lampung selaku Kuasa Hukum dari Kementerian Agama RI sesungguhnya memahami bahwa hak-hak pembuktian perdata telah dilakukan sehingga seharusnya menghormati Putusan Perdata yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), namun hal ini menunjukkan ketidakpatuhan dan merupakan bentuk dari pembangkangan hukum yang mana Penutut Umum tidak sedang keliru, tetapi dengan sengaja meniadakan Peninjauan Kembali Nomor: 919 PK/Pdt/2024 tertanggal 30 September 2024, yang seharusnya Jaksa Pengacara Negara menjamin terlaksananya putusan hukum yang telah (Inkracht) sekalipun negara harus mengalami kekalahan.

7. Bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tidak Berwenang mengadili Perkara a quo, karena Dakwaan Penuntut Umum telah menerapan hukum yang prematur dengan menggabungkan Kompetensi Peradilan Administratif pada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

D. PETITUM

Bahwa berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, bersama ini kami Penasihat Hukum Terdakwa mengajukan permohonan agar yang terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang Kelas 1A yang memeriksa perkara ini agar menjatuhkan putusan sela dengan amar sebagai berikut:

PRIMAIR

1. Menerima dan mengabulkan Nota Keberatan (Eksepsi) dari Penasihat Hukum Terdakwa untuk seluruhnya.

2. Menyatakan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Nomor: PDS-08/KALIA/10/2025 Tidak Dapat Diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard) atau Batal Demi Hukum (nietigheid van rechtsweg).

3. Memerintahkan Terdakwa Drs. THIO STEPANUS SULISTIO anak dari THIO SIU O als. SUHERMAN dikeluarkan dari tahanan segera setelah Putusan Sela ini dibacakan.

4. Memulihkan hak Terdakwa Drs. THIO STEPANUS SULISTIO anak dari THIO SIU O als. SUHERMAN dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya.

5. Membebankan biaya perkara kepada Negara.

SUBSIDAIR

Atau apabila majelis hakim berpendapat lain, agar diberikan putusan yang seadil-adilnya, demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum yang berlaku dan berdasarkan ketuhanan yang maha esa, (ex a quo et bono). (*)