Oleh : Timbul Priyadi, SH., MH. *)

DI BALIK megahnya proyek pemerintah, subkontraktor seringkali berada di persimpangan jalan: menjadi roda penggerak yang vital atau tumbal dalam jerat korupsi. Posisi mereka yang unik ini menuntut penegakan hukum yang cermat, membedakan antara pelaku yang bersekongkol dan pihak yang hanya menjadi korban.

Artikel ini akan menguraikan secara tajam bagaimana subkontraktor dapat terjerat, sekaligus menyajikan kriteria hukum yang krusial untuk membuktikan ketidakbersalahan mereka. Artikel ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan yang komprehensif, baik bagi hakim dalam memutuskan perkara maupun sebagai argumen pembelaan yang kuat.

Jerat Hukum yang Menghimpit: Pasal-Pasal Pidana untuk Subkontraktor

Posisi subkontraktor yang rentan sering kali dimanfaatkan oleh pelaku utama dalam praktik korupsi. Secara hukum, keterlibatan mereka tidak bisa disamaratakan. Jerat hukum utama datang dari Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) mengatur tentang perbuatan curang yang dilakukan oleh pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangunan, serta orang yang bertugas mengawasi pembangunan, yang menjerat “setiap orang” sebagaimana kriteria tersebut yang merugikan keuangan negara.

Redaksi yang luas ini memungkinkan penegak hukum untuk mengusut subkontraktor yang melakukan manipulasi proyek, seperti penggelembungan biaya (mark-up), penurunan kualitas (spek), atau rekayasa laporan kemajuan pekerjaan.
Selain itu, skenario lain yang sering terjadi adalah keterlibatan subkontraktor dalam praktik suap (Pasal 5 UU Tipikor) atau gratifikasi (Pasal 12B UU Tipikor). Subkontraktor mungkin memberikan uang atau fasilitas kepada pejabat proyek atau kontraktor utama demi memuluskan pembayaran atau memenangkan tender. Ini adalah bentuk persekongkolan yang jelas dan terbukti merugikan negara. Dalam skema yang lebih besar, subkontraktor juga dapat dijerat karena penyalahgunaan wewenang (Pasal 3 UU Tipikor) atau konflik kepentingan yang melanggar Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 (PP 16/2018) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Pagar Pelindung Hukum: Kriteria Subkontraktor yang Bebas dari Persekongkolan

Di tengah jerat hukum yang ketat, subkontraktor memiliki pagar pelindung berupa kriteria pembebasan yang solid. Kriteria ini tidak hanya penting untuk pembelaan, tetapi juga menjadi panduan bagi penegak hukum.

• Pelaksanaan Pekerjaan Sesuai Kontrak: Ini adalah pondasi utama. Subkontraktor harus mampu membuktikan bahwa mereka telah melaksanakan pekerjaan secara profesional dan sesuai spesifikasi, tanpa ada rekayasa atau penyimpangan. Bukti-bukti seperti dokumentasi pekerjaan, laporan progres, dan berita acara serah terima menjadi sangat krusial.

• ⁠Transparansi dan Kooperativitas: Subkontraktor yang tidak menyembunyikan dokumen, bersikap terbuka saat diaudit, dan kooperatif dengan penegak hukum menunjukkan niat baik dan ketiadaan persekongkolan. Sikap ini sangat kontras dengan pelaku korupsi yang cenderung menutupi jejak.

• ⁠Ketiadaan Konflik Kepentingan: Subkontraktor yang terbukti tidak memiliki hubungan finansial, kekeluargaan, atau afiliasi bisnis dengan pihak pengambil keputusan (seperti PPK atau kontraktor utama) memiliki posisi yang jauh lebih kuat untuk membuktikan bahwa mereka bukan bagian dari ‘mata rantai’ korupsi.

Yurisprudensi Mahkamah Agung: Cermin Penerapan Hukum yang Adil

Yurisprudensi Mahkamah Agung menegaskan bahwa hukum tidak hanya melihat perbuatan, tetapi juga peran dan niat terdakwa. Putusan seperti Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014 menunjukkan bahwa meskipun subkontraktor terlibat, mereka dapat dikenai hukuman yang lebih ringan jika terbukti hanya menjadi “alat” atau bukan pelaku utama. Ini adalah cermin dari prinsip pertanggungjawaban pidana individual yang proporsional.
Di sisi lain, putusan seperti Nomor 22/KMA/SK/II/2011 menjadi bukti konkret bahwa subkontraktor dapat sepenuhnya dibebaskan jika tidak ada bukti yang cukup kuat untuk menunjukkan persekongkolan atau perbuatan melawan hukum. Putusan-putusan ini memberikan preseden penting bagi hakim untuk mempertimbangkan secara cermat posisi unik subkontraktor.

Kesimpulan: Menegakkan Keadilan bagi Pihak yang Terjerat

Pada akhirnya, pertanggungjawaban pidana subkontraktor tidak bisa disamaratakan. Pengadilan harus melihat kasus per kasus, dengan cermat membedah peran dan niat. Artikel ini menyajikan peta jalan hukum yang komprehensif, mengintegrasikan dasar hukum, kriteria pembebasan, dan yurisprudensi MA. Peta jalan ini sangat krusial, baik sebagai argumen pembelaan yang kuat di ruang sidang maupun sebagai pertimbangan bagi hakim untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga dirasakan oleh pihak yang tidak bersalah.

*) Penulis adalah
• Founder & Managing Partners Law Office LEGAL JUSTITIA & Co’
• ⁠Hakim Ad Hoc Tipikor Tingkat Banding Periode 2014 – 2024

Referensi:
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3, 4, 5, 7, 12B.
* Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
* Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2015). Memahami untuk Membasmi: Buku Saku Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK.
* Marwan Effendy. (2010). Korupsi dan Strategi Nasional Pencegahan serta Pemberantasannya. Jakarta: Referensi.
* Yudi Kristiana. (2017). Hukum Pidana Korupsi: Teori dan Praktik. Yogyakarta: UII Press.
* Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). (2021). Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
* Putusan Mahkamah Agung: 36/Pid.Sus/TPK/2014, 91/Pid.Sus/2011, 22/KMA/SK/II/2011.