JAKARTA– Dana saksi yang dibiaya oleh negara akan disalurkan melalui bawaslu dan jajarannya. Bawaslu mempunyai struktur sampai TPS dan lebih mudah pertanggungjawaban dan audit dana tersebut.
Demikian diungkapkan anggota Pansus RUU Penyelenggara Pemilu dari Fraksi PPP Achmad Baidowi. Menurut dia, penyaluran lewat Bawaslu. Bawaslu ke Bawaslu Provinsi, kemudian ke Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwascam, Panwas desa dan pengawas TPS. Jadi, yang tahu pencairan dana itu adalah pengawas TPS.
Mekanismenya, kata dia dana saksi akan itu akan diberikan oleh Pengawas TPS kepada saksi partai yang hadir. Jika tidak hadir, maka saksi partai tersebut tidak perlu mendapat dananya.
“Kalau ada saksi partai yang hadir, tinggal tanda tangan dan dicairkan dananya. Jadi, bukan gelondongan diberikan ke partai politik karena dikhawatirkan adanya penyimpangan,” ujar Achmad di Kantor DPP PPP, Tebet, Jakarta.
Lebih lanjut, Achamd mengatakan dana saksi tetap dimasukkan dalam RUU Pemilu. Namun, nilainya tidak sampai Rp 10 triliun sebagaimana dikalkulasikan oleh Kementerian Dalam Negeri. Pasalnya, Kemdagri mengasumsikan setiap saksi per TPS sebesar Rp. 300.000.
“Yang kita usulkan per saksi per TPS sebesar Rp 100.000. Itu angka ideal, tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil. Kita hitung kalau Rp 100.000 kali 543.000-an TPS, maka besarnya dana saksi hanya Rp 800 miliar. Kalau ada putaran kedua, hanya sebesar Rp 1,2 triliun,” terang dia.
Menurut dia, jika ada partai yang merasa Rp 100.000 untuk masing-masing saksi terlalu kecil, maka parpol bisa menambahkan anggaran tersebut. Bagi dia, angka Rp 100.000 merupakan merupakan nilai yang bisa menciptakan keadilan untuk semua partai dan mencegah terjadinya penyimpangan di TPS.
“Kita kan menciptakan fairness di antara partai politik. Selama ini, kita dengar ada kecurangan, maka kita berikan dana saksi awal agar mencegah tidak terjadinya penyelewengan,” tandas dia.
Jika dana parpol tidak dibiayai oleh negara, kata Achmad, maka perlu menaikkan anggaran untuk partai. Pasalnya, dana parpol yang disubsidi oleh pemerintah terlalu kecil, yakni Rp 108 persuara
“Itu sangat kecil. Di Jerman Rp 9.000 per suara. Di Meksiko pun begitu. Kita memang tidak seperti, tetapi separuhnya lah sehingga pendidikan politik bisa jalan. Kalau Rp 108 saja, itu tidak mencukupi biaya kesekretariatan dan aktivitas organisasi,” pungkas dia.
Menanggapi hal tersebut, Deputi Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati meminta DPR memperjelas mekanisme penyaluran dana saksi tersebut. Pasalnya, selain membebankan APBN, dana saksi rawan terjadi penyelewengan.
“Kalau seandainya itu disalurkan melalui Bawaslu atau KPU, apakah itu sudah tepat. Karena Bawaslu dan KPU sudah jelas kewenangannya, Bawaslu sebagai pengawas dan KPU sebagai penyelenggara pemilu, bukan untuk membagikan uang kepada saksi,” ungkap dia.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa jika pembiayaan dana saksi dari APBN, maka negara harus menganggarkan sekitar Rp 10 triliun. Begitu pula jika terjadi putaran kedua, negara harus kembali menganggarkan dana sebesar Rp 10 triliun untuk membiayai seluruh saksi.
Padahal, masih banyak pula kebutuhan di sektor lain yang harus dibiayai negara. “Saksi kan kalau per orang sekitar Rp 300.000. Ini Rp 10 triliun sekali coblosan. Kalau ada tahap kedua ada lagi. Kalau Rp 10 triliun sampai Rp 20 triliun buat bangun SD kan sudah bisa banyak,” ujar Tjahjo. (dbs/red)