Melihat sikap Herman HN yang mempersoalkan netralitas dan kredibiltas tim seleksi (timsel) anggota Bawaslu Lampung membuat saya termenung. Namun saya harus percaya, apa yang disampaikan Walikota Bandarlampung dua periode ini bukan tanpa dasar. Tentu dia punya seribu alasan mengapa harus mengungkap hal ini.

Orang sekelas Herman HN sangat berbeda dengan saya. Jika saya mungkin asal bicara, sering disebut menyebar aib atau lainnya. Tapi ini wajar saja. Karena effek perkataan atau �cuitan� saya tidak ada pengaruhnya di khalayak ramai. Tidak mungkin diperhatikan, apalagi diseminarkan. Paling hanya jadi obrolan bahwa saya tidak waras.

Tapi kalau sudah Herman HN yang bicara, tingkat kepercayaan mendekati �kebenaran�. Saya harus menyimaknya. Tak mungkin kalimat ini keluar semau-maunya. Tentu dia sudah mengkaji, menganalisa serta hasil kematangan, pengalaman dan kedewasaan berpikir dan berpolitik.

Dengan demikian sekali lagi saya harus percaya. Minimal jadi renungan. Masak tokoh yang pada pilkada lalu memperoleh lebih dari 80 persen suara yang mantap dan bulat memilihnya, namun komentar dan sikapnya tidak saya hiraukan atau acuhkan. Dan meskipun saya bukan �orang Herman�, terbukti pada pilkada lalu saya memilih kompetitornya, namun kali ini saya harus berkata jujur. Saya kagum dengan keberaniannya mengungkapkan ini, yang bagi sebagian orang masih tabu.

Karenanya ini bisa menjadi kritik dan pesan untuk Timsel Bawaslu. Mereka harus membuktikan netralitas. Harus berani mempertaruhkan independensi dan kredibilitas. Tidak menggadaikan gelar terhormat akademik. Tidak menjual almamaternya.

Sebab jika ini yang terjadi, saya optimis pemilihan gubernur (pilgub) Lampung yang jurdil akan tercipta. Imbasnya kita bisa percaya produk pilkada dan bahu-membahu mensupport siapapun bakal calon gubernur (bacagub) yang terpilih memimpin Lampung lima tahun kedepan nantinya.

Namun sebaliknya, jika mereka atau timsel ini berani bermain-main terhadap netralitas. Menjual nilai independensi dan kredibilitas. Serta menggadaikan gelar terhormat akademik dan almamaternya, saya khawatir proses pilgub berjalan sesuai yang tidak kita harapkan.

Bakal muncul kegaduhan, rasa curiga, bahkan bisa berpotensi konflik. Iya jika konfliknya sesuai koridor. Gugatan atau keberatan yang disampaikan melalui mekanisme jalur hukum. Namun jika tidak, ini malah bisa merusak dan menimbulkan kegaduhan yang dapat membuat tatanan masyarakat Lampung yang selama ini hidup aman, tertib, rukun dan damai menjadi terancam.

Untuk itu himbauan Herman HN ini harus menjadi perhatian kita semua. Segenap elemen masyarakat, baik LSM, akademisi, legislatif, termasuk aparat penegak hukum, serta para bacagub lain harus berani kritis. Mereka juga harus memeloti, memprotes, mengkritisi setiap kejanggalan yang ada saat proses seleksi anggota Bawaslu. Mereka harus berani bersuara jika ada bakal calon anggota Bawaslu yang tidak memiliki integritas, kribilitas, independensi lebih-lebih merupakan calon �titipan pemerintah� seperti isu yang marak beredar selama ini. Tujuannya agar momen pilgub tidak menjadi taruhan yang justru bisa menimbulkan konflik di tengah masyarakat.

Mengapa sikap kritis ini sangat penting ? Karena untuk kita ketahui mekanisme menjadi anggota timsel yang menentukan Bawaslu RI melalui tata cara pendaftaran dan melamar menjadi anggota timsel terkesan tertutup dan tidak transparan. Dan yang namanya tertutup, dia bisa menimbulkan prasangka buruk.

Apalagi ada istilah �melamar�. Ini terkesan adanya kebutuhan (pekerjaan,red) untuk diakui eksistensinya. Sebab, sebagai akademisi atau tokoh masyarakat, sebenarnya tidak perlu �melamar� untuk mendapat pengakuan. Dia justru dilamar, karena karyanya, nilai integritas dan kredibilitasnya, sudah sangat diakui kemapanannya. Bukan malah mengaku-ngaku atau menokohkan diri. Dan semoga kali ini saya yang keliru. (wassalam)