TUBABA- Jika tak terkendala, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Tulangbawang Barat (Tubaba) akan menggelar pemilihan ketua organisasi daerah (Orda). Pemilihan akan dihelat di Sesat Agung, Komplek Dunia Akhirat Tiyuh Panaragan, hari ini (25/4).

Meski muncul sejumlah kandidat, namun nama Fauzi Hasan SE, MM digadang-gadang akan menjadi kandidat terkuat Ketua ICMI Tubaba. Pria yang juga wakil bupati Tubaba ini dinilai sebagai sosok yang ‘pas’ memimpin ICMI Tubaba hingga lima tahun mendatang.

“Kabarnya begitu. Mayoritas pengurus mendukung pak Fauzi dan kami optimis beliau akan terpilih. Bisa jadi malah calon tunggal,” kata seorang sumber seraya menolak namanya di korankan.

Diketahui, kelahiran ICMI bukanlah sebuah kebetulan sejarah belaka, tetapi erat kaitannya dengan perkembangan global dan regional di luar dan di dalam negeri. Menjelang akhir dekade 1980-an dan awal dekade 1990-an, dunia ditandai dengan berakhirnya perang dingin dan konflik ideologi.

Seiring dengan itu semangat kebangkitan Islam di belahan dunia timur ditandai dengan tampilnya Islam sebagai ideologi peradaban dunia dan kekuatan altenatif bagi perkembangan perabadan dunia. Bagi Barat, kebangkitan Islam ini menjadi masalah yang serius karena itu berarti hegemoni mereka terancam. Apa yang diproyeksikan sebagai konflik antar peradaban lahir dari perasaan Barat yang subjektif terhadap Islam sebagai kekuatan peradaban dunia yang sedang bangkit kembali sehingga mengancam dominasi peradaban Barat.

Kebangkitan umat Islam ditunjang dengan adanya ledakan kaum terdidik (intelectual booming) yang di kalangan kelas menengah kaum santri Indonesia. Program dan kebijakan Orde Baru secara langsung maupun tidak langsung telah melahirkan generasi baru kaum santri yang terpelajar, modern, berwawasan kosmopolitan, berbudaya kelas menengah, serta mendapat tempat pada institusi-institusi modern. Pada akhirnya kaum santri dapat masuk ke jajaran birokrasi pemerintahan yang mulanya didominasi oleh ‘kaum abangan’ dan di beberapa tempat oleh non muslim. Posisi demikian jelas berpengaruh terhadap produk-produk kebijakan pemerintah.

Dengan kondisi yang membaik ini, maka pada dasawarsa 80-an mitos bahwa umat Islam Indonesia merupakan mayoritas tetapi secara teknikal minoritas runtuh dengan sendirinya. Sementara itu, pendidikan berbangsa dan bernegara yang diterima kaum santri di luar dan di dalam kampus telah mematangkan mereka buka saja secara mental, tetapi juga secara intelektual. Dari mereka itulah lahir critical mass yang responsif terhadap dinamika dan proses pembangunan yang sedang dijalankan dan juga telah memperkuat tradisi inteletual melalui pergumulan ide dan gagasan yang diekpresikan baik melalui forum seminar maupun tulisan di media cetak dan buku-buku.

Seiring dengan itu juga terjadi perkembangan dan perubahan iklim politik yang makin kondusif bagi tumbuhnya saling pengertian antara umat Islam dengan komponen bangsa lainnya, termasuk yang berada di dalam birokrasi. (Jaz & Zai )