Guntur Muhammad Rafly, S.Si

BANDAR LAMPUNG – Kota Bandar Lampung yang terus berkembang pesat sebagai pusat ekonomi dan budaya di Provinsi Lampung, kini menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan sampah.

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bakung, sebagai satu-satunya tempat pembuangan akhir di kota ini, telah menunjukkan tanda-tanda kritis yang memerlukan perhatian segera.

Kebakaran besar yang terjadi beberapa waktu lalu dan penyegelan oleh Kementerian Lingkungan Hidup menjadi peringatan keras atas lemahnya pengelolaan di TPA ini. Dengan kapasitas yang hampir penuh dan pengelolaan yang belum optimal, ancaman terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat kian nyata. Sudah saatnya Bandar Lampung berkaca dari situasi di TPA Bakung dan belajar dari Kabupaten Banyumas, yang telah berhasil menerapkan konsep pengelolaan sampah “Zero Waste to Landfill.”

Guntur Muhammad Rafly, S.Si. Alumni Golkar Institute dan Tokoh Pemuda Lampung, Sabtu (4/1/2025), mengungkapkan bahwa TPA Bakung setiap harinya menampung sekitar 800 ton sampah yang sebagian besar tidak terpilah ini menjadi bukti lemahnya sistem pengelolaan sampah di Kota Bandar Lampung.

Pengelolaan yang masih menggunakan metode open dumping memperparah masalah, karena tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga meningkatkan risiko kesehatan akibat emisi gas metana dan pencemaran air tanah. Jika terus dibiarkan, maka kondisi ini dapat membawa dampak jangka panjang yang merugikan masyarakat dan lingkungan sekitar.

Guntur menegaskan jika pengelolaan sampah yang paling tepat adalah dengan menggunakan sistem berbasis “Zero Waste to Landfill.” Kabupaten Banyumas telah membuktikan bahwa pengelolaan sampah berbasis “Zero Waste to Landfill” adalah solusi yang tidak hanya efektif, tetapi juga berkelanjutan.

Kabupaten ini bahkan menjadi tuan rumah South-East Asia Garbage Action Conference (SGAC), sebuah forum yang mempertemukan berbagai negara untuk berbagi inovasi dan strategi dalam pengelolaan sampah. Dengan pendekatan ini, sampah dipilah sejak dari sumbernya, diolah menjadi produk bernilai ekonomi seperti kompos, biji plastik, paving block, dan lainnya. Sisa residu yang tidak dapat didaur ulang pun dikelola secara bertanggung jawab tanpa harus menumpuk di TPA.

“Model ini tidak hanya mengurangi tekanan terhadap TPA, tetapi juga melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pengelolaan sampah. Edukasi tentang pentingnya pengurangan, penggunaan kembali, dan daur ulang (3R) menjadi kunci keberhasilan Banyumas dalam mencapai target pengelolaan sampah yang berkelanjutan,” bebernya.

Guntur menyarankan mengenai langkah-langkah Kota Bandar Lampung untuk mengatasi krisis di TPA Bakung, yakni perlunya segera mengambil langkah nyata dengan belajar dari praktik terbaik di Banyumas. Pemerintah harus gencar mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memilah sampah sejak dari rumah melalui kampanye publik dan program sekolah, sekaligus membangun Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) yang dilengkapi dengan teknologi pemilahan dan daur ulang. Selain itu, kolaborasi dengan sektor swasta dan komunitas lokal sangat penting untuk menciptakan model bisnis berbasis pengelolaan sampah, seperti bank sampah atau pusat daur ulang. Kebijakan yang mendukung “Zero Waste” perlu segera diterapkan, termasuk mewajibkan pemilahan sampah, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, dan memberikan insentif untuk daur ulang.

Pemanfaatan teknologi modern, seperti pengolahan sampah organik menjadi biogas atau kompos, serta pengelolaan residu dengan “waste to energy,” dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi volume sampah di TPA, pungkasnya.

Guntur menambahkan bahwa kejadian di TPA Bakung bisa dijadikan sebagai momentum yang tepat untuk perubahan dan menjadi pengingat nyata bahwa waktu terus berjalan dan masalah ini tidak bisa diabaikan lebih lama lagi. Dengan belajar dari Kabupaten Banyumas, Kota Bandar Lampung memiliki peluang untuk menjadi kota percontohan dalam pengelolaan sampah di Indonesia.

Langkah ini tidak hanya akan menyelamatkan lingkungan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, tetapi juga membuktikan bahwa perubahan yang berkelanjutan adalah mungkin jika semua pihak bekerja sama, terangnya.

Menurut Guntur, sudah saatnya Kota Bandar Lampung berani bergerak menuju masa depan tanpa sampah. Langkah ini tidak hanya menjadi warisan bagi generasi mendatang, tetapi juga wujud nyata dari tanggung jawab kita terhadap bumi dan lingkungan tempat kita hidup.

(Iman/Rilis)