Bukhori Muzzammil

Adanya himbauan Pondok Pesantren (Ponpes) tak terlibat politik praktis mendukung Calon Gubernur (Cagub)-Wakil Gubernur (Wagub) Lampung di Pilkada serentak, 27 Juni 2018 menimbulkan kontroversi. Bagi yang pro, mereka menilai himbauan ini sangat tepat karena tidak pada tempatnya posisi ponpes berpolitik praktis. Alasan kedua, jika sikap ini terjadi dikhawatirkan membuat fungsi dan peran ponpes menjadi bias. Dimana ponpes harusnya fokus pada fungsi dan tujuan menciptakan kepribadian muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia dan bermanfaat bagi masyarakat serta mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian.

Sementara bagi yang kontra sebaliknya. Mereka menilai himbauan ini kebablasan dengan membatasi hak lembaga atau seseorang berpolitik. Alasannya himbauan itu bertendensi dan bisa berakibat penghuni ponpes golput. Dimana sikap ini merupakan hak individu yang tidak boleh dikebiri atau dibatasi.

Atas pertentangan ini saya pun teringat penelitian oleh lembaga Indonesia Consortium For Religious Studies (ICRS) Yogyakarta soal Dampak Keterlibatan Ponpes Dalam Politik.

Ada beberapa poin kesimpulannya. Dimana keterlibatan ponpes di ranah politik menimbulkan dampak. Pertama, keterlibatan ponpes telah mendeligitimasi perannya sebagai otoritas moral dan referensi keagamaan. Banyak ponpes menurun kualitas karena kiai atau pimpinan sibuk berpolitik. Kondisi itu membuat masyarakat memandang ponpes tak lagi objektif dan cenderung menguntungkan kelompok tertentu.

Kedua, ponpes telah turut mengukuhkan politik pragmatis karena menjadikan politik ajang mempertukarkan dukungan dengan kompensasi materi yang diterima. Suatu kondisi yang semakin menjauhkan ponpes dari masyarakat lantaran ada penilaian sikap politik itu malah merusak independensi dan memecah umat ke politik partisan.

Ketiga, terjadi resistensi masyarakat atas sikap politik ponpes.

Hal itu secara nyata dilihat dalam sikap masyarakat yang seakan membangkang terhadap pilihan politik ponpes. Seiring demokratisasi dan perkembangan pendidikan, masyarakat bisa membedakan sikap ponpes sebagai sikap keagamaan yang patut ditaati serta sikap ponpes yang berpolitik kepentingan yang tak berkaitan dengan ajaran keagamaan sehingga tak harus diikuti.

Di sini terlihat ponpes perlu hati-hati menentukan sikap politik. Sebab keterlibatan politik memiliki dampak yang tidak sebanding dengan manfaat yang didapat. Apalagi bila kesibukan politik telah melalaikan kiai dan pengelola ponpes dari urusan pendidikan.

Mungkin di masa depan ponpes perlu merevitalisasi peran politik yang lebih sesuai semangat zaman dan keinginan masyarakat yang sudah rasional. Bagaimanapun politik ponpes bukan politik kekuasaan. Tapi politik kerakyatan yang begerak di ranah kultural.

Tentunya saya berharap hasil penelitian ini, bisa menjadi renungan para kiai, ulama, atau para pemilik ponpes di Lampung agar berhati-hati menentukan sikap politik. Jujur saja, masyarakat Lampung akan sangat maklum jika ponpes dikunjungi setiap calon kandidat. Sebab ini merupakan fenomena biasa karena ada magnet elektoral yang tersimpan pada ponpes terutama pengaruhnya di masyarakat sekitar.

Tapi sebaliknya. Kondisi ini akan sangat berbeda, jika justru kiai, ulama atau pemilik ponpes yang sibuk SOWAN dan SILATURAHMI dengan kandidat calon. Bisa saja langkah tersebut malah menjadi cibiran. (wassalam)