Mushala Bandara

Untuk itu saya pun berharap pemerintah daerah dapat serius melihat persoalan ini. Tidak meniru saya yang memandangnya secara sederhana dan terkesan main-main. Bahkan acuh tak acuh.

Libur hari besar kemarin sebenarnya saya sangat ingin beristirahat total. Tidak ingin melihat komputer atau ponsel. Rasanya ingin balas dendam terhadap waktu yang tersita sebelumnya karena habis “memelototi” koran ini.

Sayangnya usaha itu ternyata sia-sia. Tiba-tiba masuk pesan dari “orang dekat”. Awalnya tidak ingin digubris. Tapi karena takut kualat, terpaksa harus membacanya. Pesan itu dari kakak saya. Dia mengeluhkan tentang kondisi mushala bandara yang dinilai sangat tidak manusiawi. Bagaimana mau tenang beribadah, jika kondisinya mengenaskan. Ruangannya kecil. Hanya cukup sekitar lima orang saja. Itupun berdesak-desakan. Lalu tempat berwudhu juga sangat minim. Hanya ada satu, katanya. Sementara yang antri mencapai puluhan bahkan bisa ratusan di jam-jam tertentu.

Saya pun cuek saja. Sebab saya memang agak berbeda dengan kakak saya yang satu ini. Dia matang di agama karena memang sekolahnya kenyang di pesantren. Dia bergelar Doktor dari universitas sangat ternama. Dia lembut, tutur kata sopan dan bertindak dengan strategis.
Ini berbeda drastis dengan saya. Waktu sekolah dulu, saya pernah rangking 41 dari 43 siswa. Tapi syukurnya, saya tetap naik kelas. Berbeda dengan dua siswa yang di belakang saya.

Selain itu, saya juga sangat jauh dari nilai agama. Untuk urusan ini tidak terhitung beberapa kali yang namanya ditegur dan dimarahi orangtua. Sikap saya pun nyaris tercela. Suka meledak, ceroboh dan bertindak sangat taktis.

Karenanya untuk urusan mushala bandara yang dikeluhkan, wajar saja kami punya pandangan berbeda. Dia begitu khawatir, cemas, minder, dan uring-uringan. Sementara saya memilih sikap biasa-biasa saja. Saya masa bodoh dan menganggap tidak ada guna dan manfaatnya untuk dibahas. Toh saya juga hampir-hampir jarang menggunakannya.

Tapi ternyata sikap cuek ini hanya sesaat mampir di pikiran dan hati saya. Saya menilai urusannya tidak “sesederhana” yang saya sangka. Belum tentu orang lain juga punya sikap “nyeleneh” seperti saya yang tidak membutuhkan mushala.

Mushala bandara ini sangat penting bagi ribuan penumpang setiap harinya. Mereka berasal dari berbagai suku dan daerah se-Indonesia. Ditambah dengan penumpang asing, misalnya yang kebetulan mempunyai “keyakinan” yang sama.

Akibatnya pun bisa fatal. Dia bisa mengembang kepada “citra” dan “cibiran” terhadap daerah yang saya cintai ini. Benarlah dugaan mereka jika provinsi tempat saya lahir ini tidak aman, banyak begal, jalan rusak, penduduknya miskin dan tuduhan negatif lain sebagaimana yang mungkin mereka pernah dengar dari media cetak ataupun media elektronik.

Padahal isu ini belum tentu benar. Mungkin ada daerah tak aman dan rawan begal, tapi tidak semua. Mungkin ada jalan rusak, tapi tidak menyeluruh. Dan mungkin juga ada penduduk yang miskin, tapi banyak juga yang kaya-raya. Namun karena di saat tiba di bandara, mereka dalam keaadan lelah, dan ditambah lagi dengan langsung melihat kondisi mushala tadi, pola pikir pun seketika “terbentuk”. Yakni benar bahwa daerah ini ada managemen yang “tidak beres”.

Untuk itu saya pun berharap pemerintah daerah dapat serius melihat persoalan ini. Tidak meniru saya yang memandangnya secara sederhana dan terkesan main-main. Bahkan acuh tak acuh.

Saya tidak kenal dengan pimpinan tertinggi di daerah ini. Tapi saya “cukup dekat” dengan wakilnya meskipun belum tentu saya bisa bertemu. Beliau adalah tokoh yang mencintai seni. Dan orang yang mencintai seni adalah orang yang menyukai keindahan dan kenyamanan.
Jadi untuk urusan bandara ini mungkin saja beliau lupa memperhatikan. Bisa saja terhalang oleh ramainya ajudan atau staf protokol yang mengelilingi saat bepergian atau melakukan peninjauan di bandara.

Andai saja mengetahui, saya yakin beliau bisa “tersentak kaget”. Kemudian langsung mengutak-ngatik, menata, memperindah dan mengambil langkah ekstrem dengan segera. Bahkan bila dirasa kurang, bisa saja mengundang dan meminta jasa ahli design, tata ruang, seniman, ahli budaya dan lain-lain untuk dilibatkan.

Jadi kedepan saya berharap kakak saya ini tidak perlu cemas, khawatir atau minder lagi melihat kondisi mushala ini. “Bersabar saja” sampai “sang wakil” yang saya maksud mendapat laporan dan melihat langsung kondisi yang sesungguhnya. Mengenai “waktu bersabar” nya, saya tidak bisa memastikan. Tapi untuk persoalan ini pasrahkan saja ke Tuhan yang maha pendengar.

Sebab sama dengan kita, wakil yang saya maksud ini, juga sangat tidak ingin ada yang menyebut bahwa daerah yang dipimpinnya telah terjadi “salah urus”. Bisa hancur harkat, martabat, dan kredibilitas beliau.
Kalau saya, sudahlah jangan dipikirkan. Toh saya tetap tidak akan peduli. Mengapa ? Karena hingga kini, saya masih harus lebih jauh “belajar” tentang apa itu manfaat mushala. (wassalam)