AWALNYA saya mencoba menyadari bahwa tolok ukur kebahagiaan itu ternyata berbeda-beda. Dulu saya menganggap kebahagiaan hanya bisa diraih dengan banyaknya harta. Dengan harta, kita bisa �dianggap ada�. Karenanya semua tindakan saya pun mengarah kesana. Termasuk dengan menipu, mencuri, memfitnah bahkan menjilat sekalipun.
Tapi ternyata anggapan itu, kini perlahan-lahan mulai bergeser. Seiring usia saya banyak mengamati. Sebenarnya apapun yang kita terima dia bisa disyukuri. Memiliki keluarga yang harmonis, saling mengerti misalnya, itu luar biasa. Melihat canda dan kecerdasan anak-anak yang rata-rata diatas saya, ini lebih-lebih dari karunia.
Dan rasa syukur itu bisa lebih terasa, ketika kita ada di tengah-tengah mereka yang kita nilai ada �di bawah kita�. Beberapa waktu lalu misalnya, saat berziarah menyambut datangnya bulan ramadan, saya tersentuh. Banyak sekali di sana yang mencari nafkah. Mulai dari penjual bunga hingga menawarkan jasa membersihkan pemakaman. Mereka sangat kreatif dalam membaca peluang. Dan yang membuat saya tersentuh, mereka berani melakukan pekerjaan tersebut.
Lalu benarkah penilaian bahwa mereka �dibawah kita� ? Hasil renungan saya ternyata kebalikannya. Justru tindakan mereka sangat kesatria. Mereka berani mengambil resiko untuk bekerja secara jujur, apapun itu jenis pekerjaannya. Mereka sangat percaya dengan kekuatan zat yang Maha Kuasa. Yang siap menolong hambaNya.
Ini berbeda dengan mental saya. Saya tak punya nyali untuk sanggup melakukannya. Bahkan anak-anak saya pun pasti tidak akan saya izinkan bekerja seperti itu. Saya pasti lebih memilih untuk mengajarkan mereka agar menipu atau mencuri. Saya seperti ragu dengan keyakinan bahwa Tuhan YME akan menolong saya dan keluarga bila patuh dengan perintahNya.
Saya pun berharap orang yang memiliki mental seperti saya ini jumlahnya minim. Mereka yang saya maksud bisa berwujud wartawan, LSM, bangkir, penegak hukum, wakil rakyat, kepala daerah atau jenis profesinya. Cukup saya saja yang mempunyai mental pengecut ini. Sementara �mereka� harus berani bersikap jujur, tidak rakus, atau sejenisnya. Tidak perlu memiliki mental menipu, mencuri, memfitnah bahkan menjilat.
Dan saya pun agaknya harus meralat pernyataan saya diatas. Bahwa ternyata harta itu memang tetap diatas segalanya. Selama saya belum berani dan tidak mempunyai mental seperti penjual bunga atau anak-anak yang membersihkan makam ini, selama itu sebenarnya saya tidak peduli dengan kebahagian keluarga. Bagaimana ingin bahagia jika rezeki dan harta yang saya peroleh dari cara yang tidak benar. Kalau terlihat bahagia, ternyata itu pura-pura dan hanya tampilan luar saja. Berbeda dengan mereka yang tulus bekerja dengan kejujuran.(wassalam)