“Kak’ lucu lho di group medsos kita ada kiriman ajakan shalat lima waktu, hidup berkasih sayang, tolong menolong lengkap dengan hadis-hadisnya,” pesan salahsatu adik di organisasi sosial yang sangat saya cintai yang masuk dalam ponsel saya. “Lucunya dimana,” tulis saya singkat.
“Ya luculah, pesan itu jauh dari kesehariannya..he..he..,” balasnya disertai emoji gambar tengkorak.
Tak saya balas lagi. Tapi saya yakin ini sindiran atau cemohan. Dan bisa saja sindiran itu diperuntukkan buat saya atau kita semua. Untungnya, orang seperti saya sudah terbiasa untuk tidak tahu malu sehingga agak kebal dengan cemohan seperti itu.
Dalam keseharian, saya sadari banyak tingkah laku yang dilakukan, memang berbeda jauh dengan yang diungkapkan. Kadang-kadang melarang orang mencuri tapi justru malah jadi pencuri. Meminta orang lain taat pada agama tapi justru malah melanggar nilai-nilai kesakralan agama. Awas bahaya narkoba, tegas seorang teman. Tapi suwenya atau apesnya, keesokan harinya justru yang bersangkutan tertangkap karena pesta narkoba. Adalagi ajakan mari ciptakan keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah tapi….kebalikannya yang tidak akan saya ungkap disini.
Untungnya hal negatip seperti ini hanya dilakukan oleh orang-orang awam seperti kita atau saya sehingga kadar berbahayanya tidak sekuat radiasi bom nuklir. Bayangkan kalau ini dilakukan oleh pemimpin kita seperti Gubernur, Bupati, Walikota, anggota DPRD, atau pejabat publik lainnya. Bisa dipastikan, akan terjadi atau terbentuk “Grup Srimulat dalam skala besar”. Tingkat kelucuannya akan menjadi-jadi. Gaungnya bisa menasional bahkan internasional. Ini mengalahkan berita perolehan mendali emas atlit Indonesia di Pesta Olehraga Olimpiade. Dimana pejabat publiknya bakal menjadi tertawaan rakyatnya.
Dengan demikian menyambut pesta demokrasi pilgub atau lainnya 2018 mendatang, pilihlah calon atau tokoh Lampung yang tidak suka melucu seperti itu. Dia harus calon pemimpin yang keras dan tegas atau lembut sekalipun, tapi yang benar-benar sesuai dan bisa dipertanggungjawabkan antara ucapan dan perbuatannya.
Cukuplah yang melawak hanya kita-kita yang awam. Pemimpin itu tidak perlu ikut-ikutan melucu, karena tugasnya membina kita semua agar tidak melucu yang “terlalu”. Kalau pemimpin ini kita dapat, tentu kelucuan yang kita perbuat tidak akan memukul diri sendiri, sehingga mengorbankan nama baik kita dan keluarga. Moga pemimpin tersebut masih ada harus yakin masih ada.(wassalam)