BANDAR LAMPUNG – Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah Lampung (KPKAD) mendesak penegak hukum Kejaksaan, Kepolisian dan KPK mulai melakukan penyelidikan terkait deposito anggaran Rp250 miliar milik Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan.

�Karena menurut hemat kami diduga proses deposito ini janggal. Hanya alasan gagalnya serapan 40% APBD untuk infrastruktur karena ‘hacker’ dengan mudahnya mendepositokan APBD yang sudah ada peruntukannya sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD Kabupaten Lampung Selatan 2019,� kata Koordinator Presidium KPKAD, �Gindha Ansori Wayka.

Kata dia, deposito anggaran Rp250 miliar milik Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, memang secara hukum diperkenankan. Namun, itu harus memenuhi standar teknis pelaksanaan sebagaimana amanah Undang-Undang.

�Di dalam Pasal 131 Ayat (1) PP Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dijelaskan bahwa dalam rangka manajemen kas, Pemerintah Daerah dapat mendepositokan dan/atau melakukan investasi jangka pendek atas uang milik daerah yang sementara belum digunakan sepanjang tidak mengganggu likuiditas keuangan daerah, tugas daerah, dan kualitas pelayanan publik,� kata Koordinator Presidium Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah Lampung (KPKAD).

Namun begitu, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi dan dikaji.

�Apakah upaya Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan mendepositokan APBD tersebut atas dana sementara yang belum digunakan?. Apakah dengan deposito ini tidak mengganggu likuiditas keuangan daerah?. Apakah upaya ini dapat mengganggu dan menghambat kinerja daerah dan mempengaruhi kualitas kinerja terhadap pelayanan publik?,� katanya lagi.

Pemenuhan prasyarat ini sebagai landasan hukum yang benar.� �Kalau alasan deposito ini karena ada dana APBD senilai Rp250 miliar yang diperuntukkan untuk pembangunan infrastruktur tetapi� gagalnya pelaksanaan proyek APBD 2019 karena disebabkan oleh “hacker” yang merusak sistem pelelangan yang telah dijalankan pihak Unit Layananan pengadaan (ULP) dan Pokja Lamsel sehingga 40% Proyek Infrastruktur gagal dilaksanakan,� hal ini tidak menjadi alasan hukum pembenar untuk mendepositokan APBD tersebut, karena dengan deposito ini jelas akan mengganggu dan menghambat kinerja daerah dan mempengaruhi kualitas kinerja terhadap pelayanan publik karena banyak program tidak terlaksana.�

Menurut Gindha, keadaan ini sangat aneh,� mengapa Unit Layananan pengadaan (ULP) dan Pokja Lamsel� yang hanya diserang “hacker” menyebabkan dana APBD nya tidak diserap.

�Apakah daerah lain tidak? atau ada daerah lain yang belum terpublish terkait persoalan yang sama? dan diduga tidak ada bukti bahwa Unit Layananan pengadaan (ULP) dan Pokja Lamsel bersungguh-sungguh melawan ‘hacker’ yang cukup meresahkan misalkan dengan melaporkan ke penegak hukum atau mengundang ahli pembuat sistem yang dapat memperkuat Unit Layananan pengadaan (ULP) dan Pokja Lamsel sehingga 40 % dana APBD yang tertunda dapat diserap sesuai dengan peruntukannya,� katanya.

Meskipun aturan membolehkan untuk mendepositokan APBD, namun kata dia, itu harus memenuhi persyaratan dan mekanisme yang ada.

�Kalau ULP dan Pokjanya yang diserang hacker sehingga dana APBD 40 % tersebut kemudian didepositokan dengan� menggagalkan proses tender tanpa berupaya untuk membuat sistem ULP dan Pokja yang mumpuni, maka ini diduga hanya “alibi” Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan untuk mencari alasan pembenar bahwa deposito ‘halal untuk dilakukan’ dengan cara memanfaatkan sistem yang diduga dapat saja dibuat sendiri. Sehingga upaya� ini meskipun diperkenankan secara hukum justru upaya ini bertolak belakang dan harus diungkap karena diduga melanggar hukum meski deposito tersebut diperkenankan secara hukum karena cacat prosedural dan administrasi.� (red)