BANDARLAMPUNG � Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI diminta tak berkecil hati. Ini menyikapi putusan prapradilan PN Jakarta Selatan yang menerima sebagian gugatan yang diajukan Setya Novanto. Dalam putusannya, hakim menilai penetapan tersangka Setnov oleh KPK dianggap tidak sah. Menurut hakim tunggal Cepi Iskandar, KPK harus menghentikan penyidikan kasus Setnov.
�Tak ada masalah dengan putusan ini. KPK bisa saja segera menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru,� tutur Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Lampung (Unila), Yusdianto, S.H., M.H., kemarin.
Menurut kandidat doktor FH Universitas Padjajaran (Unpad) ini, kasus serupa sudah beberapa kali dialami KPK. Seperti dalam kasus tindak pidana korupsi yang menjerat mantan Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin.
Sebelumnya Ilham, permohonan praperadilannya pernah dikabulkan PN Jaksel. Dimana hakim tunggal Yuningtyas Upiek Kartikawati menyatakan penetapan tersangka terhadap Ilham di kasus dugaan korupsi dalam kerjasama rehabilitasi kelola dan transfer untuk instalasi PDAM Makassar tahun 2006-2012 tidak sah. Atas putusan ini, KPK kemudin menerbitkan sprindik baru terhadap Ilham Arief Sirajuddin.
�Jadi kita tunggu saja. Ini soal waktu. Karena di KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,red) penyidik tidak dibatasi untuk menerbitkan sprindik lagi. Dengan syarat minimal ada beberapa alat bukti. Dan ini diperkuat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 yang menjelaskan perlindungan terhadap hak tersangka tidak diartikan tersangka tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana,� urai Yusdianto.
Untuk diketahui Setnov ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP oleh KPK pada 17 Juli 2017 lalu. Ia lalu mengajukan praperadilan ke PN Jakarta Selatan pada 4 September 2017. Gugatan terdaftar dalam nomor 97/Pid.Prap/2017/PN Jak.Sel. Novanto keberatan atas status tersangka dari KPK.
Ketua Umum Partai Golkar ini diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, pada kasus e-KTP. Sewaktu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, Novanto diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui oleh anggota DPR.
Selain itu, Novanto diduga mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP. Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.
Menanggapi itu, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan, KPK kecewa terhadap putusan praperadilan ini. Meski demikian, secara institusional KPK tetap menghormati institusi peradilan dan pelaksanaan tugas yang dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Laode mengatakan, KPK akan mempelajari pertimbangan hakim yang menyatakan penetapan tersangka tidak sah.
Ia menegaskan, KPK akan tetap berkomitmen untuk terus menangani kasus e-KTP yang sangat merugikan keuangan negara.
“Banyak pihak yang diduga terlibat, telah menikmati indikasi aliran dana dari proyek e-KTP in. Tentu tidak adil jika dibiarkan bebas tanpa pertanggungjawaban secara hukum,” kata dia.
“Utamanya karena KPK sangat meyakini adanya indikasi korupsi dalam pengadaan e-KTP ini, yang bahkan untuk dua orang terdakwa telah dijatuhi vonis bersalah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,” lanjut Laode.(red/dbs)