BANDARLAMPUNG � Adanya penyelesaian polemik pemilihan hewan kera atau monyet yang dijadikan maskot Pilkada dengan diundangnya beberapa tokoh adat Lampung Saibatin dan Pepadun di Hotel Sheraton oleh KPU Bandarlampung menuai kecaman. Tak tanggung-tanggung keprihatinan disampaikan Ketua Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) H. Syabirin HS Koenang, SH, MH Gelar St. Ratu Sepulau Lampung.� ��

“Ini sebenarnya masalah kecil. Jika bicara hukum, masalah ini bisa selesai musyawarah mufakat. Tapi jujur langkah KPU seperti politik zaman belanda. Terkesan adu domba antara tokoh adat dan masyarakat Lampung,” tegasnya, Minggu, 26 Mei 2024.�

Menurut Syabirin, dia sangat prihatin dengan langkah KPU Bandarlampung yang bisa memicu konflik baru. Dijelaskan, eksistensi Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) diakui dan tertulis di lembaran negara. Antara lain tertuang di Peraturan Gubernur No3/2013. Tercatat di Kepmenkum-HAM Nomor AHU.0011970.0107/2019 Tertanggal 27 Desember 2019 serta Kesbangpol Pemprov Lampung Nomor 210/044/IV/VII.1/2019. MPAL pun pernah diketuai oleh Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP.

�Meski begitu, saya atau kami, tak berani secara serampangan membawa nama adat. Semua harus diputuskan secara adat dalam menentukan sikap atau pengambilan keputusan,� ujarnya.

Mengapa ? Sebab, sangat perlu menjaga keharmonisan semua pihak. Dimana ada sedikitnya 62 marga di Lampung. Pepadun dan Saybatin. Mulai dari Martapura sampai Selat Sunda.

Pertanyaannya lanjut Syabirin, apa legal standing perwakilan tokoh adat yang diundang KPU di Hotel Sheraton. Apa sudah mewakili ke 62 marga. Misalnya mengatasnamakan Megow Pak Tulang Bawang, Agung Siwo Mego Abung Saibatin, Melinting Pesisir dan lain-lain.

�Artinya tidak tercermin. Ini namanya politik zaman penjajahan Belanda. Politik adu domba antar tokoh adat serta masyarakat Lampung. Mirisnya lagi yang pelapor atau pengadu masalah ini di kepolisian ini siapa, tapi yang berdamai malah siapa,� sesal Syabirin HS Koenang.

Syabirin pun mengaku jika perwakilan KPU Bandarlampung pernah menemuinya. Saat itu dia memberikan saran. Agar KPU mengaku salah, minta maaf pers rilis di media serta dilakukan perdamaian adat.

�Tiba-tiba malah ada �perdamaian� dengan diundangnya beberapa tokoh adat oleh KPU di Hotel Sheraton Bandarlampung. Saya tak masalah siapapun yang diundang. Tapi sekali lagi, yang saya pertanyakan apakah sudah mencerminkan perwakilan 62 marga di Lampung, jika tidak, saya prihatin. Ini yang namanya politik memecah belah. Politik adu domba antara tokoh adat dan masyarakat Lampung,� pungkasnya.

Seperti diketahui polemik pemilihan kera sebagai maskot�pilkada Bandarlampung diselesaikan secara adat dengan adanya pertemuan antara KPU�bersama tokoh adat�Saibatin dan Pepadun di Ballroom Hotel Sheraton. Ketua KPU, Dedy Triyadi saat itu menyampaikan permohonan maaf atas kelalaian yang dilakukan pihaknya dan mengaku tak ada niat merendahkan adat istiadat masyarakat Lampung. Dimana maskot Kera adalah hasil sayembara dari masyarakat sebagai salahsatu bentuk, sarana sosialisasi Pilkada Bandarlampung 2024 untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.

Disisi lain, secara terbuka Kepaksian Pernong Raja Duta Perbangsa Seem R Canggu dalam musyawarah adatnya mengapresiasi permohonan maaf KPU. Sebagai tanda penerimaan maaf, mereka menerima sehelai kain putih atau biasa disebut terapang maupun punduk. Ini tertuang di Berita Acara Nomor 960/HM.03-BA/1871/2/2024 tentang Musyawarah Penyelesaian Adat Polemik Maskot Pilkada Serentak 2024 KPU Bandarlampung.

Seperti diketahui, KPU Bandarlampung seperti tak henti dirundung masalah. Belum usai kasus adanya anggota KPU�Bandarlampung yang diduga menerima uang dari salahsatu calon legislatif (Caleg) dari PDI-Perjuangan hingga diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI, kini masalah baru menanti. Yakni soal dijadikannya Hewan Monyet atau Kera Berpakaian Adat Lampung, sebagai Maskot Pilkada 2024, sehingga berujung laporan kepolisi.

Ikon itu dinilai menghina orang daerah Lampung. Atas dasar itu LSM Laskar Lampung didampingi advokat Gunawan Pharikesit melaporkan KPU�ke Bandarlampung Polda Lampung, Minggu (19/5/2024).

Dijelaskan olehnya, maskot itu divisualisasi kera yang memakai topi dan kain kebanggaan masyarakat Lampung jadi seolah-olah masyarakat Lampung itu monyet. Laskar Lampung menyesalkan kesembronoan KPU Bandarlampung yang sampai menjadikan monyet berpakaian adat Lampung sebagai maskot.

�Sudah dikonsultasikan dulu belum monyet dipakaikan pakaian adat Lampung?� katanya.

Menurutnya, monyet merupakan hewan yang menyerupai manusia dengan kerangka otot, jari-jari yang sama dengan manusia. �Tapi bagaimanapun itu adalah hewan, sehingga tidak bisa disama-samakan dengan masyarakar Lampung,� kata Sekjen Laskar Lampung Panji Nugraha AB, SH.

Menurut Panji, apapun alasan pembuatan maskot itu tidak ada asas kepantasan. �Alasan bahwa kera atau monyet itu sudah mulai langka, tidak bisa dijadikan alasan pembenaran. Hewan itu juga bukan asli dari Lampung, maka tidak bisa dijadikan ikon,� katanya.

Sementara Gunawan Pharikesit mengatakan, laporan bermula dari kegiatan jalan sehat dalam rangka peluncuran maskot dan jingle lagu Pilwakot�Bandarlampung �2024 bersama Walikota Eva Dwiana di�Tugu Adipura Minggu (19/5/2024). �Masyarakat prihatin karena adanya pelecehan,� ujar Gunawan.

Disisi lain, tokoh masyarakat Lampung, M. Alzier Dianis Thabranie juga mengkritik penggunaan kera sebagai maskot. Menurutnya, masyarakat marah karena pakaian adat Lampung dipakaikan kepada kera yang filosofinya dianggap tidak baik.

�Pakaian adat dipakaikan ke kera, kera itu lambang keburukan, bukan lambang kemaslahatan. Sebagai orang Lampung, saya tidak terima,� kata mantan Ketua DPD Partai Golkar Lampung tiga periode ini.

Dia meminta KPU�Bandarlampung menjelaskan alasan kenapa menggunakan kera sebagai maskot atau ikon Pilkada. Jangan sampai tidak ada penjelasan, karena masyarakat Lampung bisa semakin marah. (rls/red)