BANDAR LAMPUNG � Pihak Kejaksaan diminta tidak hanya mengkaji penjanjian antara Pemerintah Kota (Pemkot) Bandarlampung dan PT. Prabu Artha Develover soal Pembangunan Pasar SMEP Sukabaru, Tanjungkarang Barat senilai Rp286,8 miliar lebih yang kini mangkrak selama lebih empat tahun dari sudut keperdataan. Namun bisa memfokuskan adanya dugaan tindak pidana korupsi. Terutama ketidakjelasan bank garansi (BG) atau uang jaminan pelaksanaan pekerjaan Pembangunan Pasar SMEP senilai Rp14,3 miliar lebih sesuai isi perjanjian.

�Menyelidik masalah Pasar SMEP ini mudah saja, cek dahulu dimana bank garansi (BG) sesuai perjanjian yang ada. Baru nanti bisa mengembang kepersoalan yang lain,� tutur advokat Peradi Lampung, Hengki Irawan, S.P.,M.H.
Menurut Hengki agak janggal jika sampai Kepala BPKAD, Trisno Andreas hingga Sekretaris Kota (Sekkot) Badri Tamam, dan terakhir Walikota Bandarlampung, Herman HN, mengaku tidak tahu-menahu mengenai bank garansi atau uang jaminan sebesar Rp14,3 miliar. Padahal lanjut Ketua Poros Pemuda Indonesia Provinsi Lampung, masalah mangkraknya pembangunan Pasar SMEP bukan merupakan persoalan main-main.

Ini menyangkut nasib ratusan pedagang yang menggantungkan hidupnya disana. Apalagi masalah ini diakuinya langsung atau tidak langsung telah memakan korban jiwa. Karenanya dengan adanya isu yang sensitif, terutama soal dana jaminan, dikhawatirkan memicu keresahan di kalangan pedagang. Dimana banyak uang mereka yang kini tidak jelas keberadaannya karena terlanjur diambil pengembang.

�Jadi sekali lagi, usut saja persoalan bank garansinya. Jika Kejari Bandarlampung serius mudah saja kok mengurai benang merah masalah mangkraknya Pasar SMEP ini,� ujar lagi.

Sebelumnya Wakil Walikota Bandarlampung, M. Yusuf Kohar mengkritik perjanjian antara Pemkot Bandarlampung dan PT. Prabu Artha Developer terkait pekerjaan Pembangunan Pasar SMEP yang kini mangkrak. Menurutnya Pemkot semestinya sudah bisa mengeluarkan Bank Garansi jaminan dari pihak pengembang, ketika permasalahan muncul.

“Tapi sekarang kan, nggak bisa ngapa-ngapain. Sebab bank garansinya nggak ada. Harusnya, kalau di klausal perjanjian ada Bank Garansi, pemkot harus ada dan pegang itu garansi banknya. Dan siapa yang bertanda-tangan di klausal perjanjian harus bertanggung jawab, ya mungkin saja bank garansinya nggak ada, makanya pemkot diam saja, nggak bisa berkutik ketika ditanya bank garansi,” beber dia.

Yusuf menambahkan, jika bank garansi sesuai MoU dengan pengembang ada pada pemkot, maka permasalahan pedagang akan selesai. “Harusnya, pengembang baru bisa menjual kios ke pedagang minimal menyelesaikan 30 persen dari pembangunan, baru bisa dijual ke pedagang. Jangan baru ada kontrak dan skep sudah dijual. Ya begini hasilnya. Kalau fisik sudah ada baru dijual, kayak perumahan, itu yang bener, dan nggak ada yang dirugikan,” sesal Yusuf.

Seperti diketahui sebelumnya Kejari Bandarlampung masih mengkaji perjanjian antara Pemkot Bandarlampung dan PT. Prabu Artha Developer soal pekerjaan Pembangunan Pasar SMEP Sukabaru. Hal ini diungkapkan Kasi Intelijen Kejari Bandarlampung, Andri Setiawan, S.H.M.H.

Menariknya para pejabat Pemkot Bandarlampung sendiri saling kelit mengenai keberadaan bank garansi atau uang jaminan senilai Rp14,3 miliar yang diberikan pengembang. Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Trisno Andreas hingga Sekretaris Kota (Sekkot) Badri Tamam mengaku tidak tahu-menahu adanya bank garansi atau uang jaminan sebesar Rp14,3 miliar. Lalu Ketua DPRD Kota Bandarlampung, Wiyadi pun juga mengutarakan hal yang sama. Dan terbaru Walikota Herman HN membantah mengetahui adanya bank garansi atau uang jaminan sebesar Rp14,3 miliar tersebut.

Padahal sesuai perjanjian antara Pemkot dan PT. Prabu Artha Developer setebal 14 halaman bernomor 20/PK/HK/2013 dan nomor 888/PAD/VII/2013 dengan nilai investasi sebesar Rp286,8 miliar lebih dijelaskan beberapa kewajiban pengembang. Misalnya Pasal 6 ayat 2 butir F. Isinya ditegaskan pihak PT. Prabu Artha Develover mempunyai kewajiban menyerahkan bank garansi (BG) sebagai jaminan pekerjaan pembangunan senilai 5% dari nilai investasi. Angka ini mencapai 14,3 miliar lebih yang harus diserahkan kepada Pemkot saat penandatanganan perjanjian kerjasama berlangsung.

Dari beberapa dokumen yang ada terungkap bahwa perjanjian ini ditandatangani Walikota Bandarlampung Herman HN, sebagai pihak pertama. Lalu pihak kedua PT. Prabu Artha Developer yang diwakili Ferry Sulisthio, S.H.

Turut menyaksikan dan menandatangani Tim Kordinasi Kerjasama Daerah (TKKSD) Bandarlampung. Mereka adalah, Drs. Badri Tamam (Sekkot), Dedi Amarullah (Asisten Bidang Pemerintahan), Ir. Pola Pardede(Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan.
Lalu, Djuhandi Goeswi (Kepala BAPPEDA), Ir. Andya Yunila Hastuti (Kepala Bidang Ekonomi BAPPEDA), Zaidi Rina (Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dan Drs. Khasrian Anwar (Kepala Dinas Pengelolaan Pasar).

Kemudian Ir. Daniel Marsudi (Kepala Dinas Pekerjaan Umum), Effendi Yunus (Kepala Dinas Tata Kota) dan Rifa�i (Kepala Dinas Perhubungan). Terakhir Wan Abdurrahman (Kepala Bagian Hukum), Sahriwansah (Kepala Bagian Pemerintahan) dan Susi Tur Andayani (Tenaga Ahli Bidang Pemerintahan, Politik dan Hukum).

Pihak pedagang sendiri menjadi korban yang paling teraniaya akibat adanya perjajian pembangunan dan penataan Pasar SMEP yang mangkrak ini. Bahkan, banyak pedagang yang jatuh sakit akibat stres, terserang stroke hingga meninggal dunia. Ini lantaran uang yang disetor mereka guna mendapatkan jatah toko dari pengembang ternyata tidak kunjung ada kejelasan hingga kini.

�Ini semua bisa terjadi akibat ketidak hati-hatian dan keteledoran Pemkot Bandarlampung dalam menunjuk pengembang yang terkesan tidak kridible dan profesional. Ini juga merupakan fenomena gambaran jajaran Pemkot yang tidak bertanggung jawab terhadap kepentingan masyarakat khusus pedagang dan masyarakat sekitar yang banyak menjadi korban,� terang Dr. Dedy Hermawan, Dosen Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Lampung (Unila), belum lama ini.(red)