BANDARLAMPUNG � Senyum sumringah terlihat dari wajah Herman HN seiring keluarnya surat tugas dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P sebagai Calon Gubernur (Cagub) Lampung dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2018 mendatang. Namun dengan adanya kebijakan DPP PDI-P, Herman diminta tak melupakan statusnya sebagai Walikota Bandarlampung. Dimana dia mempunyai tugas dan kewajiban pokok menyelesaikan problematika di masyarakat Bandarlampung.

Sepertinya menyelesaikan kewajiban PT. Prabu Artha Developer dibawah komando Ferry Sulisthio, S.H alias Alay. Khususnya pembangunan dan penataan kembali Pasar SMEP Sukabaru, Tanjungkarang Barat senilai Rp286,8 miliar yang kini mangkrak dan kondisinya memprihatinkan.

�Saya harap Herman HN tidak euporia dan lupa diri mendapat surat tugas DPP PDI-P sebagai kandidat Cagub. Statusnya masih Walikota. Beliau punya kewajiban selesaikan permasalahan di masyarakat. Termasuk menuntaskan pembangunan yang mangkrak. Seperti Pasar SMEP yang kini kondisinya miris,� tutur Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Lampung (Unila), Yusdianto, S.H., M.H.

Belum lagi kewajiban lain. Seperti melunasi pembayaran Tunjangan Kinerja (Tukin) ASN (Aparat Sipil Negara) di lingkungan pemkot yang belum terbayar beberapa bulan. Mengatasi kemacetan. Menyelesaikan proses perekamanan e-KTP yang lambat. Persiapan dan penanganan banjir atau bencana disaat musim hujan. Serta kewajiban lain.

�Sebenarnya masih banyak problematika di Bandarlampung yang menyisakan �bom waktu�. Seperti kondisi terminal Pasar Bawah Ramayana yang kumuh dan tak teratur serta kemacetan. Lalu, ada beberapa kontraktor atau pihak ketiga yang belum dibayar pekerjaannya meski sudah melaksanakan kewajiban lantaran anggaran keuangan pemkot minim karena APBD yang tak sehat. Jadi tuntaskan dulu, problem ini. Ingat janji nantinya di tagih di akhirat,� tegas kandidat doktor FH Universitas Padjajaran (Unpad) ini.

Sebelumnya diberitakan adanya perjanjian kerjasama antara Pemkot Bandarlampung dengan pengembang harus dikritisi. Ini terkait perjanjian kerjasama soal pembangunan dan penataan pasar di Bandarlampung. Pasalnya selain nilai royalti yang relatif minim dengan masa pemanfaatan tanah hingga 30 tahun, pembangunan yang tidak terealisasi membuat perjanjian kerjasama tersebut terkesan mubazir atau sia-sia dan tidak ada manfaatnya bagi masyarakat Bandarlampung.

Misalnya dalam pembangunan dan penataan kembali Pasar SMEP. Sesuai perjanjian antara Pemkot dan PT. Prabu Artha Developer setebal 14 halaman bernomor 20/PK/HK/2013 dan nomor 888/PAD/VII/2013 tanggal 15 Juli 2013, dengan nilai investasi Rp286,8 miliar lebih, royalti yang harus didapat Pemkot dengan masa pemanfaatan lahan selama 30 tahun hanya Rp4 miliar lebih.

Sesuai isi perjanjian pihak develover mempunyai kewajiban menyelesaikan pembangunan hingga 36 bulan. Jika perjanjian ini ditandatangani 15 Juli 2013, maka seharusnya pembangunan selesai 15 Juli 2016. Kecuali keadaan yang terjadi di luar kemampuan manusia. Misalnya ada bencana alam.

Sayangnya kondisi pembangunan dan penataan Pasar SMEP yang hingga kini terabaikan membuat target pendapatan Pemkot tidak maksimal dan tidak terealisasi. Ini baru dari target penerimaan royalti pemanfaatan lahan selama 30 tahun. Belum lagi target pengelolaan pajak, retribusi dan perizinan sesuai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian bisa diprediksi kerugian yang dialami Pemkot akibat perbuatan pengembang nakal bisa mencapai puluhan bahkan ratusan miliar.

�Ini semua bisa terjadi akibat ketidak hati-hatian dan keteledoran Pemkot Bandarlampung menunjuk pengembang yang terkesan tidak kridible dan profesional. Saya tidak ahli masalah ekonomi. Namun secara kasat mata, saya bisa menilai dan memastikan secara ekonomi, potensi kerugian negara yang timbul akibat mangkraknya pembangunan Pasar SMEP mencapai angka puluhan miliar bahkan ratusan miliar. Dimana tidak adanya PAD (pendapatan asli daerah) yang masuk ke kas Pemkot,� terang Dr. Dedy Hermawan, Dosen Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unila.

Ini lanjut Dedy Hermawan, baru bicara potensi kerugian negara dari sudut ekonomi. Belum lagi bicara dan menyangkut masalah kerugian dari aspek sosial dan aspek lingkungan. Dimana kondisi lingkungan yang harusnya ditata, namun menjadi kumuh, jorok, dan rawan penyakit. Sehingga berakibat pada kesehatan manusia dan tata kehidupan di masyarakat sekitar.

�Hal ini merupakan fenomena gambaran jajaran Pemkot yang tidak bertanggung jawab terhadap kepentingan masyarakat khusus pedagang dan masyarakat sekitar yang banyak menjadi korban,� tegasnya.

Para pedagang sendiri menjadi pihak paling teraniaya akibat mangkraknya pembangunan dan penataan Pasar SMEP. Bahkan, banyak pedagang yang jatuh sakit akibat stres, stroke hingga meninggal dunia. Ini lantaran uang yang disetor mereka guna mendapatkan jatah toko dari pengembang tidak kunjung ada kejelasan.

�Banyak yang sakit, dan terkena stroke. Malah ada pasangan suami isteri, pedagang bumbu, yang meninggal dunia karena gara-gara itu,� kata Pak Firman, seorang pedagang bumbu dapur saat ditemui wartawan BE 1 Lampung di Pasar SMEP, beberapa waktu lalu.

Kata Firman, besar uang yang disetorkan pedagang bervariasi. Ada yang menyetor Rp20 juta, Rp30 juta bahkan hingga ratusan juta. �Yang sudah setor banyak itu yang stress. Katanya sampai lebih dari Rp200 juta,� ceritanya lagi.

Menariknya adanya dugaan potensi kerugian negara akibat perjanjian kerjasama Pemkot dan PT. Prabu Artha Developer dalam pembangunan dan penataan Pasar SMEP ini. Pasalnya uang jaminan pelaksanaan pekerjaan pembangunan senilai 5% dari nilai investasi, keberadaannya tak jelas.

Untuk diketahui sesuai perjanjian antara Pemkot dan PT. Prabu Artha Developer setebal 14 halaman bernomor 20/PK/HK/2013 dan nomor 888/PAD/VII/2013 tanggal 15 Juli 2013 dengan nilai investasi sebesar Rp286,8 miliar lebih, dijelaskan kewajiban pengembang. Misalnya Pasal 6 ayat 2 butir F. Isinya ditegaskan pihak PT. Prabu Artha Develover mempunyai kewajiban menyerahkan bank garansi (BG) sebagai jaminan pekerjaan pembangunan senilai 5% dari nilai investasi. Angka mencapai 14,3 miliar lebih yang harus diserahkan kepada Pemkot saat penandatanganan perjanjian berlangsung.

Mirisnya para pejabat Pemkot saling kelit soal informasi keberadaan bank garansi atau uang jaminan senilai Rp14,3 miliar yang diberikan pengembang. Seperti Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Trisno Andreas, Sekretaris Kota (Sekkot) Badri Tamam, Ketua DPRD Kota, Wiyadi serta Walikota Herman HN. Mereka ramai membantah mengetahui bank garansi atau uang jaminan sebesar Rp14,3 miliar.

Atas peristiwa ini Kejaksaan Agung (Kejagung) RI kini sedang melakukan penyelidikan. Menurut Kajati Lampung Syafrudin, selama ini pihaknya belum pernah melakukan pendampingan atau pengawasan terhadap perjanjian antara Pemkot dan PT. Prabu Artha Developer dalam pembangunan Pasar SMEP. Namun demikian, kini masalah itu diakuinya sudah ditangani atau diselidiki Tim dari Kejagung RI.(red)