JAKARTA – Setelah dua kali mengajukan dan dua kali mencabut permohonan Praperadilan, pengusaha gula Gunawan Jusuf kembali mendaftarkan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Jaksel).

Juru bicara PN Jaksel Achmad Guntur membenarkan Gunawan Jusuf mengajukan kembali gugatan praperadilan untuk ketiga kali terhadap proses penyidikan Bareskrim Mabes Polri.

“Permohonan praperadilan teregistrasi Nomor: 124/Pid.Pra/2018/PN Jkt.Sel tanggal 9 Oktober 2018,” ungkap Achmad.

Pemohon merupakan terlapor kasus dugaan penggelapan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang sedang disidik Bareskrim.

Menanggapi hal ini, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir mengingatkan pengajuan praperadilan  haknya seseorang yang berhadapan dengan hukum, atau berhadapan dengan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum. Karena itu, siapapun yang menilai ada prosedur yang tidak sesuai maka dia boleh mengajukan praperadilan selama perkara pokok belum dimulai.

Terkait adanya upaya mengajukan praperadilan, lalu mundur di tengah jalan, lalu kembali mengajukan hingga mengajukan tiga kali maka menurutnya bisa dipertanyakan keseriusan orang itu dalam upaya mengajukan praperadilan.

“Maju mundur seperti itu, ya itu kan berarti dia tidak serius mengajukan (praperadilan), dan itu jangan sampai dijadikan polisi alasan untuk tidak memproses suatu perkara. Tapi kalau misalnya dia memproses praperadilan ditarik mundur dan sebagainya, nggak ada alasan polisi untuk berhenti,” ucap Muzakir, Selasa (9/10).

Dalam hal ini menurutnya polisi bisa menyampaikan kepada hakim jika nantinya praperadilan dimulai. Bahwa ada upaya maju mundur yang sengaja dilakukan pemohon praperadilan yang mengesankan bahwa pemohon tidak serius dalam upaya hukum yang dia lakukan.

“Hakim bisa melihat ini, apakah ini bentuk keseriusan atau main-main. Kalau dia serius, dan dia merasa bisa membuktikan bahwa seseorang menggunakan wewenang tidak sesuai prosedur, semestinya maju terus,” tandasnya.

Menanggapi cabut mohon praperadilan berkali-kali, mantan Hakim Agung Prof Gayus Lumbuun mengatakan kejadian seperti ini memang sering terjadi. Gayus berharap Mahkamah Agung (MA) bisa menerbitkan aturan demi mencegah hal-hal seperti ini terjadi lagi di kemudian hari.

“SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) atau PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) diharapkan bisa diterbitkan untuk mengatur adanya kepastian hukum demi kelancaran proses peradilan sebelum adanya revisi Hukap terkait adanya pencabutan dan pengulangan pengajuan Praperadilan ini,” ujarnya.

Ia mengatakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Kuhap) memang tidak mengatur tentang berapa kali praperadilan boleh dicabut oleh pemohon. “Sejauh ada alasan yang dapat diterima oleh hakim, karena hakim praperadilan yang akan menentukan apakah cukup alasan untuk dicabut,” jelasnya.

Dikatakan Gayus, semestinya Hakim Praperadilan yang menentukan pencabutan, bukan pemohon. “Hakim sebagai judge made law karena tidak diatur di hukum acara secara jelas,” tuturnya.

Menurut Gayus, Hakim Praperadilan juga bisa menentukan bahwa proses hukum perkara praperadilan tersebut apakah ada kaitan dengan penghalangan proses hukum (obstruction of justice) atau yang lain.

Tindakan advokat yang berkali-kali mencabut permohonan praperadilan untuk kliennya, dinilai juga bisa dipahami sebagai langkah strategis agar kliennya tidak diperiksa penyidik.

“Penyidik tidak akan memeriksa pihak yang sedang mengajukan praperadilan, supaya ada kepastian hukum,” kata Sugeng

Teguh Santoso, ketua Indonesian Advokat Watch (IAW), kepada wartawan, Selasa (9/10).

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak membatasi peluang berapa kali seseorang untuk mengajukan pra peradilan. Oleh karena itu, secara hukum, pengacara pun tidak bisa disalahkan bila berulangkali mengajukan praperadilan.

Pada sisi lain, kata dia, advokat juga punya tanggung jawab yang sama untuk menegakkan hukum yang salah satunya berintikan pada kepastian hukum. Hal itu diatur dalam kode etik advokat Indonesia.

Sugeng berpendapat, bila seorang advokat berulang kali mengajukan praperadilan untuk perkara yang sama, itu sama saja dengan membiarkan ketidakpastian hukum. “Itu bisa melanggar kode etik,” kata pria yang juga sekretaris Dewan Etik Pusat Peradi (Persatuan Advokat Indonesia) itu.(net)