BANDARLAMPUNG – Jalannya sidang kasus suap gratifikasi dengan terdakwa H. Mustafa, mantan Bupati Lampung Tengah (Lamteng), di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang, makin menarik diikuti. Ini seiring terungkapnya beberapa nama tokoh yang disebut juga “terlibat” dalam perkara ini. Teranyar di sidang yang digelar hari ini Kamis (22/4). Ada beberapa nama beken yang disebut. Yakni anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung, M. Tio Aliansyah. Lalu ada juga tokoh pemuda yang juga pengurus elit KNPI Lampung, Teguh Wibowo.

Sebenarnya nama-nama ini pernah disebut di sidang yang digelar hari Kamis (4/3) lalu. Waktu itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI menghadirkan beberapa saksi. Yakni Erwin Mursali mantan Walpri Mustafa dan Midi Iswanto mantan anggota DPRD Lampung fraksi PKB. Lalu Khaidir Bujung mantan anggota DPRD Lampung fraksi PKB, Musa Zainudin mantan anggota DPR RI Komisi V Fraksi PKB, Chusnunia Chalim Wakil Gubernur Lampung dan Sri Widodo mantan Ketua DPD Hanura Lampung.

Namun nama M. Tio Aliansyah dan Teguh Wibowo yang disebut di sidang waktu itu cenderung “tenggelam”. Ini seiring adanya pengakuan saksi Musa Zainudin. Waktu itu Musa Zainudin membongkar habis dugaan transaksi uang atau yang biasa disebut “mahar politik” dalam perebutan perahu partai di kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) Lampung, 2018 lalu. Dimana Musa Zainudin mengatakan, semula DPW PKB Lampung sepakat mengusung H. Mustafa sebagai Calon Gubernur Lampung di Pilgub Lampung. Namun, belakangan ia mendapat kabar jika PKB berubah pilihan karena ‘bom’ uang yang lebih besar. Dijelaskan Musa Zainudin, baik Chusnunia Chalim, Okta Rijaya (Sekretaris DPW PKB Lampung), Midi Iswanto dan Khaidir Bujung, sudah menyatakan Ketua Umum (Ketum) DPP PKB H. Muhaimin Iskandar, sudah setuju, jika H. Mustafa sebagai Cagub Lampung yang akan dusung PKB. Karenanya dia menandatangani surat rekomendasi.

Kemudian kenapa tiba-tiba berubah dan tidak jadi mengusung H. Mustafa?

“Itu yang saya kaget, saya dapat informasi dari Bujung, Midi, Bu  Chusnunia, jika DPP udah menentukan seperti ini. Kita tidak berdaya apa-apa. Cuma ada yang janggal, Pak Muhaimin yang setuju kok, tiba tiba berubah, saya dapat informasi sebelum uang ini ke Jakarta, Muhaimin sudah terima 40 miliar dari Sugar Group. Sugar Group itu yang katanya dukung Arinal Djunaidi Cagub. Barangkali ada lebih besar, yang ini dikorbankan. Cuma persoalan orang yang dibawah. DPW PKB dan seterusnya jadi korban oleh perilaku DPP yang tak koordinasi dengan baik,” ungkap Musa Zainudin.

“Disebutnya seperti itu, Sugar Group dan Ibu Lee. Ada yang menyampaikan kesaya. Pak Musa, sudahlah. Tak mungkin PKB dukung Mustafa. Karena Muhaimin sudah terima uang Rp 40 miliar dari Sugar Group. Katanya begitu,” lanjut Musa waktu itu.

Kini nama M. Tio Aliansyah dan Teguh Wibowo kembali disebut. Yakni oleh saksi Saifuddin, sopir mantan anggota DPRD Lampung Midi Iswanto. Dimana saksi juga mengaku mengantarkan Rp1 miliar atas perintah Midi Iswanto untuk anggota M. Tio Aliansyah. Pernyataan itu terungkap saat Saifuddin menjadi saksi sidang suap dan gratifikasi eks Bupati Lamteng Mustafa di PN Tanjungkarang, Kamis (22/4). Menurut JPU KPK Taufiq Ibnugroho pernyataan Saifuddin tercatat di Berita Acara Perkara (BAP).

“Uang yang Rp1 Miliar ada diserahkan ke M. Tio Aliansyah, anggota KPU uangnya diserahkan lewat Teguh Wibowo, Ketua KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) Lampung,” kata Taufiq.

Sebelumnya, Saifuddin mengakui diperintah Midi Iswanto mengantar Rp1 Miliar ke Jakarta untuk Wakil Gubernur Chusnunia Chalim alias Nunik dengan kode untuk Kanjeng Ratu.

Midi Iswanto sendiri di kesaksian sebelumnya mengungkapkan jika Ketua DPW PKB Lampung yang juga Wakil Gubernur Lampung, Chusnunia Chalim sempat “kecipratan” uang mahar sebesar Rp1.150.000.000 (satu miliar seratus lima puluh juta rupiah dari total uang Rp18 miliar yang disetorkan Mustafa sebagai “mahar” agar PKB mengusungnya sebagai Cagub Lampung. Lalu ada juga aliran dana untuk Ketua DPC PKB se-Provinsi Lampung, Dewan Suro PKB, saksi ahli dan lain-lain.

“Uang itu sebesar Rp1 miliar untuk persiapan pemilu 2019. Waktu itu saya diminta ibu Nunik menghubungi ibu Ela Siti Nuryamah, yang sekarang (anggota Fraksi PKB DPR RI),” terang Midi Iswanto.

Selanjutnya Midi mengaku berkomunikasi dengan Ela Siti Nuryamah. Oleh Ela, dia lantas diberikan nomor telpon seseorang suruhannya, untuk penyerahan uang di Jakarta. “Saya pun kemudian mengutus orang saya untuk memberikan uang. Dan uang itu sampai. Karena saya langsung lapor dengan ibu Ela,” jelasnya.

Disisi lain, Chusnunia Chalim membantah pernyataan saksi Musa Zainudin dan Midi Iswanto. Nunik dengan tegas membantah tidak pernah menerima uang sebesar Rp1 miliar dari saudara Midi Iswanto. Sementara yang terkait Rp150 juta, sifatnya adalah pinjaman, untuk bantuan pembangunan kantor DPC PKB Lamteng.

Dalam sidang sebelumnya juga sejumlah fakta terungkap. Dimana di PN Tanjungkarang, Kamis (11/2) mantan Kepala Dinas Taufik Rahman menyebut nama sejumlah anggota DPR RI menerima ‘setoran’.  Ini dilakukan untuk mendongkrak dana alokasi khusus (DAK) Pemkab Lamteng. Taufik menuturkan, uang fee yang terkumpul dari rekanan digunakan sejumlah kepentingan. “Untuk APBD 2018, Pinjaman SMI, Partai, kebutuhan pak Mustafa, pengamanan, dan kebutuhan DAK,” terangnya.

“Jadi tahun 2017, ada pihak Jakarta yang bisa membantu DAK, lalu saya temui. Namanya Aliza yang bisa membantu proses DAK APBD perubahan, karena  kami hanya dapat (DAK) Rp23 miliar. Itu kecil,” kata Taufik.

Lanjutnya, dalam pertemuan itu Aliza menjanjikan bisa mendapatkan DAK sebesar Rp100 miliar. “Lalu saya lapor ke Mustafa. Beliau kaget namanya kok Aliza, biasanya Jarwo. Akhirnya saya menemui Jarwo. Kemudian saya menyiapkan proposal dibawa ke Jakarta,” terang Taufik.

JPU KPK Taufiq kemudian menanyakan pengurusan DAK itu untuk tahun berapa dan fee yang disetorkan kepada siapa.

“Itu untuk pengurusan DAK 2017 fee minta Rp 2,5 miliar, lewat Aliza untuk Azis Syamsudin,” terang Taufik.

Namun Taufik mengaku DAK 2017 tidak sesuai yang diharapkan lantaran hanya turun hampir Rp30 miliar. Namun Taufik mengaku DAK 2017 tidak sesuai yang diharapkan lantaran hanya turun hampir Rp 30 miliar.

“Untuk DAK 2018?” sahut JPU.

“Untuk pengurusan DAK 2018 turun Rp 79 miliar, jadi fee sekitar Rp 3,6 miliar lewat Eka Kamaludin untuk anggota DPR Amin Santono, diminta 8 persen,” kata Taufik.

Sementara itu Penasihat Hukum Mustafa, Yunus, menanyakan lagi peran Jarwo sebagai apa. “Jarwo itu mengaku orangnya Azis Syamsudin,” kata Taufik.

“Terus dalam BAP Idawati ini siapa?” tanya lagi Yunus. “Bu Idawati yang menginformasikan mengenal orang untuk mengurus DAK dan lebih murah dibandingkan Jarwo, dan komitmen itu diberikan setelah uang turun itu Rp79 miliar,” jelas Taufik.(red./net)