BANDAR LAMPUNG � Lembaga kajian independen dan advokasi, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengapresiasi Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1 A Tanjungkarang atas putusan bebas pada mantan Ketua Asosiasi Kontraktor Listrik Indonesia (AKLI) Lampung, Syamsul Arifin.
“Sebagai orang yang sedikit belajar hukum, saya tidak kaget putusannya bebas. Clear ini kasus dipaksakan,” kara Direktur Eksekutif� ICJR, Erasmus Abraham Todo Napitupulu, Rabu (16/12).
Erasmus menyesalkan sikap penegak hukum yang sebelumnya terkesan �ngoyo� (memaksakan) kasus tersebut.
“Saya hanya prihatin, pajak dan tenaga aparat penegak hukum kita habis untuk kasus seperti ini. “Untung hakimnya bagus. Kami apresiasi,” katanya.
Erasmus mengungkapkan, sejak awal ia sudah menaruh perhatian penuh sejak kasus ini bergulir. Ia berkeyakinan kasus ini bukan kasus biasa. Namun, ada sesuatu yang lebih besar di balik kasus tersebut.
“Untuk jaksa dan polisi, udahlah. ” tandas beliau.
Erasmus menjelaskan, ICJR merupaka lembaga kajian independen dan advokasi yang fokus pada reformasi sistem peradilan pidana dan hukum pada umumnya di Indonesia, terus memantau perjalanan kasus� yang dianggap tidak wajar ini.
ICJR memandang kasus ini dipaksakan untuk dilanjutkan proses hukumnya. Selain itu, proses pidana pada kasus-kasus penghinaan dengan UU ITE cenderung memberikan iklim buruk dan traumatis akan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, sehingga putusan bebas dari hakim tersebut patut untuk diapresiasi.
�Sisi lain dari putusan bebas ini harus menjadi pembelajaran bagi aparat penegak hukum yang gagal memahami hukum yang harus mereka tegakkan. Penyidik tidak memahami bahwa dengan pasal-pasal yang digunakan, Syamsul Arifin sama sekali tidak dapat ditahan. Kesalahan ini justru diulangi oleh penuntut umum. Penuntut Umum juga tidak paham tentang masa daluwarsa kasus, malah tetap menuntut Syamsul Arifin,� katanya.
Menurut Erasmus, dari segi alat bukti yang dihadirkan, prinsip dan prosedural penanganan awal barang bukti elektronik di tempat kejadian perkara dan fakta yang dihadirkan dalam persidangan, bukti elektronik dalam perkara tidak dilakukan berdasarkan tahapan dan prosedur pemeriksaan bukti elektronik (digital evidence) yang semestinya.
�Penuntut Umum sama sekali tidak memperhatikan pentingnya validitas bukti yang dihadirkan, tidak hanya menerima begitu saja dari penyidik,� pungkasnya. (red)