Perdebatan tentang perlu tidaknya Densus Tipikor Polri menjadi perhatian kita semua, termasuk menjadi bahan diskusi di Garuda Institut dalam kaitan dengan pesta demokrasi di Lampung, dalam kaitan aktivitas transaksional beraroma korupsi antara korporasi dan cagub. Penegakan hukum tindak pidana korupsi masih sangat lemah, walau ada kepolisian, kejaksaan dan KPK, tetapi ternyata korupsi semakin menjadi-jadi.

 

Penegakan hukum oleh kepolisian dan kejaksaan masih dapat dihitung dengan jari, bahkan pengembalian kerugian keuangan negaranya relatif masih kecil daripada uang negara yang dikorupsi. Penegakan hukum oleh KPK, untuk di Lampung dibilang nol, karena KPK tampaknya tidak berani datang ke Lampung. Ada 1 kasus, gratifikasi-suap dengan terdakwa BK, mantan Bupati Tanggamus, tetapi itu pun kasus baru muncul setelah adanya laporan gratifikasi beberapa anggota DPRD Kab. Tanggamus kepada KPK. Jadi bukan karena OTT atau penyelidikan KPK.

“Kalau begitu kita dukung aja Polri buat Densus Tipikor” kata Andri, Advokat muda yang selalu menggebu-gebu. “Supaya penegakan hukum korupsi dapat berjalan efektif dan efisien. Polri kan anggotanya banyak sampai pelosok-pelosok kecamatan, sehingga dapat juga mengawasi dana-dana desa, mengawasi money politic, dan lain-lain”.

Hendra, salah satu advokat yang lain juga setuju dengan Andri, walaupun ia sedikit ragu, “Tapi dri, dulu terbentuknya KPK, karena kelemahan aparat penegak hukum yang dulu juga dikenal korup, ibarat mencuci piring kotor, tidak bisa dengan air kotor” Katanya mengingatkan.

”Dapatkah dijamin Densus Tipikor tidak terkontaminasi dengan aparat penegak hukum yang korup pada masa lalu” Tanyanya, yang membuat kami semua terdiam, hening di tengah dinginnya malam di tugu duren Sukadanaham yang udaranya membeku.

“Masalah SDM, itu yang menjadi salah satu persoalan Densus dalam mewujudkan profesionalisme Polri dalam penegakan hukum pidana korupsi” Jawab saya menerangkan “Profesionalisme Polri itu tidak hanya kuantitas anggotanya yang banyak dan fasilitas yang memadai saja, tetapi juga menyangkut keahlian, keterampilan dan integritas”. Masalah keahlian dan keterampilan terus ditingkatkan dengan mengadakan pendidikan dan latihan kedinasan, juga mengikuti pendidikan S2 dan S3 baik di dalam maupun luar negeri.

Masalah integritas ini yang perlu dikaji lebih lanjut, karena sekolahnya tidak ada. Soal integritas ini juga tidak melulu, karena aparat penegak hukum “masuk angin” yaitu transaksional antara tersangka dengan aparat penegak hukum, tetapi juga karena ada “sistem komando” di tubuh Polri. Kalau atasan sudah perintah penegakan hukum dihentikan, maka anak buah harus menuruti. Begitu pula pula sebaliknya. Di samping itu, ada senioritas di tubuh Polri yang membuat adik-adik yunior mempertimbangkan permintaan kakak senior.

HUKUM KESEPADANAN KORUPSI

Dulu integritas Polri ini juga disoroti karena gaji aparat penegak hukum yang rendah, sehingga ditingkatkan gaji-gaji aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa dan hakim. Tetapi menurut penelitian (Eddy Rifai, 2013) berlaku “hukum kesepadanan korupsi”.

Menurut teori itu, seharusnya dengan peningkatan kesejahteraan aparat penegakan hukum, maka tidak terjadi korupsi di kalangan aparat penegakan hukum, tetapi dalam kenyataannya peningkatan kesejateraan aparat penegakan hukum berada pada “deret hitung, korupsi aparat penegakan hukum berada pada deret ukur”.

Maka, semakin tinggi tingkat kesejahteraan aparat penegakan hukum semakin tinggi pula kuantitas yang dikorupsinya. Sebagai contoh, pada waktu gaji hakim di bawah sepuluh juta rupiah, maka kalau mau menyuap hakim, nilainya masih puluhan juta rupiah. Sekarang dengan gaji hakim di atas sepuluh juta rupiah, tawaran untuk menyuap hakim, di atas ratusan juta rupiah, bahkan milyaran.

Adanya aparat penegak hukum yang terlibat korupsi dapat kita lihat pada kasus Akil Muktar dan Patrialis Akbar (Hakim MK), Syafrudin (Hakim Peradilan Niaga), dan beberapa hakim yang terkena OTT KPK di Semarang, Bengkulu dan Bolang Mongondow. Ada jaksa Urip Trigunawan dan Cyrus Sinaga di Kejaksaan Agung. Pada kepolisian juga ada Irjen Djoko Susilo dan beberapa perwira tinggi di Mabes Polri.

Oleh karena itu, menjadi pertanyaan, apakah Densus dapat berintegritas, sehingga penegakan hukum korupsi dapat efektif dan efisien. “Itu yang menjadi masalah” kata Andri, “Pengalaman saya kemarin dengan klien yang terkena OTT sejumlah uang Rp 48 juta. Dimintakan dana sebesar Rp 75 juta, hanya untuk menambah pasal dari tadinya pasal 12 UU Korupsi yang ancaman pidana minimal 4 tahun, ditambah dengan pasal 11 yang ancaman pidana minimal 1 tahun. Sampai klien juga bingung, karena dia terkena OTT, kenapa ulah para oknum-oknum ini tidak kena OTT?”.

Praktek suap di kalangan aparat penegakan hukum itulah yang membuat lahirnya KPK sebagai lembaga independen dan super body yang tidak tunduk baik kepada lembaga eksekutif dan yudikatif. Belum lagi adanya Densus akan membebani anggaran negara yang infonya mencapai 2,6 triliun. Besarnya anggaran tersebut tidak sesuai dengan teori cost and benefit ratio, dimana harus seimbang antara biaya dan hasil, sehingga pengeluaran negara tidak sia-sia.

Hal lain yang lebih penting, adanya keinginan Polri agar penuntut umum berada dalam Densus tersebut, karena pengalaman selama ini terjadi “tarik ulur” antara penyidik dengan penuntut umum dalam prapenuntutan, yang ternyata kurang mendapat persetujuan Jaksa Agung. Dalam teori integrated criminal justice system, penuntut umum adalah kunci pemegang peradilan pidana, karena yang akan membawa dan membuktikan perkara di pengadilan adalah penuntut umum, kewenangan otonom yang mutlak untuk menuntut (dominus litis) pada setiap negara hanya ada pada penuntut umum, bahkan pada banyak negara, penuntut umum juga pengendali penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan polisi. Pada intinya, penuntut umum berada “di atas” polisi, sehingga tidak logis apabila penuntut umum berada di dalam Densus. Begitulah, perlu ada tidaknya Densus mungkin juga akal-akalan DPR untuk menggembosi KPK, wallahualam bi sawab.

“Kalau saya setuju kalau Densus memberantas aktivitas transaksional antara Cagub-cagub dengan korporasi besar” kata Hendra kalem.( Direktur Utama Garuda Institut*)