JAKARTA� Sejumlah calon kepala daerah di Indonesia, termasuk di Lampung mengeluarkan biaya sangat tinggi selama proses pencalonan di Pilkada. Bahkan lebih tinggi dari kemampuan para calon.
Begitu diungkapkan Ketua KPK Firli Bahuri mengungkap beberapa sebab yang menjadi pemicu utama terjadinya korupsi di Indonesia.
“Pertama adalah gap antara biaya pilkada dan kemampuan calon, ini hasil penelitian. Hasil penelitian kita, ada gap antara biaya pilkada dan kemampuan harta calon. Bahkan, dari LHKPN, itu minus,” kata Firli dalam acara Webinar Nasional Pilkada Berintegritas yang disiarkan di YouTube KPK, Rabu (21/10/2020).
Ia mengungkapkan, berdasarkan penelitian KPK, calon kepala daerah yang akan maju pilkada harus menyiapkan uang kira-kira Rp 5-10 miliar. Bahkan, menurut Firli, jika ingin dipastikan menang pilkada, uang yang harus disiapkan bisa mencapai Rp 65 miliar.
“Jadi wawancara indepth interview ada yang ngomong Rp5-10 miliar, tapi ada juga yang ngomong, ‘Kalau mau ideal, Pak, menang jadi pilkada itu bupati, walikota, setidaknya punya uang ngantongin Rp65 miliar’. Mati, dah. Padahal dia (hanya) punya uang hanya Rp18 miliar. Artinya minus,” sebutnya.
Pria yang pernah jadi Kasat Serse di Polresta Bandar Lampung ini mengatakan, besarnya selisih antara harta yang dimiliki dan biaya politik itulah yang membuat para calon kepala daerah terbebani.
Karena itu, kata Firli, tak jarang calon kepala daerah ini akan menjanjikan sesuatu kepada pihak ketiga yang mau memberikan bantuan dana untuk ikut pilkada.
“Alasan calon kepala daerah era ini sudah menggadaikan kuasanya kepada pihak ketiga yang membiayai biaya pilkada. Kalau itu terjadi, sudah tentu akan terjadi korupsi, dan tentu juga akan berhadapan dengan masalah hukum,” ujarnya.
Selain itu, Firli menyebut tingginya biaya politik itu akan membebani para calon kepala daerah itu setelah penyelenggara pilkada. Karena itu, ia menyebut tak jarang para calon kepala daerah yang gagal di pilkada mengalami stres hingga masuk rumah sakit jiwa.
“Mau nyalon saja sudah minus. Makanya tidak jarang kita temukan, setelah pilkada selesai, yang kalah itu ada yang ke rumah sakit jiwa, ada yang didatangi oleh para donatur yang meminjamkan uang,” tuturnya. (dtc/red)