Terungkapnya jaringan peredaran narkotika di Lapas Kelas IIA Kalianda sampai dengan ditahannya MA, Kalapas oleh BNNP Lampung menunjukkan bahwa lapas di Lampung juga terjangkit mafia peredaran narkotika.
Sebelum pensiun dari BNN, Komjen (Pol) Budi Waseso, pernah mengungkapkan bahwa peredaran narkotika di Indonesia 50% dikendalikan dari lapas, padahal 70%� penghuni lapas adalah napi narkotika. Beberapa pegawai lapas sampai dengan Kalapas sudah diberhentikan dan dikenakan sanksi, bahkan dikenakan pidana penjara, tetapi mafia peredaran narkotika tetap saja ada, sampai dengan terungkap kasus di Lapas Kelas IIA Kalianda.
Ada cerita menarik dari seorang teman yang baru masuk penjara menyatakan semua �barang� ada di lapas. Kalau di luar kita mau beli extacy butuh waktu 1 hari, di lapas dalam 1 jam sudah tersedia. Cerita ini sinkron dengan pengalaman teman jaksa yang menjadi anggota Tim Asesmen Terpadu (TAT), mayoritas pelaku penyalahgunaan narkotika menerima mereka ditempatkan di rutan, mereka tidak begitu ngotot minta rehab padahal undang-undang mengatur tentang rehab tersebut. �Memasukkan �penyalahguna narkotika kedalam rutan/lapas, seperti memasukkan ikan dalam aquarium� katanya.
Dari beberapa penelitian, terungkap beberapa penyebab terjadinya� mafia peredaran narkotika.
Pertama, lemahnya pengawasan di lapas. Suatu hal yang mustahil para pelaku narkotika bisa melakukan aktivitas ilegalnya jika pengawasan di lapas bisa berfungsi secara baik. Dengan kata lain, bahwa lapas kita saat ini benar-benar sangat bebas dan sangat kurang pengawasannya. Lapas kita yang overkapasitas selalu dijadikan alasan pemerintah tentang lemahnya pengawasan tersebut. Menurut jaksa teman saya, keluhan overkapasitas lebih banyak dari tahanan dan napi, pegawai lapas bahkan �senang� dengan banyaknya tahanan dan napi, dalam hal mana semakin banyak tahanan dan napi semakin meningkatkan income mereka.
Kedua, masih terkait dengan di atas bahwa keberadaan lapas yang menjadi pasar bebas narkotika tidak bisa dilepaskan dari dugaan keterlibatan oknum pegawai di lapas. Logikanya akan sangat sulit bagi para napi untuk bisa menjalankan bisnis haramnya di lapas tanpa adanya �perlindungan� oknum-oknum tertentu. Keadaan ini sebagai suatu simbiosis mutualis antara oknum pegawai lapas dengan tahanan dan napi. Yang lebih memprihatinkan lagi, selama ini sejumlah oknum sipir penjara yang tepergok �melindungi� para napi bandar narkotika tidak ada yang dihukum berat. Hal itu tentu menyedihkan karena tidak akan memberikan efek jera, sehingga berita sipir ditangkap karena diduga terlibat kasus narkotika di lapas masih sering terjadi.
Ketiga, tidak tegasnya penegakan hukum yang ada. Pada waktu penangkapan beberapa awak kapal negara asing yang menyelundupkan lebih dari 1,6 ton narkotika di Kepri, saat wawancara oleh tv swasta, mereka menyatakan berani menyelundupkan narkotika ke Indonesia daripada ke Singapura atau Malaysia, karena penegakan hukumnya lemah.
Menanggulangi mafia peredaran narkotika di lapas memang tidak mudah. Perbaikannya membutuhkan penyempurnaan peraturan perundang-undangan, meningkatkan profesionalisme aparat penegak hukum, sarana dan prasarana serta budaya hukum dalam penegakan hukum. (* Pengajar Fakultas Hukum Unila)
�