SAYA memiliki teman. Wajahnya tampan. Tutur katanya lembut. Kulitnya pun halus. Mengapa saya tahu kulitnya lembut ? Karena teman saya ini berprofesi sebagai tukang pijat. Dia seorang tunanetra. Sedikitnya satu bulan sekali pasti yang bersangkutan saya mohon untuk memijat. Biasanya selesai dipijat, tubuh dan pikiran saya sepertinya meungucapkan rasa berterima kasih dengan langsung tidur nyenyak.
Paling cepat dua jam dia memijat saya. Namun waktu yang ada seolah cepat berlalu. Karena keterampilannya, tidak terasa tiba-tiba sudah dua jam waktu berjalan.
Saat dipijat, saya pernah iseng bertanya. Mulai kapan tidak dapat melihat. Dikatakannya sejak kecil. Saya pun tidak tega untuk mengorek lebih jauh. Dalam hati saya merasa sangat
“mengasihaninya”. Alangkah malang nasibnya sejak kecil sudah menderita dan tidak bisa melihat keindahan dunia.
Namun ternyata dugaan saya keliru. Seiring waktu saya menyadari dia tidak pernah merasa menderita. Dia sangat bahagia. Apapun pemberian Tuhannya selalu diterima dengan lapang dada. Ini dibuktikan dengan tidak pernah absennya beliau menjalankan “rutinitas” lima waktu. Ditambah lagi berdoa setiap saat.
Hasilnya Tuhan YME membalasnya. Saya tidak pernah melihat ada pertengkaran di rumahtangganya. Jangankan bertengkar, suara yang sedikit keras saja nyaris-nyaris tidak pernah saya mendengarnya. Mereka sangat-sangat hidup rukun. Lalu putra-putrinya pun diberikan Tuhan YME kesempatan untuk belajar di Perguruan Tinggi ternama. Yang secara akal sehat, harusnya mereka tidak sanggup untuk membayar biaya kuliahnya.
Lalu bagaimana dengan saya ? Jelas sangat jauh kepribadiannya. Saya selalu mengeluh, meski keadaan saya bisa dikatakan cukup. Saya selalu marah-marah tanpa sebab. Saya sangat jauh dari nilai-nilai kesakralan agama. Ini ditambah lagi dengan sifat-sifat jelek lainnya.
Ternyata memang kebahagiaan itu, bukan karena adanya fisik yang sempurna. Ataupun harta yang melimpah. Percuma fisik menarik, harta melimpah namun hati hampa dan kosong. Selalu dilanda rasa was-was, khawatir, amarah, dendam, iri dengki atau lainnya.
Lebih baik dikarunia jiwa yang lapang dan rasa syukur yang tinggi. Sebab dari rasa syukur itu menimbulkan ketenangan. Dan dari ketenangan itu memancar kebahagian. Semoga di bulan ramadhan ini saya bisa meraihnya. Walaupun belum, minimal sebelum ajal dijemput, saya harus bisa mendapatkannya.(wassalam)