SEBENARNYA saya sangat berat jika mengangkat berita soal adanya gugatan hukum terhadap Rektor Universitas Lampung (Unila) Hasriadi Mat Akin beserta Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Syarief Makhya di koran yang saya gawangi ini. Pasalnya bagaimana pun berita ini juga menampar wajah saya, bahkan keluarga saya yang sebagian besar merupakan alumni Unila. Termasuk juga istri saya tentunya.
Sebagai salahsatu alumni Fakultas Hukum (FH) Unila saya turut menyesali mengapa masalah yang sebenarnya awalnya sangat sepele ini, ternyata justru makin menggelinding dan membesar seperti bola salju. Namun demikian profesi saya yang kata orang �wartawan� harus menuntut saya bersikap berbeda. Terlepas dari siapa yang salah ataupun siapa yang benar, setidaknya saya harus bisa bersikap objektif. Yakni dengan membuang rasa risih dan sungkan tersebut dengan mengangkat masalah ini kepermukaan agar kasusnya dapat diketahui khalayak ramai.
Jujur, saya tidak kenal dengan penggugat yang namanya Maruli Hendra Utama. Dalam gugatannya, warga Kompleks Bumi Puspa Kencana, Gedung Meneng, Rajabasa ini menuntut ganti-rugi sebesar Rp300 miliar lebih yang disampaikan dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang.
Dalam surat gugatannya dijelaskan kasus ini bermula saat penggugat yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) telah habis masa studi pendidikan program Doktor dalam bidang Sosiologi pada Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran (Unpad). Selanjutnya tanggal 10 November 2016, Fisip Unila mengirim surat kepada Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan Unila. Isinya pengembalian mahasiswa yang telah habis studi atas nama penggugat untuk selanjutnya di kembalikan ke Fisip Unila.
Sayangnya, meskipun masa belajar penggugat telah habis di Fisip Unpad dan penggugat telah dikembalikan sebagai tenaga pengajar Fisip Unila sejak bulan Oktober 2016, ternyata baru bulan Juni 2017, penggugat diaktifkan sebagai tenaga pengajar oleh para tergugat. Akibatnya sejak bulan Oktober 2016 sampai Juni 2017 penggugat hanya menerima gaji pokok sebesar Rp3.350.000. Sedangkan tunjangan seperti keluarga, jabatan, beras, sertifikasi dosen dan remunerasi tidak penggugat terima sehingga menimbulkan kerugian materiil sebesar Rp78.441.712.
Sementara akibat kerugian immateriil, penggugat mengaku mengalami kerugian sebesar Rp300 miliar. Pasalnya lantaran perbuatan tergugat, timbul rasa malu dan tercemarnya nama baik penggugat sebagai tenaga pengajar di hadapan civitas akademik maupun mahasiswa Unila.
Sekali lagi terlepas siapa yang benar atau yang salah, saya sangat menyesalkan mengapa masalah ini bisa mencuat. Lebih-lebih sampai terjadi gugatan hukum.
Tidak adakah lagi budaya berdiskusi, musyawarah atau bila perlu berdebat di lingkungan Unila. Bila perlu berhari-hari agar masalah ini menjadi terang dan bisa dicarikan solusi bersama. Bukankah banyak orang pintar di kampus saya tercinta itu. Bukankah ada orang bijak disana. Dan tak terhitung yang bergelar doktor hingga menyandang status guru besar.
Karenanya sekali lagi saya sangat prihatin mengapa permasalahan ini tidak dapat diselesaikan secara internal sehingga harus dibawa keranah dunia peradilan. Saya berdoa, semoga dengan adanya tulisan ini dapat menggugah hati para pihak yang berperkara untuk melihat persoalan yang lebih besar. Yakni mengedepankan kepentingan kemajuan Unila daripada mempertontonkan �keributan� yang sebenarnya tidak perlu orang pintar untuk menyelesaikannya. (wassalam)