BANDARLAMPUNG – Sikap Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Lampung dan 11 lembaga penggiat lingkungan hidup mendapat atensi Robinson Pakpahan, S.H, penasehat hukum (PH) Babay Chalimi. Ini terkait sikap mereka yang membawa pelanggaran hukum oleh pengelola tempat wisata Pulau Tegal Mas ketingkat nasional. Yakni dengan menyurati ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang, KPK, Kapolri, Kasal, Jaksa Agung, Komisi VII DPR RI dan Eksekutif Nasional Walhi. Isinya agar dilakukan proses hukum yang tegas oleh pihak terkait soal pelanggaran hukum dan kerusakan lingkungan di area Pulau Tegal.

“Kalau klien kami Babay Chalimi mendukung para pemerhati dan penggiat lingkungan hidup yang minta pelanggaran hukum dan kerusakan lingkungan di Pulau Tegal diusut tuntas,” tegas Robinson Pakpahan.

Mengapa ? Karena dari awal, Babay Chalimi sebagai pemilik sah beberapa areal di Pulau Tegal memang berharap lokasi itu dikembalikan kawasan konservasi. “Jujur saja dari awal, klien kami lebih senang lokasi itu dikembalikan kawasan konservasi. Tapi jika masyarakat, pemangku kepentingan, dan investor tetap ingin sebagai kawasan wisata, juga tak masalah. Yang penting, jangan ada pelanggaran hukum dan kerusakan lingkungan yang dapat menimbulkan kerugian masyarakat,” tandas advokat dari Law Firm SAC and Partners.

Dijelaskannya, selama puluhan tahun, Babay Chalimi membiarkan pulau itu alami. Para nelayan juga tak dipermasalahkan datang bahkan mengambil buah kelapa yang tumbuh. Namun, karena ada yang “menyerobot”, pihaknya tengah berupaya menguasai kembali sekaligus memperoses hukum pihak yang telah “mengubrak-abrik” pulaunya, dua tahun terakhir ini.

Babay Chalimi memperoleh tanah di Pulau Tegal yang kini sedang menjadi pusat perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta Mabes Polri berdasarkan hasil konvensasi empat aset sita jaminan atas tiga terlapor bekas anak buahnya yang salahsatunya adalah almarhum Kohar Wijaya alias Athiam, pamannya sendiri. Ini sesuai putusan inkracht van gewijzde di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang dengan Register Perkara Nomor : 15/PDT.G/2002/PN.TK.

Tapi entah bagaimana ceritanya, kata Robinson Pakpahan, lahan itu dijadikan Thomas Riska (TR) sebagai kawasan pariwisata dengan mengobrik-abrik bentang alam serta mengangkangi peraturan. Dijelaskannya, dari tujuh sertifikat atas nama Kohar Widjaja, Valentina Rahayu, dan lainnya (SHM 185, SHM 1/Pc, SHM 184, SHM 186, SHM 272, SHM 187, SHM 188) saja luasnya cuma 56,14 ha. Selebihnya, separuh lebih pulau itu, milik Pingping dan warga. “Jadi, Thomas itu ngawur jika mengklaim menguasai 120 ha pulau itu,” katanya.

Lahan seluas 56,14 ha itu yang seharusnya diserahkan ke Babay Chalimi sebagai kompensasi sita jaminan empat aset yang kasusnya sudah inkracht van gewijzde. Jadi, pemegang surat, termasuk Thomas, menguasainya secara tidak sah.

Dijelaskan tentang Surat Pernyataan Kompensasi (penggantian) atas objek sita jaminan yang dibuat dan diserahkan Kohar Widjaja, konteksnya penyerahan secara hukum sebidang tanah pengganti di Pulau Tegal seluas 60 hektar. Penyerahan tanah pengganti dimaksudkan guna mengganti berbagai bidang tanah dan bangunan yang sudah ditetapkan sita jaminannya (conservatoir beslaag) oleh PN. Tanjungkarang yang sudah memutus dan inkracht perkara perdata yang dimenangkan Babay Chalimi Nomor. 15/PDT.G/2002/PN.TK).

Adapun penetapan sita jaminan dan putusan inkracht perkara yang dimenangkan Babay Chalimi atas Kohar Widjaja pada tahun 2002-2003 berkaitan penyitaan beberapa tanah berikut bangunan milik perusahaan PT. SBB dan milik pribadi Kohar Widjaja dkk. Lalu dengan adanya surat pernyataan kompensasi, PN Tanjungkarang membuat penetapan pengangkatan sita jaminan semua objek sita jaminan yang perkaranya dimenangkan Babay Chalimi atas Kohar Widjaja dkk.

“Karenanya secara hukum dan pasti bahwa tanpa surat pernyataan kompensasi dari pihak Kohar Widjaja maka sita jaminan yang sah dan berharga yang perkaranya sudah inkracht dan dimenangkan Babay Chalimi maka PN Tanjungkarang tidak akan membuat penetapan pencabutan sita jaminan, dan tanpa penetapan pengangkatan sita jaminan, maka pihak BPN Bandarlampung dan Jakarta Selatan tentu “tak akan mencabut” pemblokiran objek sita jaminan atas perkara yang inkracht,” urai dia.

Sebab berbekal surat pernyataan kompensasi (penggantian) objek sita jaminan yang kemudian berlanjut ke Penetapan Pencabutan sita jaminan, yang kemudian berlanjut lagi ke pencabutan blokir objek sita jaminan di BPN, maka kemudian Kohar Widjaja telah menjual semua objek sita jaminan yang “tidak” dia serahkan kepada Babay Chalimi. Yaitu:

Tanah dan bangunan kantor PT. SBB di Srengsem Bandarlampung, dijual kepada Amir. Lalu tanah dan rumah di Jln. Sriwijaya, Bandarlampung, yang dijual ke Ahoy (Haryono Utomo) Suzuki Center. Terus Tanah dan restoran KOHARU di Jln. Ikan Tenggiri, Bandarlampung yang dijual kepada Basais. Selanjutnya tanah dan rumah di Patra Kuningan Jakarta Selatan yang dijual kepada Suryadi.

“Secara hukum, tanpa surat pernyataan kompensasi atas sita jaminan maka objek sita jaminan dalam perkara dengan putusan inkracht itu tidak akan bisa dijual Kohar Widjaja. Logikanya jika surat pernyataan tentang kompensasi objek sita jaminan yang dibuat dan diajukan pihak Kohar Widjaja ke pengadilan tidak sah atau tidak berharga atau dengan istilah “tidak kuat” sebagai alas hukum yang bisa digunakan menggantikan objek sita jaminan perkara dengan putusan inkracht, maka PN Tanjungkarang tak akan menerbitkan dan menandatangani serta memberikan penetapan pencabutan tentang sita jaminan kepada pihak Kohar Widjaja yang kalah,” jelasnya lagi.

Tentunya tanpa kompensasi sebidang tanah di Pulau Tegal seluas 60 hektar itu, maka PN. Tanjungkarang tak akan menerbitan penetapan pengangkatan sita jaminan perkara inkracht. Dan tentunya tanpa penetapan pengangkatan sita jaminan maka pemblokiran aset yang jadi objek sita jaminan tidak akan dicabut oleh BPN Bandarlampung, yang akibatnya aset-aset yang menjadi objek sita jaminan perkara inkracht tidak bisa dijual.

“Intinya PN. Tanjungkarang mengakui surat pernyataan kompensasi sebagai sesuatu yang sah dan berharga menggantikan objek sita jaminan. Bukti yang lain adalah bahwa sebelum meninggalnya, Kohar Widjaja telah menjual seluruh asetnya yang tadinya menjadi objek sita jaminan perkara inkracht. Sementara sampai meninggalnya, Kohar Widjaja tidak menjual tanah Pulau Tegal yang sudah diserahkan ke Babay Chalimi sebagai kompensasi sita jaminan asetnya yang sudah dijualnya. Bahkan Kohar Widjaja secara tegas dan jantan dalam berbagai pertemuan informal saat itu selalu mengatakan “nanti kalau sudah selesai suratnya itu Pulau Tegal di serahkan ke Babay,” paparnya.

SHM-SHM tanah Pulau Tegal yang sudah dikompensasikan dan diserahkan ke Babay Chalimi pada tahun 2004 itu sendiri baru selesai tahun 2009. Tapi sebelum sempat menyerahkan dokumen tanah kepada Babay Chalimi ternyata tahun 2010, Kohar Widjaja meninggal dunia.

“Sementara anak-anak Kohar Widjaja yang merupakan adik-adik sepupu Babay Chalimi sudah lama sekali tinggal di luar negeri. Adalah bohong besar jika ada pihak yang mengatakan membeli tanah Pulau Tegal dari ahli waris Kohar Widjaja yang merupakan adik-adik sepupu Babay Chalimi. Untuk itu saya sangat menyayangkan adanya media besar di Lampung yang menulis berita framing tanpa menggali konfirmasi bahkan terkesan menjadi investigator perkara di pengadilan dan bahkan segala hal yang tidak diungkapkan di pengadilan. Yang perlu diingat gugatan Babay Chalimi di PN Tanjungkarang terkait status Pulau Tegal itu dilakukan hanya untuk proses balik nama SHM-SHM. Sedangkan hukum tentang kepemilikannya sudah pasti dan sah karena bersandar pada putusan inkracht dengan register : 15/PDT.G/2002/PN. TK,” tutupnya.

Seperti diberitakan Walhi Lampung menilai reklamasi pantai oleh pengelola Pulau Tegal di Desa Sidodadi, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran sudah melanggar tiga undang-undang. Yaitu UU. No 32 tahun 2009, UU No. 1 tahun 2014 dan UU nomer 27 tahun 2007. Terkait itu, Walhi Lampung dan lembaga penggiat lingkungan mendorong proses penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan hidup oleh pengelola tempat wisata Tegal Mas di Pulau Tegal.

Sebelumnya Mabes Polri juga memastikan bukan hanya soal perizinan Pulau Tegal saja yang diduga bermasalah. Tapi ada pelanggaran lain yang kini diselidiki. Kepastian ini ditegaskan Karokorwas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo.

Menurut Prasetijo Utomo, yang juga merupakan Ketua Tim Penyelidik PPNS di Pulau Tegal, pihaknya kini tengah mendalami indikasi tindak pidana di Pulau Tegal mengenai kerusakan lingkungan. Yakni soal adanya reklamasi. ”Kini apa saja yang menjadi dampak yang terjadi atas reklamasi lagi kami selidiki,” tuturnya.

Dipastikannya, berdasarkan pantauan pihaknya, kuat dugaan ada pelanggaran hukum yakni kerusakan lingkungan. ”Karenanya kami memasang plang peringatan bahwa pulau ini dalam proses penyelidikan PPNS dalam dugaan tindak pidana,” tegasnya.

Berdasarkan pantauan dilapangan, di plang peringatan yang dipasang tertulis beberapa pelanggaran yang diduga dilanggar pihak pengelola Pulau Tegal. Yakni pasal 98 dan 109 Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara dan denda paling banyak 10 miliar rupiah.

Lalu, pelanggaran pasal 69 ayat (1) pasal 74 Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan ancaman hukuman 3 tahun penjara dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah. Selanjutnya pelanggaran pasal 75 jo pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan ancaman hukuman paling lama 3 tahun penjara dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah. Terakhir, pelanggaran Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil dengan ancaman hukuman paling lama 10 tahun penjara dan denda paling banyak sepuluh miliar rupiah.

Sebelumnya, KPK dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) menghentikan operasional dermaga Penyeberangan Sari Ringgung dan kawasan wisata Pulau Tegal. Mereka juga memasang plang peringatan yang berisi pelarangan melakukan kegiatan apapun lantaran areal ini dalam proses penyelidikan PPNS atas dugaan tindak pidana.(red/net)