BANDAR LAMPUNG � Konflik-konflik terkait umat beragama di Indonesia hendaknya diselesaikan melalui mekanisme restorative justice (keadilan restoratif). Begitu dikatakan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof H Mohammad Mukri.
Mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung ini menilai, langkah ini akan lebih lebih efektif dan efesien. Sebab, restorative justice mengedepankan dialog, mediasi, dan kompromi yang melibatkan semua pihak terkait.
“Model penyelesaian masalah dengan restorative justice tidak hanya melibatkan pihak yang bermasalah, namun juga melibatkan elemen lain yang memiliki kedekatan psikologis yang mampu menyejukkan suasana seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan,” kata Prof Mukri, Rabu (1/3/2023).
Menurut dia, penyelesaian masalah dengan restorative justice akan cepat memulihkan kondisi masyarakat dan lebih bertahan lama sekaligus menjadi pendidikan kepada masyarakat dalam pelestarian perdamaian dan upaya menghilangkan dendam.
Prof Mukri menjelaskan, cara ini juga sudah terakomodasi dalam penanganan permasalahan seperti diatur dalam Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, Pasal 1 huruf 3 Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021, dan masih banyak lainnya.
“Sudah banyak kasus yang bisa diselesaikan melalui restorative justice dengan baik, dengan tidak menimbulkan keresahan dan penolakan dari masyarakat. Tidak berdampak konflik sosial, dan tidak berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan di tengah-tengah masyarakat,” kata pria yang juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lampung ini.
Prof. Mukri mengatakan, permasalahan yang menyangkut hubungan umat beragama merupakan masalah yang sensitif, sehingga perlu penanganan yang lebih spesial karena menyangkut dengan keyakinan.
“Penyelesaian menggunakan restorative justice akan menekan cost (biaya) moril dan materiil yang harus dikeluarkan akibat proses yang panjang dan berlarut-larut karena kompromi,” katanya.
Karena menitikberatkan pada pemulihan kebersamaan, restorative justice ini lanjut Prof Mukri juga selaras dengan prinsip agama Islam dan Trilogi Ukhuwah yakni ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan dalam ikatan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama umat manusia).
“Walau kita beda agama, kita masih satu persaudaraan dalam berbangsa dan bernegara. Walau kita beda agama dan negara, kita masih satu dalam bingkai dalam persaudaraan kemanusiaan. Ini penting dipegang demi terwujudnya perdamaian, terlebih di Indonesia yang merupakan negara penuh dengan warna agama, budaya, suku, dan lain-lainnya,” ungkapnya.
Penyelesaian masalah yang muncul antar umat beragama melalui restorative justice ini menurutnya juga akan mampu menjadi media untuk terselenggaranya kebaikan-kebaikan yang menjadi buah dari sikap-sikap moderat dalam menghadapi berbagai masalah.
“Saya yakin masyarakat Indonesia masih memiliki gen moderat dan toleran yang telah diwariskan pada leluhur bangsa karena kita bisa lihat, masyarakat Indonesia bisa hidup berdampingan dalam kebhinekaan khususnya dalam perbedaan agama dan kepercayaan,” pungkasnya. (nuo)