Oleh: DR Budiyono. *)
PEMILIHAN Umum Presiden (Pilpres) dan wakil presiden serta legislatif hanya tinggal menghitung hari. Yakni tanggal 14 Februari 2024.
Keadaan politik Indonesia makin�menghangat�atau tanpa rasa malu melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan demi kepentingan kelompok dan keluarga atau pribadi.
Kondisi ini dimulai dengan pernyataan kontradiktif Presiden Jokowi menyoal keterlibatan pejabat publik dalam kampanye, terutama presiden.
Presiden Joko Widodo mengatakan, dibolehkannya seorang presiden dan wakil presiden berkampanye dalam Pemilihan Umum (Pemilu) sudah sesuai dengan ketentuan Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Jokowi menekankan pernyataan yang disampaikannya pada Rabu (24/1/2024) soal presiden yang boleh memihak calon tertentu dan berkampanye sudah sesuai dengan aturan.
Keberpihakan presiden merupakan wujud penyimpangan dan ketidakpedulian akan prinsip demokrasi serta tidak memperhatikan prinsip dan etika selaku penyelenggara negara.
Gejala ini kian jelas ke permukaan saat Presiden Joko Widodo menyatakan ketidaknetralan institusi kepresidenan dengan membolehkan presiden berkampanye dan berpihak.
Atas dasar pernyataan presiden dan perkembangan kondisi politik yang ada selama sebelum dan selama proses kampanye Pemilu, para akademisi dari sejumlah perguruan tinggi menyampaikan kritikan terhadap sikap politik Presiden Joko Widodo.
Kritikan tersebut disampaikan sejumlah dosen dan guru besar, baik di Pulau Jawa hingga Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.
Kritik awalnya disampaikan oleh dosen dan guru besar dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, kampus tempat di mana Presiden Jokowi pernah kuliah
Kemudian disusul atau diikuti oleh Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta,�Universitas�Indonesia (UI) Jakarta, Universitas Padjadjaran (Bandung), Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, dan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin.
Pernyataan sikap ini diawali dari rasa prihatin dengan tindakan sejumlah penyelenggara negara di berbagai lini, yang dinilai menyimpang dari prinsip-prinsip moral, demokrasi, kerakyatan, serta keadilan sosial baik sebelum dan selama masa kampanye.
Kekuasaan digunakan untuk kepentingan politik praktis sekelompok golongan dengan mengerahkan sumber daya negara.
Terjadinya praktik penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimulai dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 90 /PUU-XXI/2023, yang memuluskan pencalonan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden.
Di mana putusan Mahkamah Konstitusi ini syarat dengan intervensi politik dan melanggar etika. Ini dibuktikan Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), yang memberhentikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dari jabatannya.
Kalangan kampus atau perguruan tinggi jelas dan tegas memiliki kewajiban moral untuk mempertahankan integritas, etika, dan martabat di dalam berbangsa dan bernegara.
Terutama, ketika terjadi ketidakpatutan dalam bernegara dengan adanya pelanggaran etika dan pencederaan nilai-nilai fundamental demokrasi yang terkandung di dalam UUD 1945 pada penyelenggaraan Pemilu 2024 ini.
Pernyataan sikap yang dilontarkan oleh dewan guru besar dan civitas akademika dari berbagai kampus di Indonesia merupakan panggilan moral, yang mewakilkan suara oposisi setelah partai politik tutup suara.
Menyuarakan kerisauan yang disampaikan oleh para akademisi berbagai perguruan tinggi di Indonesia adalah suatu bentuk kemarahan atas pelaksanaan demokrasi hari ini.
Atas hancurnya tatanan hukum dan demokrasi, hilangnya etika bernegara dan bermasyarakat, terutama korupsi, dan nepotisme yang telah menghancurkan kemanusiaan dan merampas akses keadilan kelompok miskin terhadap hak pendidikan, kesehatan, layanan publik, dan berbagai kelayakan hidup.
Keprihatinan dan kerisauan para akademisi di berbagai kampus di Indonesia ini ternyata belum diikuti oleh para akademisi terutama para guru besar yang ada di Universitas Lampung (Unila).
Apakah ini menunjukan bahwa kondisi politik dan demokrasi yang terjadi saat ini, yang menjadi kerisauan dan keprihatinan para akademisi dan guru besar di berbagai kampus tidak dirasakan oleh para akademisi yang ada di Unila?
Kalau itu tidak dirasakan maka wajib kita pertanyakan jiwa moralitas dan rasa memiliki mereka terhadap bangsa ini. Sebab, perguruan tinggi adalah penjaga moralitas. Seperti yang dikatakan oleh Julien Benda bahwa tugas utama para cendekiawan adalah menjaga moral.
Ketidakhadiran para akademisi dan guru besar Unila dalam menyampaikan peryataan sikap keprihatinan dan kerisauan atas kondisi bangsa, di mana hilangnya etika bernegara dan berbangsa serta kemunduran demokrasi yang terjadi selama atau sebelum Pemilu ini banyak dipertanyakan oleh masyarakat Lampung di berbagai grup WhatsApp.
Mengingat Unila adalah salah satu perguruan tinggi terbesar di Sumatra dan perguruan tinggi terbesar di Provinsi Lampung yang menjadi rujukan perguruan tinggi di Lampung
Sangat disayangkan kalau para akademisinya tidak memberikan pernyataan sikap atas kondisi politik dan demokrasi saat ini.
Hal itu bisa menjadi sejarah di mana Unila menjadi salah satu universitas yang tidak mempunyai kepedulian dan perhatian terhadap kondisi bangsa Indonesia saat ini.
Saya selaku akademisi Unila menyampaikan hal ini sebagai bentuk keprihatinan atas kondisi di Unila yang hanya �diam� atas kondisi bangsa yang telah hilang �etika bernegara dan berbangsa� dalam penyelenggaran negara.
Kalau kita terus �diam� kita telah ikut dalam melakukan kerusakan moral dan etika bangsa ini. Dan kerusakan itu kita wariskan kepada anak cucu kita.
*) Dosen Hukum Tata Negara Unila.
Disadur dari lampung.rilis.id