BANDARLAMPUNG � Sidang kasus suap penerimaan mahasiswa baru dengan terdakwa mantan Rektor Universitas Lampung (Unila), Prof. Karomani di PN Tanjungkarang mengungkap beberapa fakta. Antara lain, adanya pemberian uang oleh Kepala Dinas (Kadis) Pendidikan Lampung yang juga Pj. Bupati Kabupaten Mesuji kepada terdakwa Karomani. Nilainya cukup �fantastis mencapai Rp.1,1 miliar.

Dalam dakwaan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijelaskan pemberian uang oleh Sulpakar selama kurun waktu tahun 2020 sampai dengan tahun 2022.

Dimulai Tahun 2020 penerimaan dari Sulpakar setelah pengumuman kelulusan Seleksi Masuk Mandiri Perguruan Tinggi Negeri (SMMPTN) atau Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri �(SBMPTN) �tahun 2020 yang diserahkan di ruangan Rektor Unila senilai Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Kemudian tahun 2021 Penerimaan dari Sulpakar setelah pengumuman kelulusan SBMPTN tahun 2021 yang diserahkan di ruangan Rektor UNILA senilai Rp400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dan Penerimaan dari SULPAKAR setelah pengumuman kelulusan SMMPTN atau SBMPTN tahun 2021 di ruangan Rektor UNILA senilai Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) .

Terakhir Tahun 2022 penerimaan dari SULPAKAR setelah pengumuman SMMPTN atau SBMPTN tahun 2022 di Rumah Pribadi terdakwa Jl. Muhammad Komarudin 12, Rajabasa Jaya, Kec. Rajabasa, Kota Bandar Lampung senilai Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)

Bahwa penerimaan uang oleh Terdakwa Karomoni ini menurut JPU tidak pernah dilaporkannya kepada KPK dalam tenggang waktu 30 �(tiga puluh) hari kerja sejak diterima sebagaimana dipersyaratkan dalam undang-undang, padahal penerimaan uang itu tanpa alas hak yang sah. Oleh karenanya penerimaan uang itu haruslah dianggap suap karena berhubungan dengan jabatan terdakwa selaku Rektor Unila sebagaimana diatur dalam Pasal 12 C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kemudian hal ini �juga berlawanan dengan kewajiban atau tugas terdakwa �selaku penyelenggara negara yang tidak boleh melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme serta menerima pemberian gratifikasi sebagaimana dalam ketentuan Pasal 5 angka 4 dan 6 Undang-Undang RI (UU RI) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan bertentangan dengan Pasal 5 huruf a dan huruf k Peraturan Pemerintah (PP) No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan Pasal 73 ayat 5 UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. (red)

.