BANDARLAMPUNG � Tokoh masyarakat Lampung, M. Alzier Dianis Thabranie, terus mengikuti polemik tempat wisata Pulau Tegal Mas. Tokoh yang menginisiasi pemekaran Kabupaten Pesawaran tersebut menilai keberadaan kawasan pariwisata itu hanya merugikan berbagai pihak.
Dia minta pemerintah menolak permohonan izin PT. Tegal Mas mengingat kerugian yang akan menjadi lebih besar lagi. Baik dari sisi kerusakan lingkungan, sosial-budaya, ekonomi kemasyarakatan, hukum, maupun kepemilikannya.
“Buat malu saja, katanya Thomas (pengelola PT Pulau Tegal Mas Island) pengusaha bonafide, kok sampai ditegur Pemerintah Kabupaten belum bayar pajak,” ujar Alzier Dianis Thabranie sebagaimana dilansir website rmollampung.
“Sebagai warga Pesawaran, kami meminta agar KLH, KKP & BPN serta tentunya KPK menindak tegas pengelolanya. Penyegelan tidak efektif karena pihak pengelolanya terkesan tak peduli, termasuk alas haknya,” katanya.
Selain menimbulkan citra tak baik pengusaha pariwisata lokal, apa yang telah dilakukan pengelola Pulau Tegal Mas merugikan nelayan, merusak lingkungan hidup, serta bisa mengganggu kawasan perairan pertahanan Armada Barat.
“Banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya bagi masyarakat dan pemerintah. Termasuk citra pengelolaan pariwisata di Provinsi Lampung,” katanya.
Pemerintah tak ada pemasukan sama sekali sejak setahun lalu, baik perijinan apa lagi PAD. Yang ada malahan, lingkungan hidup rusak, bukit digerus dan pantai magrove direklamasi tanpa izin.
Terumbu karang yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk tumbuh dan biota laut sekitar Pulau Tegal terganggu oleh aktivitas pariwisata yang tanpa studi kelayakan lebih dulu.
“Warga yang selama ini memiliki tempat wisata gratis dengan alam yg benar-benar alami akhirnya tidak bisa menikmati wisata alam yang alami. Mereka kini harus membayar hancurnya lingkungan hidup,” katanya.
Menurut Alzier, Pengelola Pulau Tegal Mas hanya merugikan para nelayan yang turun-temurun mengais rezeki pada kawasan tersebut. Bahkan negara pun tak memperoleh masukan apa-apa bahkan “dikangkangi” pengelolaanya lewat pengabaian aturan.
“Negara malah dirugikan karena pengrusakan lingkungan dan mengeluarkan biaya untuk menginspeksi dan menyegel dua titik kerusakan pantai dan hutan mangrove serta penggerusan perbukitan,” tuturnya.
Ada lagi, hak orang lain terampas. “Saya dari dulu paham bahwa sebagian besar tanah Pulau Tegal miliki Pak Babay Chalimi yang lebih dikenal sebagai Babay Andatu,” katanya.
Lalu, sebagian pulau yang dibeli Babay dan diperkuat dengan pernyataan kompensasi empat aset sita jaminan yang sudah diputuskan Pengadilan Negeri Tanjungkarang.
Sepeti diketahui Mabes Polri memastikan bukan hanya soal perizinan Pulau Tegal Mas saja yang diduga bermasalah. Tapi ada pelanggaran lain yang kini diselidiki. Kepastian ini ditegaskan Karokorwas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo.
Menurut Prasetijo Utomo, yang juga merupakan Ketua Tim Penyelidik PPNS di Pulau Tegal, pihaknya kini tengah mendalami indikasi tindak pidana di Pulau Tegal mengenai kerusakan lingkungan. Yakni soal adanya reklamasi. �Kini apa saja yang menjadi dampak yang terjadi atas reklamasi lagi kami selidiki,� tuturnya.
Dipastikannya, berdasarkan pantauan pihaknya, kuat dugaan ada pelanggaran hukum yakni kerusakan lingkungan. �Karenanya kami memasang plang peringatan bahwa pulau ini dalam proses penyelidikan PPNS dalam dugaan tindak pidana,� tegasnya.
Berdasarkan pantauan dilapangan, di plang peringatan yang dipasang tertulis beberapa pelanggaran yang diduga dilanggar pihak pengelola Pulau Tegal. Yakni pasal 98 dan 109 Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara dan denda paling banyak 10 miliar rupiah.
Lalu, pelanggaran pasal 69 ayat (1) pasal 74 Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan ancaman hukuman 3 tahun penjara dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah. Selanjutnya pelanggaran pasal 75 jo pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan ancaman hukuman paling lama 3 tahun penjara dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah. Terakhir, pelanggaran Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil dengan ancaman hukuman paling lama 10 tahun penjara dan denda paling banyak sepuluh miliar rupiah.(red/net)