BANDARLAMPUNG � Mahkamah Agung (MA) menyunat hukuman Agung Ilmu Mangkunegara dari 7 tahun penjara menjadi 5 tahun penjara. Mantan Bupati Lampung Utara (Lampura) itu terbukti korupsi proyek Rp63 miliar. Agung sebelumnya dituntut KPK selama 10 tahun penjara. Di PN Tanjung Karang, Agung dihukum 7 tahun penjara dengan uang pengganti Rp77 miliar. Agung menerima dan mengajukan PK. Tak dinyana, majelis PK mengabulkannya.
“Menjatuhkan pidana terhadap terpidana Agung Ilmu Mangkunegara berupa pidana penjara selama 5 tahun dan denda sejumlah Rp 750 juta subsider 8 bulan kurungan,” kata juru bicara MA Andi Samsan Nganro sebagaimana dilansir detikcom, Rabu (17/11/2021) �lalu.
Duduk sebagai ketua majelis Burhan Dahlan dengan anggota Eddy Army dan Agus Yunianto. Burhan Dahlan adalah hakim militer dengan pangkat terakhir mayor jenderal.
“Menjatuhkan pidana tambahan kepada Agung Ilmu Mangkunegara untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 63,4 miliar,” kata majelis hakim.
Uang pengganti adalah uang yang dikorupsi dan diharuskan dikembalikan ke negara. Jumlah Rp 63 miliar itu dikurangi dengan jumlah yang telah disita KPK sebesar Rp 2 miliar dan USD 2.600.
“Jika dalam jangka waktu 1 bulan tidak membayar uang pengganti, harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda, maka diganti dengan pidana penjara selama 1,5 tahun,” ujar majelis hakim.
Atas penurunan vonis tersebut, Agung Ilmu Mangkunegara, hari ini Senin, 23 Januari 2023 bebas bersyarat. Kepastian ini diutarakan Maizar selaku Kepala Lapas Kelas IA Bandar Lampung. Agung Ilmu Mangkunegara menurutnya bebas bersyarat usai menjalani 2/3 dari 5 tahun masa pidana penjaranya. Selain karena menjalani 2/3 dari 5 tahun masa penjaranya, Agung disebut juga telah membayar lunas denda dan membayar sebagian uang pengganti.
Lantas mengapa vonis Agung disunat MA?
“Ada kekhilafan hakim dalam mempertimbangkan besarnya uang fee proyek yang diterima oleh terpidana, yaitu sebesar Rp 63,4 miliar dengan rincian Rp400 juta dari Candra Safari dan Deni Marian. Dan Rp 200 juta dari Hendra Wijaya Saleh. Ditambah fee proyek dari 2015-2019 sejumlah Rp 62,8 miliar,” ujar majelis hakim.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merasa miris dengan pemotongan hukuman itu. “Sebagai kejahatan yang memberikan dampak buruk yang luas, tentu kami berharap penegakan hukum atas tindak pidana korupsi selain memberikan rasa keadilan bagi pelaku maupun masyarakat, juga penting untuk tetap mempertimbangkan efek jera yang ditimbulkan dari hukuman tersebut,” kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK Ipi Maryati, beberapa �waktu lalu.
Meski begitu, KPK tidak bisa bertindak banyak. Lembaga Antikorupsi harus manut dengan putusan MA. “KPK menghormati sepenuhnya setiap putusan peradilan sebagai ranah kewenangan majelis hakim,” ujar Ipi.
Masyarakat juga diminta tidak terlalu sakit hati dengan putusan itu. Sikap masyarakat dengan pemantauan korupsi diminta tidak pudar. “Karenanya, pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen kuat seluruh elemen masyarakat, terlebih tentu komitmen dari setiap penegak hukum,” ucap Ipi. (red/net)