BANDARLAMPUNG � Apes sekali nasib Harsono Bin Ambotang (alm). Warga Jl. Teluk Bone Kelurahan Kota Karang, Teluk Betung Timur, Bandarlampung, Senin 20 November 2023 dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yani Mayasari, S.H, M.H, dari Kejati Lampung pidana penjara 2,5 Tahun dan denda sebesar Rp2 miliar subsidair 4 bulan penjara.

Alasannya Harsono dinggap bersalah melanggar pasal 73 ayat (1)� huruf b jo Pasal 35 huruf e,f dan g UU RI Nomor: 27 Tahun 2007 tentang sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jo UU RI Nomor: 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU. Yakni lantaran dengan sengaja gunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem Manggrove, melakukan konversi Ekosistem Manggrove, menebang Manggrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g.

�Tuntutan ini kami rasa terlalu mengada-ada dan mengesampingkan fakta persidangan dan pemeriksaan setempat, nanti akan kami tuangkan keberatan dalam pledoi (pembelaan,red) didepan yang mulia majelis hakim PN Tanjungkarang. Sepertinya Penyidik dan JPU tidak memahami azas Subsidiaritas dalam penegakan hukum lingkungan dan emosional dalam penyusunan dakwaan sehingga melupakan azas keadilan dan azas manfaat dalam penerapan hukum pidana,� tutur Penasehat Hukum (PH) Terdakwa Harsono, Syamsul Arifin, S.H., M.H., Senin, 20 November 2023.

Syamsul mencontohkan penanganan perkara di kasus sejenis. Yakni kasus pengrusakan tanaman mangrove di Desa Hurun, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran beberapa waktu lalu atas nama terdakwa Darma Wangsa. Dimana Darma Wangsa hanya divonis tiga bulan penjara oleh majelis hakim PN Tanjungkarang yang terdiri dari Hendro Wicaksono, S.H., Efiyanto D, S.H., dan Raden Ayu Rizkiyati, S.H. Saat itu JPU Kandra Buana, S.H. dari Kejati Lampung hanya menuntut empat bulan penjara dan denda Rp5 juta subsidair 1 bulan penjara. Sebab hanya dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana �karena kelalaiannya terjadi kerusakan ekosistem mangrove� sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 73 ayat 2 huruf (b) UU Nomor 1 tahun 2014 Jo UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil, dengan ancaman hukuman penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Padahal urai Syamsul baik terdakwa Harsono maupun terdakwa Darma Wangsa dalam dakwaannya sama-sama dijerat dakwaan Pertama Pasal 73 ayat 1 huruf (b) Jo Pasal 35 huruf e,f dan g UU Nomor 1 tahun 2014 Jo UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau dakwaan kedua Pasal 73 ayat 2 huruf (b) UU Nomor 1 tahun 2014 Jo UU Nomor 27 Tahun 2007.

�Tapi mengapa terdakwa Harsono bisa dianggap melanggar dakwaan pertama dan dituntut tinggi. Sementara terdakwa Darma Wangsa hanya dianggap melanggar dakwaan kedua yang itupun ancaman hukuman sebenarnya� mencapai lima tahun, tapi hanya dituntut 4 bulan penjara. Fakta ini yang akan kami sampaikan ke majelis hakim. Bila perlu, kami akan menyampaikan rasa ketidakadilan penanganan kedua perkara ini ke Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan, agar mereka dapat mengkaji dan menela�ah mengapa ini bisa terjadi,� sambung Syamsul Arifin.

Seperti diberitakan sebelumnya aktifis lingkungan hidup menyesalkan adanya tuntutan dan vonis ringan ke terdakwa Darma Wangsa. Pasalnya pelaku pengrusakan Tanaman Mangrove di Desa Hurun, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran ini hanya divonis tiga bulan penjara oleh majelis hakim PN Tanjungkarang, Selasa, 29 November 2022 lalu.

Sebelumnya oleh JPU Kandra Buana, S.H., terdakwa hanya dituntut empat bulan penjara dan denda Rp5 juta rupiah subsidair 1 bulan kurangan penjara. Padahal dalam perkara ini terdakwa dinilai terbukti bersalah melakukan tindak pidana �karena kelalaiannya terjadi kerusakan ekosistem mangrove� sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 73 ayat 2 huruf (b) UU Nomor 1 tahun 2014 Jo UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil, dengan ancaman hukuman penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

�Kami sangat menyesalkan dan menyatakan keperihatinan yang mendalam atas adanya tuntutan dan vonis ringan terhadap terdakwa kasus pengerusakan lingkungan berupa Tanaman Mangrove di Desa Hurun, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran oleh JPU Kejati Lampung dan majelis hakim PN Tanjungkarang,� tutur aktifis lingkungan yang juga Ketua Umum Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) Universitas Lampung (Unila), Yopi Nadama, Jumat (29/12/2022) lalu.

Mengapa ? �Karena vonis ini sangat tidak sebanding dengan dampak yang akan terjadi akibat adanya kerusakan lingkungan tersebut. Selain itu, vonis ini tidak menimbulkan effek jera. Orang lain pasti nantinya akan meniru dan tidak takut untuk melakukan perbuatan serupa, mengingat hanya dihukum ringan,� tutur Yopi Nadama kembali.

�Apalagi butuh waktu yang lama mengembalikan kondisi hutan mangrove yang dirusak oleh terdakwa, seperti dalam kondisi sebelumnya. Bahkan dampak kerusakan bisa menyebabkan berbagai bencana yang dampaknya sangat merugikan masyarakat dan ekosistem yang ada,� ajak Yopi Nadama.

Kasus Darma Wangsa ini sendiri awalnya di laporkan Yopi Nadama, Ketua UKM� MAPALA Unila ke Polda Lampung. Bermula saat mereka melakukan kemah bersama di Pantai Ceper Desa Hurun, Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Pesawaran, 25 September 2021 lalu.

Namun dalam perjalanannya ke lokasi, mereka melihat adanya dugaan pembalakan/pengrusakan hutan bakau atau kawasan hutan mangrove di pantai tersebut. Tepatnya pada koordinat (-5.5158045, 105.2507303). Selanjutnya UKM MAPALA Unila pun lantas melakukan investigasi berupa pengambilan gambar� foto dan video. Serta mencari informasi siapa-siapa pelaku pengrusakan hutan mangrove tersebut. Setelah data dianggap lengkap, UKM MAPALA Unila pun kemudian melaporkan masalah ini ke Polda Lampung pada tanggal 15 November 2021.

Dari beberapa keterangan saksi di persidangan, diantaranya menjelaskan bahwa ada 14 titik yang dijadikan check point via GPS. Dari 14 titik itu hanya 5 titik yang masuk wilayah sertifikat hak milik terdakwa Darma Wangsa. Selanjutnya 9 titik berada di luar hak milik terdakwa yang telah melakukan pengrusakan hutan mangrove. Selain itu, saksi juga menjelaskan bahwa lokasi itu merupakan kawasan yang dilindungi menurut RTRW Kabupaten Pesawaran sesuai Perda No 06 tahun 2019. Keberadaan hutan bakau menurut saksi harus dilindungi. Ini bukan masalah tapal batas mengenai tanah. Namun siapapun pihak yang akan membuka usaha harus mengajukan dan mendapat izin lebih dahulu. Kemudian diterangkan juga bahwa garis sepadan pantai minimal 100 meter dari air pasang laut kearah darat adalah milik negara. Sehingga tidak boleh diterbitkan sertifikat hak milik.

Sementara itu perbuatan terdakwa Harsono dilakukan sekitar bulan Mei 2022 sampai bulan Februari 2023 di Jalan Teluk Bone I RT.05 LK.II Kelurahan Kota Karang Kecamatan Teluk Betung Timur Bandar Lampung. Tepatnya di lahan Konservasi Ekosistem Manggrove milik Pemerintah berdasarkan Perda Nomor 1 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Provinsi Pesisir dan PulauPulau Kecil Provinsi Lampung Tahun 2018-2023 yang menyatakan area penebangan manggrove dilokasi Jalan Teluk Bone I RT.05 LK.II Kelurahan Kota Karang Kecamatan Teluk Betung Timur Bandar Lampung merupakan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) dengan kode (KKP3K-TPM-1). (red/net)