LAMPUNG SELATAN – Kasus penambangan pasir yang dilakukan PT Lautan Indonesia Persada (LIP) di kawasan laut sekitar Gunung Anak Krakatau (GAK) Lampung Selatan (Lamsel) terus menjadi sorotan.
Bahkan, sejumlah lembaga masing-masing telah menempuh langkah. Tujuannya sama, yakni mencabut dan mencekal operasi PT LIP untuk menyedot pasir di kawasan cagar nasional itu. Meski dalih pihak perusahaan telah memiliki izin resmi dari pemerintah.
Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung menilai, penerbitan IUP Operasi Produksi PT.LIP Nomor: 540/3710/KEP/II.07/2015 yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Penanaman Modal Dan Pelayanan Perizinan Satu Pintu Provinsi Lampung, cacat administrasi.
“Indikatornya, dari proses penerbitannya. Karena, seharusnya ada moratorium izin wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pasca dikeluarkannya UU 1 tahun 2014 tentang PWP3K sampai dengan diterbitkannya Perda RZWP3K di provinsi.� Dan di Provinsi Lampung sendiri Perda RZWP3K terbit pada januari 2018 dan IUP OP PT LIP diterbitkan pada 26 maret 2015,” tegas Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri, kepada wartawan BE 1 Lampung melalui pesan whatsapp siang tadi (27/11).
Saat ini pihaknya telah menempuh jalur khusus untuk mengusir dan menuntut pencabutan izin PT LIP. Pada 10 september 2019 lalu, Walhi telah melakukan hearing dengan DPRD Provinsi Lampung. Kemudian, mereka juga melakukan audiensi� dengan Asisten 2 Pemprov Lampung pada 16 september 2019.
“Yang mana pada kesempatan itu kita menyampaikan persoalan yang terjadi dan meminta Pemprov Lampung untuk mencabut IUP PT LIP. Selain itu surat permohonan pencabutan IUP PT LIP juga kita tembuskan ke KLHK, KKP, KPK,” beber Irfan.
Sebagai langkah lainnya, saat ini Walhi juga tengah mendesak untuk melakukan hearing multi pihak kepada Ketua DPRD Provinsi Lampung.
Terpisah, Direktur LBH Tani Lampung, Arif Hidayatullah menegaskan, setiap orang yang melakukan aktivitas dan� mengakibatkan kerusakan dan atau pencemaran terhadap lingkungan ada sanksi pidananya.
“Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup (UU PPLH) pasal 60 Jo. Pasal 104 bagi pelaku pencemaran lingkungan dipidana dengan ancaman penjara� hingga 3 tahun dan denda 3 milyar, tegas Arif.
Arif yang dikenal sebagai pengacara buruh ini juga menerangkan bahwa ada potensi pidana yang lebih besar jika perusahaan melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara, baku mutu air dan baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
“Jika perusahaan sengaja, maka sesuai dengan pasal 98 ayat (3) Jo. Ayat (1) UU PPLH di ancam paling singkat 5 tahun dan maksimal 15 tahun dan denda paling sedikit 5 milyar dan paling banyak 15 Milyar. Sedangkan jika perusahaan lalai, maka sesuai dengan pasal 99 ayat (3) Jo. Ayat (1) UU PPLH dapat terkena sanksi penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 9 tahun dan denda paling sedikit 3 milyar dan paling banyak 9 milyar, terangnya.
Terakhir, Sekjen LMND periode 2015-2017� itu mengingatkan, jika benar dilakukan penambangan pasir di daerah GAK, maka nelayan akan turut menjadi korban.
“Nelayan akan kesulitan mendapatkan tangkapan ikan karena aktivitas perusahaan. Hal ini tentu akan berpengaruh pada perekonomian keluarga nelayan itu sendiri” lanjut Arif.
Arif mengatakan, pihaknya juga bakal mengawal kasus ini. Dalam waktu dekat, Ia bakal melakukan koordinasi lintas lembaga untuk menentukan langkah.
“Kita juga akan berperan. Bahkan dengan lintas lembaga hukum,” tutupnya. (Doy)