BANDAR LAMPUNG – Anjloknya harga singkong (ubi kayu) di Provinsi Lampung kembali mencuat setelah aksi unjuk rasa petani yang berujung ricuh beberapa hari lalu.
Prihatin dengan situasi tersebut, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Lampung menyampaikan pandangan dan solusi strategis atas persoalan yang berulang ini.
Ketua ISEI Lampung, Dr. Agus Nompitu, S.E.,M.T.P., menyebut bahwa ISEI telah menggelar diskusi terbatas bersama para pengurus, antara lain Dr. Usep Syaipudin, S.E., M.S.Ak, Dr. Saring Suhendro, S.E., M.Si., Dr. Fitra Dharma, S.E., M.Si., dan Dr. Dedy Yuliawan, S.E.,M.Si. Tujuannya guna merumuskan beberapa pandangan organisasi atas dinamika yang terjadi pada harga singkong.
“Anjloknya harga singkong merupakan masalah struktural yang membutuhkan pendekatan jangka panjang dan menyeluruh dari hulu ke hilir,” ujar Agus.
Diskusi tersebut menyoroti kebijakan Pemerintah Provinsi Lampung melalui Instruksi Gubernur Nomor 2 Tahun 2025 yang menetapkan harga acuan pembelian singkong sebesar Rp1.350 per kilogram. Kebijakan ini dinilai sebagai upaya mendorong keadilan harga bagi petani.
Namun, kebijakan tersebut ditanggapi dengan penghentian operasional sementara oleh 27 pabrik tapioka di Lampung. Penutupan itu berdampak langsung pada petani yang kesulitan menjual hasil panennya.
“Singkong yang sudah dipanen berisiko membusuk dan menyebabkan kerugian besar,” jelas Agus.
ISEI Lampung mengidentifikasi enam persoalan utama dalam industri singkong di Lampung:
Struktur Pasar Oligopsoni
1. Pasar didominasi segelintir pembeli (pabrik), membuat posisi tawar petani sangat lemah dan membuka ruang praktik potongan harga yang tidak transparan (rafaksi).
2. Produktivitas Rendah
Rata-rata produktivitas hanya 27 ton/hektare. Biaya produksi yang tinggi, apalagi dengan lahan sewa, membuat keuntungan petani sangat kecil.
3. Kurangnya Hilirisasi Produk
Minimnya pengolahan lanjutan menyebabkan rendahnya nilai tambah dan ketergantungan pada pabrik tapioka.
4. Kebijakan Tidak Konsisten
Instruksi gubernur belum memiliki kekuatan hukum memaksa, dan tidak ada sanksi bagi industri yang tidak mematuhi.
5. Lemahnya Kelembagaan Petani
Banyak petani masih bekerja secara individu tanpa koperasi atau kelompok yang kuat, sehingga minim akses bantuan dan informasi pasar.
6. Tidak Ada Standarisasi Kualitas
Penentuan kualitas singkong dan potongan harga sering tidak transparan dan merugikan petani.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, ISEI Lampung mengusulkan sejumlah strategi jangka panjang:
1. Pembenahan Tata Niaga dan Regulasi Harga
Membangun kemitraan adil antara petani dan industri, serta menerapkan harga dasar yang mengikat.
2. Peningkatan Produktivitas
Penyediaan benih unggul, pelatihan budidaya modern, serta akses terhadap pupuk dan mekanisasi.
3. Penguatan Hilirisasi
Dorongan investasi industri pengolahan lanjutan seperti mocaf, bioetanol, dan pakan ternak berbasis desa atau koperasi.
4. Transformasi Kelembagaan Petani
Pembentukan koperasi atau Gapoktan yang kuat, serta akses terhadap pembiayaan dan teknologi digital.
5. Konsistensi Kebijakan dan Payung Hukum
Penetapan singkong sebagai komoditas strategis nasional dan penyusunan regulasi khusus tata niaga singkong.
ISEI Lampung berharap pemerintah, pelaku usaha, dan petani dapat bersinergi dalam menciptakan ekosistem industri singkong yang sehat dan berkeadilan.
“Harga boleh naik turun, tapi sistem harus kuat agar petani tidak terus menjadi korban,” kata Agus. (*)