LAMPUNG – “Penyintas� tsunami Lampung selatan mempunyai karakteristik yang unik, yang tidak ada pada penyintas bencana lainnya. Sebab mereka masih menghadapi sumber traumanya terus-menerus didepan mata, yaitu gunung Anak Krakatau.” Demikian dijelaskan Dekan FKIP Universitas Lampung (Unila) Prof. Dr. Patuan Radja, M. Pd.�
Selain itu, fakta di lapangan pun menunjukkan bahwa dalam sebulan pertama� terjadi bencana, banyak bantuan diberikan kepada penyintas.� Terutama bantuan logistik. Namun setelah sebulan berlalu, bantuan itu pun akan “pergi”. Sedangkan penyintas harus bertahan hidup di lokasi bencana dan tetap menjalani hidupnya di situ.
“Mereka harus dibantu,� agar selain mampu� bertahan hidup juga kuat sekaligus “lentur” dalam mengatasi masalahnya. Terutama kuat secara psikologis dalam menyelesaikan masalah hidupnya setelah terjadi bencana.� Disinilah peran penting relawan dalam memberikan dukungan psikologis.�� Yaitu membantu penyintas agar kembali mandiri dalam menyelesaikan masalah-masalah hidupnya,” demikian dijelaskan Ratna Widiastuti, Ketua Pelaksana dalam Pelatihan Dukungan Psikologi Penyintas Anak di Daerah Bencana pada Rabu, 9 Januari 2019 di FKIP Unila.� Acara ini diprakarsai oleh Dekan FKIP Universitas Lampung� bersama� ketua HIMPSI Lampung Dra. Renyep P., psikolog.
�
Pelatihan ini menghadirkan pemateri Dra. Yeti Widiati, Psikolog dari lembaga Paradigma sekaligus� trainer� kebencanaan (Psychosocial First Aid) pada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).
Menurut Ketua Pelaksana Ratna Widiastuti, M.A., Psikolog, tujuan kegiatan ini adalah memberikan ilmu atau beragam terapi yang dapat digunakan oleh� relawan dalam mendukung psikologis penyintas anak di daerah bencana. Terapi dalam psychososial first aid (PFA) atau bantuan psikologis pertama inilah yang nantinya akan mendukung usaha “survive”� di masa recovery (pemulihan).
Acara ini diikuti oleh 44 peserta terdiri dari civitas akademika Prodi Bimbingan Konseling Universitas Lampung, PG Paud Universitas Lampung, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Lampung, Prodi Psikologi Universitas Islam Negeri Raden Intan, Prodi Psikologi Universitas Malahayati, Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Provinsi Lampung dan unsur masyarakat lainnya.
Materi� yang disampaikan Yeti diantaranya adalah konsep evaluasi dalam bencana, pengenalan korban termasuk karakteristik dan kategori korban , critical incident stress management dalam� kebencanaan, sindrom bencana, trauma dan penanganan krisis, P3K psikologis ( atau dikenal sebagai psychososial first aid (PFA).�
Dilatihkan juga beberapa tindakan-tindakan yang harus dilakukan didalam PFA;� seperti self protection pada� relawan, psikodrama,� art therapy, eye movement, debriefing , dissosiasi, narrative exposure therapy serta teknik-teknik lain yang bermanfaat untuk membantu penyintas� mengatasi gangguan psikologis serta bangkit kembali dan memegang kendali atas hidupnya.
Salah satu teknik didalam art therapy misalnya dengan� mengajak peserta melakukan� stimulasi emosi melalui aktivitas menggambar. Gambar berupa dua hal yaitu yang tidak menyenangkan dan gambar yang membuat menyenangkan dan terasa nyaman.
Salah satu peserta pelatihan Naqiyyah Syam perwakilan Puspa Lampung mengakui sangat senang mendapat ilmu dalam mendampingi psikologi anak di daerah bencana ini.
“Apabila trauma pribadi ikut terpicu saat membantu penyintas, maka para relawan dianjurkan untuk� melakukan self healing” ujar Yeti Widiati.
Tidak menutup kemungkinan bagi relawan untuk mempunyai emosi negatif. Kondisi lapangan juga akan membuat relawan� mudah terpicu emosi sesuai beragam emosi negatif yang dialami penyintas. (red)