Pendahuluan

Undang-undang Cipta Kerja (UU No. 11/2020) yang dinyatakan inskonstitusional bersyarat insconstituional conditionally) oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bertanggal 25 November 2021, dijawab pemerintah melalui executive review 13 (tiga belas) bulan 4 (empat) hari kemudian (30 Desember 2022) dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022.

Bagi pemerintah, Perpu adalah kebutuhan mendesak yang dibuat berdasarkan subjektivitas Presiden menilai hal ihwal kegentingan yang memaksa (Pasal 22(1) UUD 1945). Perpu inilah yang dijadikan solusi kebuntuan substansi hukum memenuhi syarat yang dikehendaki putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII2020. Namun demikian, tulisan singkat ini tidak dimaksudkan untuk menelaah perbedaan substansi pengaturan antara UU 11/2020 dengan Perpu 2/2022, melainkan lebih mengedepankan pembacaan hukum konstitusi dengan kacamata etik.

Memahami pendekatan constitutonal ethics

Konsep negara hukum modern menghendaki setiap kekuasaan negara dilaksanakan secara terbatas, dan dibatasi oleh hukum tertinggi, terdapat pembatasan kelembagaan negara, pengisian dan pemberhentian serta kewenangan yang dimiliki, hubungan antar organisasi negara, dan demikian pula terjadi pembatasan terhadap bagaimana seharusnya relasi organisasi negara itu dengan masyarakatnya. Paham konstitusionalisme (Bagir, Susi,2014:184) itulah kemudian kita kenal sebagai doktrin pembatasan kekuasaan (limited power) dimaksud, dan norma hukum tertinggi yang mengatur pembatasan sedemikian itu disebut sebagai konstitusi yang menempatkanya sebagai the highes law of the land (Jimly, 2014:228).

Konstitusi dalam pengertian tekstual atau bunyi pasal demi pasal itulah kemudian lebih familiar kita labeli dengan grondwet (Belanda), grondgezet (jerman) atau undang-undang dasar.

Sedangkan bersamaan itu, terdapat pembacaan terhadap hukum dasar itu secara maknawi atau pengertian (Bagir, 2011:7) yang menempatkan pemahaman konstitusi pada makna lebih luas dari sekedar barisan teks, mencakup nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalamnya sehingga ia dikenal dalam tradisi Belanda sebagai grond-recht atau Verfassung di Jerman (Jimly, 2014:228).

Pemaknaan terakhir inilah yang kemudian mendekatkan kita pada paham konstitusionalisme bahwa UUD 1945 sebagai the living constitution atau konstitusi yang senantiasa hidup dan bahkan lebih luas dari itu, diartikan pula sebagai konstitusi itu dalam makna ini adalah kebiasaan ketatanegaraan (constitutional convention) (Bagir, Susi, 2014:187-188).

Pemaknaan terhadap the living Constitution menghendaki pemahaman yang tepat terhadap semangat (roh) yang dinamis sesuai perkembangan perubahan ketatanegaraan, masyarakat dan bahkan arus perubahan global. Ide, pemahaman ataupun semangat yang terus berkembang inilah dalam pendekatan konstitusi melahirkan interpretasi atau penafsiran konstitusi, yaitu originalis dan non-originalism interpretation. Pendekatan yang menjadi topik kesempatan ini adalah non-orginalism interpretation yaitu moral reading constitution (Dworkin, 1986) atau membaca konstitusi sebagai political ethics atau political morality yang bekait erat dengan apa yang disebut Montesquieu sebagai the spirit of the constitution.

Pembacaan moral konstitusi dalam topik diskusi kali berarti mendekati Perpu 2/2022 dalam bingkai moral reading constitution yang maknanya memahami eksistensi Perpu dari sebelumnya sekedar berputar pada paradigma rule of law mengarah ke paradigma moralitas (morallity based paradigm). Jika paham konstitusionalisme membatasi kekuasaan pemerintahan, maka moral reading constitution ialah�. brings political morality into the heart of constitutional (Dworkin on Jimly,2014:233).

Perpu [Cipta Kerja] dalam spirit konstitusi

Terlepas dari perdebatan terpenuhi atau tidaknya kualifikasi hak ikhwal kegentingan memaksa dalam Pasal 22(1) UUD 1945, secara subjektif, paling tidak bagi pemerintah, terbitnya Perpu 2/2022 telah sesuai pula dengan syarat nominal yang ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, bahkan tidak pula menyimpangi kehendak Putusan MK Nomor 91/PUU- XVIII/2020. Sebab putusan terakhir, menurut pemerintah (Kompas, 41/2023), bukan perkara substantifnya yang inconstitutional conditionally, hanya prosedur belaka, jadi secara substantif, tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Putusan 138/PUU-VII/2009 (3.8;11) menyebutkan bahwa Pasal 22 UUD 1945 substansinya mengatur:

  1. Pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membuat peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
  2. Kewenangan tersebut hanya dapat digunakan apabila dalam keadaan kegentingan yang memaksa;
  3. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut harus mendapatkan persetujuan dari DPR pada persidangan berikutnya.

Sehingga secara objektif agar tidak terjadi interpretasi subjektivitas yang lebih mengemuka, Mahkamah memberikan panduan bahwa Perpu hanya boleh diterbitkan Presiden apabila terpenuhinya tiga syarat kegentingan yang memaksa (Putusan 138/PUU-VII/2009;19), yaitu:

  1. adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
  2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
  3. kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;

Makna kegentingan memaksa dalam Pasal 22(1) UUD 1945 oleh Mahkamah diartikan lebih luas dari sekedar keadaan bahaya yang ditetapkan Presiden sebagaimana diatur Pasal 12 UUD 1945.

Berbeda dengan interpretasi Pasal 22(1) UUD 1945 yang dilakukan lewat mekanisme judicial aktivitism, makna keadaan bahaya diterjemahkan oleh Undang-undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Pencabutan "Regeling Po De Staat Van Oorlog En Beleg" dan Penetapan "Keadaan

Bahaya", bahwa: (Pasal 1(1)) Seluruh wilayah atau tiap-tiap bagian wilayah Indonesia dapat dinyatakan dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat atau keadaan perang, oleh Presiden atas keputusan Dewan Menteri, apabila:

  1. keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
  1. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Indonesia dengan cara apapun juga.

Artinya, karena pembentukan undang-undang dalam keadaan normal tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, maka keadaan bahaya sebagaimana dimaksud Pasal 1(1) UU 75/1957 hanya salah satu keadaan yang menegasikan prosedural legislasi tersebut, masih terdapat keadaan lainnya yang dapat diketagorikan sebagai penyebab terciptanya kegentingan memaksa sebagaimana dimaksud Pasal 22(1) UUD 1945.

Terkait subjektivitas Presiden dalam pembentukan Perpu, Putusan Mahkamah Nomor 138/ PUU-VII/2009 (2009;20):�.dengan disebutnya �Presiden berhak� terkesan bahwa pembuatan Perpu menjadi sangat subjektif karena menjadi hak dan tergantung sepenuhnya kepada Presiden.

Pembuatan Perpu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden, namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa.

Dalam kasus tertentu dimana kebutuhan akan Undang-Undang sangatlah mendesak untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan yang sangat penting yang dirasakan oleh seluruh bangsa, hak Presiden untuk menetapkan Perpu bahkan dapat menjadi amanat kepada Presiden untuk menetapkan Perpu sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negara;

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, penerbitan Perpu, bagi pemerintah adalah solusi jangka pendek yang diharapkan akan mendukung kebijakan secara permanen yang melahirkan status hukum baru, hubungan hukum baru, serta akibat hukum baru, dan yang berhak menilai terpenuhi atau tidaknya syarat objektif yang dimaksud Mahkamah adalah sidang paripurna DPR pada kesempatan pertama setelah Perpu itu ditetapkan.

Rule of law terkait Perpu 2/2022 diatur dalam Pasal 53 Undang-undang 12/2011 jo UU 13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa:

(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.

(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.

(3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.

(5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.

(6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku, DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

(7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

(8) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama.

Pasal 53 UU P3 mengisyaratkan bahwa DPR yang kemudian menguji terpenuhi atau tidak terpenuhinya kualifikasi keadaan genting yang dimaksud dalam Pasal 22(1) UUD 1945 terhadap Perpu Cipa Kerja. Itu artinya, sepanjang Perpu itu belum dicabut berdasarkan prosedur Pasal 53 UU P3, maka segala aturan hukum, hubungan hukum dan akibat hukum yang terjadi sebagai akibat pemberlakuan Perpu Cipta Kerja adalah sah.

Pemberian persetujuan atau menolak dilaksanakan DPR dalam rapat paripurna, itu artinya, pembahasan pada tingkat I yang mendengarkan penjelasan pengusul RUU tentang Penetapan Perpu Cipta Kerja untuk menjadi undang-undang telah dilaksanakan terlebih dahulu, artinya, proses keterlibatan publik secara bermakna (meaningfull partisipation) sudah seharusnya dilibatkan sejak proses tahap ini, termasuk kemudian adanya mini pendapat (pandangan) dari peserta rapat dalam pembahasan tingkat I tersebut.

Kondisi inilah yang dalam pendekatan political morallity dimaknai bukan sekedar mengambil keputusan melalui voting dalam memberikan persetujuan ataupun penolakan terhadap status Perpu 2/2022 tersebut.

Political morality dalam perubahan UU Cipta Kerja itu yang kemudian dijawab dengan terbitnya Perpu 2/2022 sesungguhnya dapat ditarik dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (2020;413).

�bahwa pilihan Mahkamah untuk menentukan UU 11/2020 dinyatakan secara inkonstitusional secara bersyarat tersebut,�. Mahkamah memberikan kesempatan kepada pembentuk undang-undang untuk memperbaiki UU 11/2020 berdasarkan tata cara pembentukan undang-undang yang memenuhi cara dan metode yang pasti, baku dan standar di dalam membentuk undang-undang omnibus law yang juga harus tunduk dengan keterpenuhan syarat asas-asas pembentukan undang-undang yang telah ditentukan.

Dengan demikian, dalam pandangan moral konstitusi, lahirnya Perpu 2/2022 dapat dikategorikan sebagai tindakan pemerintah yang tidak menghargai konstitusi itu sendiri sebagai living constitution. Problemnya kemudian, karena moralitas itu menuntut serba kesempurnaan, serba ideal dan berada (dan menggunakan bahasa penduduk) di langit, mungkin (pula) langitnya lapis ketujuh pula, maka manusia sebagai mahluk bumi terpapar pula batas kemampuan menjadikannya sebagai bahasa bumi, apatah lagi, tidak ada sanksi hukum yang akan dijatuhkan karena tidak memperdulikan putusan MK, dan mengikutinyapun belum tentu mendapat untung, ditambah lagi, putusan peradilan (MK) yang final and binding tersebut, nyatanya, dalam teori sumber hukum yang biasa kita kenal dengan yurisfrudensi, dan pembelajaran kita di lingkungan Fakultas Hukum, yurisprudensi tidak bersifat mutlak mengikatnya, maka menjadi wajar jika adressat putusan Mahkamah tidak melaksanakan apa yang menjadi amar putusan, toh hukumannya hanya cemoohan saja.

Padahal, derajat tertinggi manusia yang taat hukum adalah karena alasan moralnya memang menghendaki demikian (Bagir Manan), termasuk taat pada putusan lembaga peradilan yang menginterpretasikan hukum tertinggi, dan interpretasinya MK adalah satu-satunya yang mengikat secara hukum.

Simpulan

Praktek konstitusi (constitutional practice) pada akhirnya mendorong penyempurnaan lubang (loopholes) konstitusi tertulis melalui constitutional convention, dan bisa jadi terbitnya Perpu 2/2022 akan menjadi preseden yang di-konvensionsi-kan pemerintah manakala menemukan putusan serupa Mahkamah, dan itu bukan berita baik bagi masa depan negara hukum yang demokratis.

Lebih dari itu, pengantar diskusi ini sampai pada satu pertanyaan akhir, apakah Perpu 2/2022 sudah ditetapkan dalam persidangan berikutnya (rapat paripurna) DPR?…. jika jawabannya belum, maka apa yang kita diskusikan ini sudah tidak ada lagi objeknya.(#)

(Bandar Lampung, 18 Maret 2023,� Disampaikan Dalam Acara Semnas-Mubes IKA FH Unila)