Pendahuluan
Omnibus Law mulai banyak diperbincangkan oleh masyarakat Indoensia pasca disebutkan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada sekitar akhir tahun 2019. Secara terminologi, omnibus berasal dari Bahasa Latin yang berarti �untuk semuanya�. Sementara, dari segi hukum, Omnibus Law adalah satu undang-undang yang mengatur banyak hal atau mencakup banyak aturan di dalamnya.
Dengan menggunakan metode Omnibus Law, Pemerintah berupaya untuk membentuk suatu peraturan hukum yang dapat mengubah sekian banyak aturan yang telah ada sebelumnya, dimana untuk menunjang keberlangsungan iklim investasi di Indonesia, kemudian dipersiapkan suatu Rancangan Undang-Undang dengan metode Omnibus Law yaitu Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang diajukan Pemerintah kepada DPR RI kemudian disahkan oleh DPR RI pada tanggal 5 Oktober 2020 dan oleh karena pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tersebut secara serta merta langsung mengubah beberapa peraturan yang berlaku saat itu.
Pembentukan UU Cipta Kerja Dianggap Sebagai Terobosan Hukum
Lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja dianggap sebagai terobosan baru dalam sistem hukum di Indonesia, dimana dibentuk guna mengakselerasi proses pembangunan nasional, utamanya dengan memberikan kemudahan berusaha, berkembangnya investasi, sehingga mampu menyerap tenaga kerja, menciptakan keadilan, dan kesejahteraan rakyat.
Selain itu Undang-Undang Cipta Kerja digadang-gadang dapat menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja dengan memberikan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan terhadap koperasi dan UMK-M serta industri dan perdagangan nasional sebagai upaya untuk dapat menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kemajuan antardaerah dalam kesatuan ekonomi nasional.
Selanjutnya diharapkan dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja dapat menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan, serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Undang-Undang Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat
Atas pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah diajukan Judicial Review, dimana Judicial Review merupakan konsekuensi logis atas berbagai kontroversi dalam UU Cipta Kerja, baik dari segi materiil dalam substansinya, maupun dari segi formil dalam proses pembentukannya.
Pengujian atas Undang-Undang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar 1945 telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja cacat secara formil dan memutus bahwa status Undang-Undang Cipta Kerja adalah inkonstitusional bersyarat.
Tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni Asas Keterbukaan, maka Mahkamah Konstitusi berpendapat proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga dinyatakan cacat formil.
Pokok Amar Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020
- Menyatakan pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai �tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan�;
- Menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
- Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen;
- Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali;
- Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Cipta Kerja;
Urgensi Lahirnya Perpu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja
Kurang lebih 1 (satu) tahun sejak UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja, dimana Penerbitan Perppu Cipta Kerja terlihat sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam memahami subtansi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi A quo.
Melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah Konstitusi telah memberikan waktu paling lama 2 (dua) tahun untuk memperbaiki UU Cipta Kerja, Mahkamah Konstitusi memerintahkan pembuat undang-undang untuk memperbaiki proses pembuatan aturan dengan melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation). Namun, UU Cipta Kerja justru ditransformasi ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang lain melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perbuatan Pemerintah tersebut telah mendobrak semua upaya yang seharusnya dilakukan pemerintah dan lebih jauh lagi telah mengunci pintu partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU Cipta Kerja yang telah diamanatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi.
Seharusnya masih ada waktu sampai dengan 25 November 2023 untuk memperbaiki UU Cipta Kerja, akan tetapi penerbitan Perpu Cipta Kerja dapat dinilai menjadi suatu kebijakan Pemerintah yang sangat tergesa-gesa.
Jika dinilai secara subjektif, memang dapat menjadi alasan pembenar dengan hak prerogatif yang dimilikinya, Presiden dapat menerbitkan Perppu, akan tetapi dalam hal penerbitan Perppu harus didasari oleh adanya kegentingan yang memaksa.
Jika dikarenakan alasan ada kegentingan memaksa, mengapa Perpu Cipta Kerja baru diterbitkan per tanggal 30 Desember 2022?, bukannya diterbitkan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 25 November 2021.
Pasal 22 (1) UUD NRI 19453 mengamanatkan bahwa �Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.�, sejalan dengan bunyi Pasal tersebut, Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila:
- adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
- Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
- kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Pemerintah berdalih bahwa latar belakang diterbitkannya Perppu Cipta Kerja adalah mengenai kebutuhan mendesak untuk mengisi kekosongan hukum dalam menghadapi ketidakpastian kondisi ekonomi global yang berdampak pada inflasi kenaikan harga pangan yang sudah dirasakan Indonesia. Padahal, secara de facto tidaklah terjadi kekosongan hukum. Karena Putusan Mahkamah Konstitusi dengan tegas menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku, di samping itu masih ada sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya yang masih relevan. Sehingga alasan mendesak untuk mengisi kekosongan hukum tidak dapat dibenarkan mengingat Undang-Undang Cipta Kerja masih berlaku sampai dengan tanggal 25 November 2023.
Perpu Cipta Kerja Tidak Kunjung Disahkan DPR
Di sisi lain, Perppu Cipta Kerja yang diterbitkan pada tanggal 30 Desember 2022 sampai saat ini belum disahkan oleh DPR untuk menjadi Undang-Undang, jika mengacu pada ketentuan Pasal 22 Ayat (2) UUD NRI 1945 mengatur bahwa Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, selanjutnya diketahui masa persidangan DPR yang terdekat dari penerbitan Perpu tersebut adalah Masa Persidangan III Tahun Sidang 2022-2023 yang berlangsung pada 10 Januari sampai dengan 16 Februari 2023. Dengan tidak adanya pengesahan pada sidang tersebut, maka ketentuan Pasal 22 ayat (3) UUD NRI 1945 harusnya dapat diberlakukan atas Perppu tersebut dimana konsekuensi hukumnya adalah Pencabutan terhadap Perppu tersebut.
Kesimpulan
Alasan kegentingan memaksa yang digunakan Pemerintah dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja sungguh tidak rasional, dimana Pemerintah berdalih latar belakang diterbitkannya Perppu Cipta Kerja adalah mengenai kebutuhan mendesak untuk mengisi kekosongan hukum dalam menghadapi ketidakpastian kondisi ekonomi global yang berdampak pada inflasi kenaikan harga pangan yang sudah dirasakan Indonesia.
Akan tetapi hal tersebut berbanding terbalik dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, dimana UU Cipta Kerja masih dianggap berlaku dengan diberikan waktu 2 (dua) tahun untuk perbaikan, jika telah lewat waktu 2 (dua) tahun tidak juga dilakukan perbaikan maka secara hukum peraturan apa yang telah diubah melalui UU Cipta Kerja kembali berlaku.
Sehingga TIDAK ADA URGENSI mengenai kekosongan hukum yang dapat menjadi alasan pembenar atas penerbitan Perppu Cipta Kerja.
Selain itu, dengan tidak disahkannya Perppu Cipta Kerja oleh DPR pada Masa Sidang III Tahun Sidang 2022-2023 yang berlangsung pada 10 Januari sampai dengan 16 Februari 2023, maka seharusnya Pemerintah wajib mencabut Perppu Cipta Kerja tersebut. (#)
Bandar Lampung, 18 Maret 2023,� Disampaikan Dalam Acara Semnas-Mubes IKA FH Unila