SAYA ini termasuk produk gaptek alias gagap tekhnologi. Sejak era media sosial (medsos) booming, seperti Facebook, Twitter atau lainnya saya cuek. Saya anggap semua tiada gunanya buat menunjang aktifitas dan kegiatan saya. Baru beberapa bulan ini saya ikut-ikutan medsos. Itupun terbatas.

Tapi jujur, kini saya merasa begitu pentingnya medsos. Sampai-sampai jika bertemu �penciptanya� saya ingin mencium tangannya. Akan saya traktir, ajak ngopi bareng, atau belikan buah-tangan guna mengkhaturkan terima-kasih. Mengapa ? Karenanya medsos ini yang �menyelamatkan� muka saya.

Ceritanya saat koran ini mengangkat isu atau bisa juga disebut fakta ketidakberesan penggunaan dana desa senilai Rp5 miliar lebih di Kabupaten Tulang Barat Barat (Tubaba). Dana desa itu dikelola oleh Chaerullah Ahmad, adik kandung Bupati setempat, Umar Ahmad lewat Badan Usaha Milik Tiyuh (BUMT) melalui program ternak Ayam Kampung Unggulan �MANO-Q�. Namun usaha ini gagal dan berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Seperti biasa, setelah selesai proses editing dan lainnya, koran cetak siap edar. Hari pertama, aman saja, sekitar 100 explembar koran masih beredar di kabupaten yang memiliki tagline Ragem Say Mangi Waway. Tapi hari kedua dan ketiga saya dibuat kaget. Koran saya hilang dari peredaran. Saya dapat telphone dari wartawan disana. Dia protes stoknya tidak terkirim selama dua hari.

Spontan darah saya naik, meskipun tentunya saya usahakan agar tidak marah atau meledak-ledak. Sejak awal terbit, saya sudah berkomitmen koran ini ada buat saya bahagia. Bukan justru menyiksa atau menyita perhatian saya hingga melupakan keluarga misalnya.

Langsung saya telphone, bertanya pada staf mengapa koran kita tidak sampai di Kabupaten Tubaba. Yang buat saya kaget, jawaban dua staf ini sama. Mereka berkata koran sudah dikirim.

Lho jadi nyangkut kemana ? Cek punya cek, koran saya ada yang �memborong� begitu sampai sehingga tidak menyebar. Sayapun senang. Alangkah bahagianya jika ini terjadi setiap hari. Walau tidak untung minimal saya tidak rugi. Draw saja jika koran saya laku.
Tapi usut punya usut, diborongnya koran ini karena ada motif lain. Ada udang dibalik batu.

Agar kasus atau isu yang saya angkat tidak sampai pesannya ke masyarakat di sana.
Nah disinilah mengapa saya perlu berterimakasih dan terselamatkan oleh medsos. Medsos membuat eksistensi saya ada. Dia memberi kabar bahwa saya masih ada. Buktinya ribuan pasang mata yang membaca dan melihat berita ini. Suatu rekor yang membuat saya tersenyum. Belum lagi membaca ratusan caci-maki dan pujian yang masuk bersamaaan. Keduanya membuat energi saya bertambah guna menyampaikan informasi senyata-nyatanya.

Jujur saja, saya tidak peduli dia adik bupati. Atau andainya, adik Joko Widodo sekalipun, pasti akan saya angkat isu dan faktanya. Saya pajang berita dan fotonya jika memang dia keliru. Sikap ini saya ambil lantaran saya percaya bahwa DIATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT.

Prinsip saya sederhana. Tidak boleh ada seseorang yang mengaku dan merasa lebih hebat atau lebih mulia dari orang lain. Sehingga bisa mengekang kebebasan berekspresi siapapun. Sebab Tuhan YME, yang maha adil dan lagi maha pemurah, menciptakan kita dari zat yang sama.

Jadi untuk yang memborong koran saya tadi, sudahilah aksi ini. Karena percuma saja, masih ada medsos yang kini bisa menolong saya. Bahkan kini saya mulai berpikir. Bagaimana jika koran cetak yang ada, saya perintahkan didistribusikan seluruhnya ke Kabupaten Tubaba. Toh tak ada yang bisa melarangnya, karena ini koran saya.(wassalam)