SIKAP pemarah sebenarnya termasuk manusiawi. Dia merupakan fitrah sebagai manusia. Meskipun ini bisa dikategorikan sifat tercela.
Akan sangat wajar, rasa marah muncul jika harga diri kita di hinakan. Anggota keluarga di lecehkan. Kehormatan istri dan keluarga dinistakan. Agidah disepelekan.
Kalau memang ini yang terjadi, mungkin wajib hukumnya bagi kita semua untuk marah dan tampil berani. Sebab jika tidak, maka hilanglah apa yang disebut harga diri. Dan orang yang kehilangan harga diri, kadar karatnya sama dengan makhluk mati.
Namun kalau mengumbar kemarahan untuk hal yang sifatnya remeh-remeh, ya nanti dulu. Marah karena keinginan dihalangi. Marah karena diserobot saat mengantri. Marah karena pendapat atau nasehat tak dihargai.
Mengapa ? Karena disini sebenarnya ujian kita bersosialisasi. Ujian menjalin silaturahmi. Ujian mempraktekan nilai toleransi dan saling menghargai. Nilai bisa memahami. Ujian mencoba pasrah berserah diri dengan mengedepankan prasangka baik terhadap siapapun.
Santun dan terbuka pada nasehat orang lain, sebenarnya akan menghindari diri dari sifat pemarah. Pemarah akan di sulut sifat angkuh dan takabur.
Allah SWT tidak suka sifat pemarah. Karena sering marah merupakan sifat dan perbuatan setan. Bahkan dalam salahsatu hadits Rasullulah pernah di Tanya: �Ya Rasulullah SAW, amal apa yang paling utama? Yang �dijawab �Jangan marah!��Jawaban ini diulanginya hingga tiga kali.
Jadi kalau misalnya ada pemimpin atau calon pemimpin di Lampung yang marah-marah saat berdiskusi misalnya, sudah selayaknya yang bersangkutan dikasihani. Jangan sekali-kali dibenci. Sekali lagi jangan.
Dia harus didekati dengan kelembutan. Dia harus diberi ketauladanan soal akhlak. Dimana sikap lemah lembut, kasih sayang, tawadhu dan menghargai siapa pun sebenarnya lebih dapat menjadi solusi mengatasi semua permasalahan. Bahwa kearifan lebih bermanfaat dari pada kemarahan dan emosional.
Semoga di Lampung, pemimpin yang pemarah seperti yang disebutkan diatas tidak pernah ada. Kalaupun ada, baiknya kita berdoa agar pemimpin itu dapat diberi hidayah untuk berintropeksi diri menyadari �semua kekeliruan serta mempunyai rasa malu. Malu pada diri sendiri, pada orang lain, dan malu kepada Allah SWT.
Akhir kata �Orang yang kuat itu bukanlah karena bergulat, tetapi orang yang kuat itu ialah yang dapat menguasai diri saat marah.� (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban) (wassalam)