GROUP Whatsapp dimana saya tergabung didalamnya, beberapa hari ini dipenuhi kiriman link berita kelanjutan kasus dugaan pengeroyokan yang menimpa nakes Puskesmas Kedaton. Ada tiga tersangka yang sudah ditetapkan oleh penyidik Polresta Bandarlampung. Bahkan kini telah ditahan.
Ada pro-kontra terjadi terkait penanganan perkara ini. Bisa dikatakan heboh. Hingga menyeret macam-macam profesi. Sampai walikota, politisi, akademisi, advokat, dan masih ada lagi lainnya ikut bersuara. Mengalahkan isu jika Provinsi Lampung merupakan salahsatu provinsi yang tingkat vaksinasi terendah, sementara tingkat angka kematiannya tertinggi.
Jujur, saya tak ingin berdebat soal hukum formal yang menjadi alasan penetapan tersangka atau dilakukannya penahanan. Rasanya �sudah benar� apa yang dilakukan penyidik. Apalagi secara tersirat telah muncul pengakuan �bersalah�. Ini seiring ada tangisan permohonan maaf yang disampaikan salahsatu orangtua (ibunda) dari tersangka. Karenanya rasanya menjadi tak penting lagi membahas apapun pasal demi pasal yang disematkan pada tersangka.
Namun saya ingin mencoba mengutip tulisan begawan Emha Ainun Najib. Dimana hukum normal harusnya diterapkan dalam situasi yang normal. Yakni hukum yang logis dan realistis. Hukum yang tidak hanya memahami dirinya sendiri. Tapi juga mengapresiasi berbagai kondisi dimana dia diterapkan. Menurut Caknun �panggilan akrabnya�, ada tingkat dimana hukum atau konstitusi tidak bisa mengatasi masalah.� Sehingga memerlukan bantuan etika, moral, budaya dan nilai lain yang faktual dalam kehidupan manusia.
Kembali keberita pemukulan nakes diatas. Kita semua tau yang melatarbelakangi mengapa peristiwa terjadi, meski sama sekali tidak bisa dibenarkan. Diantaranya karena rasa kepanikan. Lantaran mencari tabung oksigen untuk salahsatu orangtua tersangka yang waktu itu lagi �meregang nyawa�. Rasa kepanikan itu berbuah rasa keputusasaan, kemarahan, dan �sumbu pendek�. Tak mampu lagi berpikir panjang.
Semua mengalir diluar logika. Yang berujung peristiwa penganiayaan yang sekali lagi tidak dapat dibenarkan apapun alasannya, demi untuk mendapatkan tabung oksigen. Dan yang lebih miris sikap �heroik� ini ternyata terkesan terlambat dan tak ada gunanya. Mengingat sang orangtua pun pada akhirnya tetap harus dipanggil sang Maha Kuasa.
Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Kita yang ada diluar, apapun itu profesinya, mungkin hanya bisa bersikap pro-kontra. Ada yang mendukung dilakukan penegakan hukum. Biar ada efek jera salahsatu misinya. Atau misi lain yang saya tidak tahu.
Terus ada juga yang bersifat sebaliknya. Cukuplah dilakukan restorative justice atau keadilan restoratif dalam penyelesaian kasus ini. Dimana hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum. Sekali lagi menjadi langkah terakhir.
Saya pun mencoba memahami. Menjadi polisi tidaklah mudah. Karenanya biarkan mereka bekerja sebagaimana mestinya. Tanpa harus ada kesan tekanan dan intimidasi. Tentunya dengan mempertimbangkan berbagai hal. Adanya baiknya sekedar saran, diantaranya dengan memperhatikan poin-poin yang disampaikan sang begawan Emha Ainun Najib diatas.
Dan untuk kita (sekali lagi yang ada diluar), marilah menempatkan posisi dengan mendengarkan suara hati masing-masing. Banyak pertanyaan disana yang bisa kita rasakan. Masih layakkah hukuman bagi ketiga tersangka? Pantaskah ketiga tersangka tetap hidup dibalik jeruji besi ? Mengingat kini ada seorang ibu yang baru bersedih kehilangan sang suami. Namun kini harus kembali �meratap� karena harus merelakan dan merasakan �kehilangan� sang buah hati lantaran dibui.
Dan apapun suara hati kita itu, tentunya ada waktunya harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT, Tuhan YME. DIA maha tahu, kita pilih empati atau cacimaki. (wassalam)