Beberapa hari ini banyak media online memberitakan tentang surat Ketua Ombudsman RI (ORI) Prof. Amzulian Rifai, SH, LLM, Ph.D kepada Kajati Lampung yang meminta penjelasan tertulis mengenai tindak lanjut atas laporan Yurni Atmaja, dosen Unila terhadap kasus dugaan korupsi BR dan Dir, dosen dan pegawai Unila.

Surat ini agak aneh, setelah kasus ini lama tenggelam dan telah ada pernyataan Kajati Lampung bahwa perkara ini bukan tindak pidana, tiba-tiba muncul surat yang dibuat ketua ORI, dimana seyogianya untuk menangani perkara-perkara mal-administrasi ini dilakukan oleh ORI perwakilan Lampung. Pertanyaannya, apakah ORI Lampung �memble� sehingga tidak berdaya melakukan klarifikasi kepada Kajati atau memang persoalan ini menjadi perhatian serius ORI, yang kemudian mengambil alih masalah itu dari ORI Lampung.

Atau…., ini dugaan sementara saja yang infonya berdasarkan kabar angin berhembus, bahwa mulai terjadi pertarungan persiapan suksesi Rektor Unila yang akan berlangsung 2 tahun lagi, dimana BR telah mulai melangkah melakukan pendekatan-pendekatan kepada beberapa guru besar di Unila. Sehingga kasusnya diangkat lagi agar yang bersangkutan tidak terpilih menjadi rektor mengingat posisinya yang strategis saat ini sebagai WR 1 Unila.

Untuk menjadi rektor memang hak setiap orang, tetapi alangkah naifnya untuk terpilih dengan menjatuhkan lawan menggunakan masalah-masalah hukum, seperti cara-cara yang banyak dilakukan dalam pilkada. Menggunakan cara-cara hukum mungkin tepat, tetapi menyakitkan bagi yang terkena.

Apabila seseorang menjadi tersangka, kemudian diadili dan dipidana, akan rusak kehormatan dan martabatnya bukan hanya pada dirinya, tetapi juga keluarganya. Apabila dikenakan hukuman, ia akan menderita kerugian materil berupa denda dan harus mengembalikan kerugian keuangan negara yang dikorupsinya. Ia harus menjalani pidana dalam penjara selama sekian tahun dan diberhentikan dari jabatannya, serta dicopot sebagai ASN.

Oleh karena itu untuk menjadikan seseorang tersangka tidaklah mudah, dalam KUHAP ada tindakan penyelidikan dan penyidikan. Pengaturan tentang penyelidikan sangat sedikit dalam KUHAP. Berbeda tentang penyidikan yang cukup banyak pengaturannya. Perkara BR ternyata baru pada tahap penyelidikan yang kemudian menurut Kajati tidak ada tindak pidananya, sehingga perkara dihentikan.

Dalam KUHAP terhadap wewenang penyidik untuk melakukan penghentian penyidikan dengan menerbitkan SP3. Alasan-alasan dilakukannya penghentian penyidikan terdapat dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yaitu: (a) Perkara tidak terdapat cukup bukti: yaitu apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka. (b) peristiwa yang disidik oleh penyidik ternyata bukan merupakan tindak pidana. (c) penyidikan dihentikan demi hukum: Alasan ini dapat dipakai apabila ada alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara lain karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kadaluwarsa.

Yang muncul dari pernyataan Kajati bahwa perkara bukan tindak pidana, mungkin menjadi perhatian ORI, sehingga terbit surat ORI yang mempermasalahkannya. Apabila dilihat dari kronologis perkara seperti yang dilaporkan Yurni Atmaja, seyogianya diselidiki terlebih dulu, bahwa pada periodeisasi waktu yang sama BR menjabat sebagai Pembantu Dekan I FKIP dan sekaligus juga melanjutkan studi S3. Dimana apabila jabatan PD I FKIP-nya tidak sah/melawan hukum, maka perbuatan itu menimbulkan kerugian keuangan negara yang memenuhi unsur korupsi.

Kedua terkait dengan kejanggalan penerbitan surat tugas melanjutkan studi BR. Ada 2 surat dengan nomor surat, tanggal dan tanda tangan yang sama, tetapi perihalnya berbeda, yang terindikasi sebagai pemalsuan surat.

Maka, ketika unsur perbuatan melawan hukum terpenuhi, pelaku atau orang lain mendapat untung dan negara dirugikan seyogianya unsur tindak pidana korupsi terpenuhi. Tetapi kalau penyelidik �keukeh� menyatakan bukan tindak pidana, mekanisme hukumnya tidak ada. Ada lembaga praperadilan untuk mengevaluasi penghentian penyidikan/SP3, tetapi perkara ini masih dalam tahap penyelidikan yang tidak ada SP3nya.

Adanya Ombudsman memang merupakan terobosan untuk mengungkap praktek-praktek penyelesaian perkara demikian. Mudah-mudahan penjelasan Kajati dapat mengungkap persoalan perkara ini lebih terang benderang. Sambil menunggu persiapan pertarungan pemilihan Rektor yang sebenarnya waktunya masih lama, 2 tahun lagi. Tetapi sudah pada kasak-kusuk mempersiapkan diri untuk menjadi Eektor.
(*Konsultan Hukum dan Direktur Utama Garuda Institut)