JAKARTA – Komisi II DPR RI memutuskan tiga nama calon anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) periode 2022�2027, setelah melaksanakan rapat pimpinan (rapim) bersama kepala kelompok fraksi (kapoksi), Senin (13/6). Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang� menyebutkan ketiga nama tersebut, yakni I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, Muhammad Tio Aliansyah, dan Dewi Ratna Pitalolo.
“Nama-nama tersebut segera dilaporkan kepada Ketua DPR RI untuk bisa dibawa dalam jadwal agenda rapat paripurna terdekat,” kata Junimart sebagaimana dilansir ANTARANEWS.Com
Ia menyebutkan ada tujuh nama yang masuk nominasi calon anggota DKPP periode 2022 untuk dipilih Komisi II DPR RI. Setelah melalui analisis, evaluasi, dan melihat rekam jejak para nominator, kata dia, Rapat Pimpinan (Rapim) Komisi II DPR dengan para kapoksi memutuskan tiga nama calon anggota DKPP periode 2022�2027.
“Setelah melalui analisis, evaluasi, termasuk rekam jejak para nominator, rapim dengan kapoksi Komisi II DPR pada hari Senin pukul 15.30 sampai dengan selesai memutuskan tiga nama calon anggota DKPP periode 2022�2027. Kami memutuskan ketiga nama tersebut dengan musyarawah mufakat,” ujarnya.
Junimart mengatakan bahwa Komisi II DPR memiliki pertimbangan sebelum menentukan tiga nama calon anggota DKPP. Seperti integritas dan paham tentang dasar pembentukan DKPP. Selain itu, Komisi II DPR juga melihat terkait dengan pengetahuan calon anggota DKPP tentang nilai-nilai etika karena lembaga tersebut akan menangani perkara terkait dengan etika dalam perbuatan dan tindakan para penyelenggara pemilu.
Seperti diketahui nama M. Tio Aliansyah sebelumnya sempat diadukan ke DKPP lantaran diduga melanggar kode etik karena berada di pusaran kasus korupsi mantan Bupati Lampung Tengah (Lamteng) H. Mustafa, yang disebut telah menerima uang Rp1 miliar melalui Ketua KNPI Lampung, Teguh Wibowo.�Menyikapi hal itu, Ketua Gerakan Lampung Bersatu (GLB) Fariza Novita melaporkan kasus ini ke DKPP. Ia mengatakan oknum anggota KPU Lampung yang namanya muncul di persidangan, jelas melakukan pelanggaran etik, karena diduga terlibat hubungan lain dengan indikasi korupsi.
�Karena itu kita laporkan ke DKPP, karena ini merupakan pelanggaran etik sebagai komisioner dan jelas ada hubungan dengan Pilgub Lampung sebelumnya,� kata Icha sebagaimana dilansir dari website �lampung.poskota.co.id, Rabu, 28 Juli 2021.
Sebelumnya jalannya sidang kasus suap gratifikasi dengan terdakwa H. Mustafa di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang, makin menarik diikuti. Ini seiring terungkapnya beberapa nama tokoh yang disebut juga �terlibat� dalam perkara ini. Teranyar sidang hari Kamis, 22 April 2021 lalu. Ada beberapa nama beken yang disebut. Yakni anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung, M. Tio Aliansyah. Lalu ada juga tokoh pemuda yang juga pengurus elit KNPI Lampung, Teguh Wibowo.
Sebenarnya nama-nama ini pernah disebut di sidang yang digelar hari Kamis, 4 Maret 2021 lalu. Waktu itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI menghadirkan beberapa saksi. Yakni Erwin Mursali mantan Walpri Mustafa dan Midi Iswanto mantan anggota DPRD Lampung fraksi PKB. Lalu Khaidir Bujung mantan anggota DPRD Lampung fraksi PKB, Musa Zainudin mantan anggota DPR RI Komisi V Fraksi PKB, Chusnunia Chalim Wakil Gubernur Lampung dan Sri Widodo mantan Ketua DPD Hanura Lampung.
Namun nama M. Tio Aliansyah dan Teguh Wibowo yang disebut di sidang waktu itu cenderung �tenggelam�. Ini seiring adanya pengakuan saksi Musa Zainudin. Waktu itu Musa Zainudin membongkar habis dugaan transaksi uang atau yang biasa disebut �mahar politik� dalam perebutan perahu partai di kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) Lampung, 2018 lalu. Dimana Musa Zainudin mengatakan, semula DPW PKB Lampung sepakat mengusung H. Mustafa sebagai Calon Gubernur Lampung di Pilgub Lampung. Namun, belakangan ia mendapat kabar jika PKB berubah pilihan karena �bom� uang yang lebih besar. Dijelaskan Musa Zainudin, baik Chusnunia Chalim, Okta Rijaya (Sekretaris DPW PKB Lampung), Midi Iswanto dan Khaidir Bujung, sudah menyatakan Ketua Umum (Ketum) DPP PKB H. Muhaimin Iskandar, sudah setuju, jika H. Mustafa sebagai Cagub Lampung yang akan dusung PKB. Karenanya dia menandatangani surat rekomendasi.
Kemudian kenapa tiba-tiba berubah dan tidak jadi mengusung H. Mustafa?
�Itu yang saya kaget, saya dapat informasi dari Bujung, Midi, Bu� Chusnunia, jika DPP udah menentukan seperti ini. Kita tidak berdaya apa-apa. Cuma ada yang janggal, Pak Muhaimin yang setuju kok, tiba tiba berubah, saya dapat informasi sebelum uang ini ke Jakarta, Muhaimin sudah terima 40 miliar dari Sugar Group. Sugar Group itu yang katanya dukung Arinal Djunaidi Cagub. Barangkali ada lebih besar, yang ini dikorbankan. Cuma persoalan orang yang dibawah. DPW PKB dan seterusnya jadi korban oleh perilaku DPP yang tak koordinasi dengan baik,� ungkap Musa Zainudin.
�Disebutnya seperti itu, Sugar Group dan Ibu Lee. Ada yang menyampaikan kesaya. Pak Musa, sudahlah. Tak mungkin PKB dukung Mustafa. Karena Muhaimin sudah terima uang Rp 40 miliar dari Sugar Group. Katanya begitu,� lanjut Musa waktu itu.
Kini nama M. Tio Aliansyah dan Teguh Wibowo kembali disebut. Yakni oleh saksi Saifuddin, sopir mantan anggota DPRD Lampung Midi Iswanto. Dimana saksi juga mengaku mengantarkan Rp1 miliar atas perintah Midi Iswanto untuk anggota M. Tio Aliansyah. Pernyataan itu terungkap saat Saifuddin menjadi saksi. Menurut JPU KPK Taufiq Ibnugroho pernyataan Saifuddin tercatat di Berita Acara Perkara (BAP).
�Uang yang Rp1 Miliar ada diserahkan ke M. Tio Aliansyah, anggota KPU uangnya diserahkan lewat Teguh Wibowo, Ketua KNPI Lampung,� kata Taufiq.
Sebelumnya, Saifuddin mengakui diperintah Midi Iswanto mengantar Rp1 Miliar ke Jakarta untuk Wakil Gubernur Chusnunia Chalim alias Nunik dengan kode untuk Kanjeng Ratu.
Midi Iswanto sendiri di kesaksian mengungkapkan jika Ketua DPW PKB Lampung yang juga Wakil Gubernur Lampung, Chusnunia Chalim sempat �kecipratan� uang mahar sebesar Rp1.150.000.000 (satu miliar seratus lima puluh juta rupiah dari total uang Rp18 miliar yang disetorkan Mustafa sebagai �mahar� agar PKB mengusungnya sebagai Cagub Lampung. Lalu ada juga aliran dana untuk Ketua DPC PKB se-Provinsi Lampung, Dewan Suro PKB, saksi ahli dan lain-lain.
�Uang itu sebesar Rp1 miliar untuk persiapan pemilu 2019. Waktu itu saya diminta ibu Nunik menghubungi ibu Ela Siti Nuryamah, yang sekarang (anggota Fraksi PKB DPR RI),� terang Midi Iswanto.
Selanjutnya Midi mengaku berkomunikasi dengan Ela Siti Nuryamah. Oleh Ela, dia lantas diberikan nomor telpon seseorang suruhannya, untuk penyerahan uang di Jakarta. �Saya pun kemudian mengutus orang saya untuk memberikan uang. Dan uang itu sampai. Karena saya langsung lapor dengan ibu Ela,� jelasnya.
Disisi lain, Chusnunia Chalim membantah pernyataan saksi Musa Zainudin dan Midi Iswanto. Nunik dengan tegas membantah tidak pernah menerima uang sebesar Rp1 miliar dari saudara Midi Iswanto. Sementara yang terkait Rp150 juta, sifatnya adalah pinjaman, untuk bantuan pembangunan kantor DPC PKB Lamteng.
Disisi lain, fakta persidangan ini memantik beragam rekasi. Sebut saja, Ketua Koalisi Rakyat Lampung Untuk Pemilu Bersih (KLRUPB) Rakhmat Husein DC yang minta KPK RI, tak tebang pilih melakukan proses hukum. Ini merespon mencuatnya beberapa nama yang diduga �terlibat� di kasus suap gratifikasi dengan terdakwa H. Mustafa.
�KPK jangan tebang pilih. Tidak boleh ragu ragu. Nama-nama yang disebut harus diperiksa semua. Publik jangan dikecewakan. Soal korupsi ini soal keadilan bagi rakyat.�Jika mereka sudah diperiksa lalu� mememuhi dua unsur, ya harus ditingkatkan statusnya,� tegasnya.
Menurut Rakhmat Husein, kasus korupsi adalah pandemi paling berbahaya di Indonesia. Penyakit kronis yang merusak mental dan masa depan rakyat Indonesia.
�Makanya KPK tidak perlu ragu, lambat, lelet, dan tutup mata dalam persidangan Mustafa ketika di sebut beberapa nama yang diindikasi menerima suap atau aliran dana. JPU KPK tentu tidak sembarangan memanggil saksi karena JPU sangat yakin bahwa saksi yang dipanggil itu mengetahui perkara yang di sidangkan termasuk ketika saksi menyebut nama yang terindikasi menerima aliran dana.�Saksi itu disumpah dan dengan posisinya tentu saksi lebih memilih jujur ketimbang merekayasa keterangan, dan keterangan saksi itu juga sejalan dengan alat bukti, barang bukti, dan kronologis perkara yang di sidangkan. Untuk itu publik Lampung menunggu keberanian KPK mengadili dan menahan siapapun yang disebut dalam persidangan dan terbukti menerima uang suap dalam kapasitas mereka,� tandasnya.
Lalu ada juga tanggapan M. Alzier Dianis Thabranie, tokoh masyarakat, yang juga Mustasyar Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW-NU) Provinsi Lampung. �Saya berani menyebut ini sindikat money politik, kasihan jika hanya saudara Mustafa yang dikorbankan,� tegas Alzier.
Hal sama disampaikan Lembaga Transformasi Hukum Indonesia (THI) yang mendesak KPK RI membongkar tuntas kasus suap gratifikasi dengan terdakwa Mustafa. Pasalnya banyak nama tokoh di Lampung yang disebut di persidangan lantaran diduga terlibat pusaran kasus.
�KPK sudah semestinya mengusut nama-nama yang disebut para saksi di persidangan. Sebab semua warga negara statusnya sama dimata hukum. Tidak boleh ada warga negara yang terkesan diistimewakan. Misalnya dengan tidak dipanggil untuk hadir dipersidangan,� tegas Wiliyus Prayietno, S.H., M.H., advokat yang juga Ketua Lembaga THI.
Terlebih untuk nama M. Tio Aliansyah yang merupakan komisioner KPU Lampung. Wiliyus mengaku heran, mengapa nama yang bersangkutan disebut terkait dugaan dana �mahar politik� dari Mustafa untuk pencalonannya sebagai calon Gubernur, kepada DPW PKB Lampung.
�Anggota KPU itu sepengetahuan saya harus netral dan tidak terlibat dalam politik praktis. Misalnya menjadi simpatisan partai tertentu. Tapi mengapa nama M. Tio Aliansyah turut disebut. Untuk itu, ini sudah menjadi kewajiban KPK, ditambah lagi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu� (DKPP) RI agar turun tangan melakukan investigasi dan menggelar sidang etik klarifikasi. Bila memang tidak terbukti, maka nama baiknya harus dipulihkan. Begitu juga sebaliknya andai terbukti tentu ada konsekuensi hukum yang harus diterima. Ini demi menjaga marwah lenmbaga KPU sebagai penyelenggara pemilu,� tambahnya.
Pernyataan sama dikatakan LSM Gerakan Lampung Bersatu (GLB) dan Forum Wartawan Hukum (Forwakum) Lampung. Menurut Ketua GLB Fariza Novita alias Ica sebagaimana dilansir website sinarlampung,co., kode etik penyelenggara pemilu suatu kesatuan asas moral, etika, dan filosofi yang jadi pedoman perilaku penyelenggara pemilu. Itu bisa berupa kewajiban atau larangan, tindakan atau ucapan yang patut atau tidak patut dilakukan penyelenggara pemilu.
�Penyelenggara Pemilu, mulai dari KPU RI, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota hingga badan ad hoc yakni Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) merupakan satu profesi seperti halnya hakim, anggota DPR, dokter dan profesi lain. Karena sudah jadi satu profesi, maka penyelenggara pemilu memiliki prinsip etika yang lebih diatur di kode etik,� katanya.
Artinya, sudah jelas dan terang, oknum anggota KPU yang namanya muncul di persidangan jelas melakukan pelanggaran etik, terlibat hubungan lain dengan indikasi korupsi. �Karena itu kita sedang siapkan laporan ke DKPP berupa pelanggaran etik sebagai komisioner dan jelas ada hubungan dengan Pilgub Lampung sebelumnya,� kata Icha.
Ketua Forwakum Lampung Aan Ansyori juga meminta DKPP dan KPU Pusat segera melakukan proses internal terkait pelanggaran etik komisioner.
�Sebenarnya KPU Pusat sudah bisa melakukan tindakan karena sudah ramai menjadi konsumsi publik, dan sorotan media. Termasuk DKPP, dan kita juga akan siapkan laporan ke DKPP,� tegasnya.
Lalu dari Lembaga Aspirasi Masyarakat dan Analisa Pembangunan (Lambang). Ketua Lambang, Antoni Wijaya mengatakan Lambang adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki sertifikasi pemantau Pemilu dan Pilkada di Provinsi Lampung. LSM ini telah beberapa kali mengadukan penyelenggara Pemilu ke DKPP.
�Kita akan mengadukan M. Tio Aliansyah, anggota KPU Provinsi Lampung ke DKPP, karena diduga menerima suap dan gratifikasi Rp1 miliar dari mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa, jelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2018 lalu,� kata Antoni Wijaya.
Kemudian desakan terhadap KPK RI agar mengusut soal dugaan mafia �mahar politik� di Pilgub Lampung 2018 datang dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Lembaga Investigasi Negara (LIN) Provinsi Lampung.
�DPD LIN Provinsi Lampung sangat mendukung dan siap memback�up KPK untuk memerangi dan mengusut adanya dugaan mafia money politik Pilgub Lampung 2018, sebagaimana terungkap di persidangan kasus suap gratifikasi dengan terdakwa H. Mustafa, mantan Bupati Lampung Tengah (Lamteng),� tegas Ketua DPD LIN Provinsi Lampung, Dermawan Agung, S.H. (red./net)