JAKARTA – Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung didakwa merugikan negara sekitar Rp 4,5 triliun. Ini terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Menurut jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004. Keuntungan yang diperoleh Sjamsul dinilai sebagai kerugian negara.
“Terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum,” ujar jaksa KPK Haerudin saat membaca surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/5/2018).
BLBI Menurut jaksa, Syafruddin selaku Kepala BPPN diduga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Selain itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham. Padahal, menurut jaksa, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak, yang akan diserahkan kepada BPPN.
Kesalahan itu membuat seolah-olah sebagai piutang yang lancar (misrepresentasi). Awalnya, pada 4 April 1998, BPPN mengeluarkan SK yang menyatakan BDNI sebagai Bank Take Over. Selanjutnya, pada 21 Agustus 1998, BDNI ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi yang pengelolaannya dilakukan oleh tim yang ditunjuk BPPN dan didampingi Group Head Bank Restrukturisasi.
Kemudian, BDNI mendapatkan dana BLBI dari BPPN. Bantuan itu berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet. BPPN melalui Tim Aset Manajemen Investasi (AMI) dibantu oleh financial advisor yaitu J.P Morgan, Lehman Brothers, PT Danareksa dan PT Bahana kemudian membuat neraca penutupan BDNI dan melakukan negosiasi dengan pemegang saham pengendali Sjamsul Nursalim dalam rangka menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS). Setelah perhitungan, jumlah kewajiban Sjamsul sebesar Rp 47,2 triliun yang dikurangi nilai aset sebesar Rp 18,8 triliun. Maka, besar JKPS terhadap Sjamsul sejumlah Rp28.4 triliun.
Dalam kesepakatan, Sjamsul akan membayar secara tunai sebesar Rp1 triliun dan penyerahan aset senilai Rp 27,4 triliun kepada perusahaan yang dibentuk oleh BPPN untuk melakukan penjualan atas aset.
Namun, setelah dilakukan audit berupa Financial Due Dilligence (FDD) oleh Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & CO (Arthur Andersen), disimpulkan bahwa kredit petambak plasma PT DCD dan PT WM atas piutang Rp 4,8 triliun kepada BDNI digolongkan sebagai kredit macet. Menurut jaksa, pada 17 Maret 2004, dilaksanakan rapat bersama antara BPPN dengan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang membahas Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Namun, Syafruddin tidak memberikan laporan rinci mengenai penyelesaian permasalahan PT DCD khususnya mengenai misrepresentasi yang dilakukan oleh Sjamsul Nursalim atas nilai utang petambak plasma PT DCD dan PT WM sebesar Rp 4,8 triliun. Kemudian, Syafruddin tidak melaporkan adanya kewajiban yang seharusnya ditanggung Sjamsul atas misrepresentasi. Syafruddin juga tidak melaporkan adanya pertemuan dengan pihak Sjamsul yang pada akhirnya merubah misrepresentasi menjadi tidak misrepresentasi.
Pada akhirnya, KKSK mengeluarkan keputusan No.01/K.KKSK/03/2004 yang isinya antara lain menyetujui pemberian bukti penyelesaian sesuai dengan perjanjian Pemegang Saham dengan BPPN, berupa pelepasan dan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Inpres 8 Tahun 2002 terhadap Sjamsul Nursalim.
Menurut jaksa, pada12 April 2004, terdakwa dan Sjamsul selaku pemegang saham yang diwakili oleh istrinya Itjih S. Nursalim, menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir No. 16 dihadapan notaris yang menyatakan bahwa pemegang saham telah melaksanakan dan menyelesaikan seluruh kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam MSAA.
Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP.(net)