BANDARLAMPUNG – Akademisi hukum pidana di Lampung menyampaikan tanggapannya terhadap respon Pemerintah Kota (Pemkot) Bandarlampung. Ini terkait pengaduan dugaan tindak pidana korupsi yang dilaporkan Lampung Corruption Watch (LCW) ke Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, beberapa hari lalu.
Sebelumnya, Pemkot Bandarlampung pada pokoknya menegaskan realisasi APBD tahun 2023 telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasilnya telah dinyatakan wajar tanpa pengecualian (WTP) yang menunjukkan bahwa tidak ditemukan pelanggaran keuangan.�
Namun, hal ini dibantah akademisi oleh Dr. (Cand) Gunsu Nurmansyah, S.H., M.H. Menurut anggota Avdokat Peradi Bandarlampung ini, predikat WTP tak menjamin penggunaan anggaran keuangan negara bebas dari potensi dugaan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan pantauannya, setidaknya sebagai contoh ada 10 kepala daerah penerima opini WTP yang menjadi tersangka di KPK. Diantaranya, Bupati Purbalingga Tasdi, Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Riau Rusli Zainal dan Gubernur Riau Annas Maamun. Lalu Bupati Bangkalan Fuad Amin, Wali Kota Tegal Ikmal Jaya, Wali Kota Blitar M Samanhudi Anwar, Bupati Tulungagung Syahri Mulyo dan Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar.
“Maka pemeriksaan intensif oleh aparat penegak hukum yaitu Kejaksaan Agung akan menjadi tolak ukur apakah terdapat unsur tindak pidana korupsi atau tidak dalam pengelolaan keuangan daerah,” ujar Gunsu, Senin, 20 Mei 2024.
Selain itu, Gunsu mengingatkan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang disampaikan pada 14 September 2017. Intinya menyatakan bahwa status WTP dalam laporan keuangan, bukan jaminan tak terjadinya korupsi.
“Ibu Menteri pernah bilang, WTP bukan berarti tidak ada korupsi. Korupsi bisa terjadi dengan modus macam-macam, ingatnya.
Dosen muda ini-pun mempertanyakan kesesuaian antara realitas lapangan dengan klaim pemerintah setempat. Ini mengingat pentingnya mengkaji lebih dalam potensi modus korupsi yang mungkin terjadi meskipun laporan keuangan memperoleh predikat WTP.
Dia meminta transparansi dan akuntabilitas lebih lanjut dari Pemkot Bandarlampung untuk memastikan bahwa penggunaan anggaran keuangan negara benar-benar bebas dari praktik korupsi yang merugikan masyarakat.
Alumni Fakultas Hukum (FH) Universitas Lampung (Unila) ini juga mengajak seluruh elemen masyarakat turut serta mengawal dan memantau penggunaan anggaran keuangan negara. Tujuannya mencegah dan memberantas praktik korupsi yang merugikan masyarakat dan negara.
�Kami percaya dengan sinergi antara pemerintah, lembaga pengawas, dan masyarakat sipil, dapat menciptakan lingkungan yang lebih transparan, akuntabel, dan bersih dari korupsi. Untuk itu kami memberi dukungan penuh kepada aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan korupsi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya daerah Lampung,” tutupnya.
Seperti diberitakan Lampung Corruption Watch (LCW), Jumat 17 Mei 2024 melaporkan Pemkot Bandarlampung dibawah pimpinan Walikota Eva Dwiana ke Kejagung RI. Pengaduan terkait dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan Pemkot Bandarlampung ini ditujukan ke Jaksa Agung Muda (JAM) Bidang Intelijen. Yakni soal penggunaan anggaran APBD Kota Bandarlampung Tahun 2023.
Disisi lain atas pengaduan tersebut, Pemkot Bandarlampung menyampaikan klarifikasi. Menurut Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Bandar Lampung M. Ramdhan, pengelolaan keuangan Pemkot�Bandarlampung tahun 2023 sudah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Hasilnya Pemkot Bandarlampung mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Karenanya terkait laporan LCW soal dugaan korupsi, lanjutnya, jika memang ada penyimpangan, harusnya bisa terungkap saat diaudit oleh auditor BPK RI.
Sebagai pelapor, Ketua LCW Juendi Leksa Utama, S.H., ternyata adalah mantan tim kuasa hukum Walikota Bandarlampung, Eva Dwiana saat Pilkada Kota Bandarlampung beberapa tahun yang lalu.
Dimana Eva Dwiana sebagai Walikota Bandarlampung Terpilih, sempat didiskualifikasi. Eva yang saat itu diusung PDI-P, NasDem dan Gerindra, meski memenangkan Pilkada Bandarlampung dengan mutlak, namun kemenangannya di gugurkan.
Pasalnya kemenangan Eva Dwiana dianggap tidak sah karena dianggap melakukan pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Karenanya hasil pilkada, dimana Eva Dwiana-Deddy Amarullah unggul dengan perolehan 249.241, dibatalkan. Bawaslu Kota Bandarlampung lalu menjatuhkan sanksi diskualifikasi pada pasangan ini dan disahkan KPU Bandarlampung.
Juendi Leksa Utama sendiri merupakan Tim Kuasa Hukum Eva Dwiana-Deddy Amarullah. �Juendi yang memiliki Gelar Adat Suttan Pembela Warga Negara ini,� terus berjuang dan mendampingi pasangan ini dengan melakukan upaya hukum ke Mahkamah Agung (MA) untuk membatalkan keputusan pembatalan pasangan calon Eva Dwiana-Deddy Amarullah.
Hasilnya MA pun akhirnya memenangkan pasangan calon Eva Dwiana dan Deddy Amarullah. Yakni MA menganulir keputusan KPU Kota Bandarlampung yang mendiskualifikasi Eva-Deddy, sehingga keduanya akhirnya dapat dilantik sebagai Walikota-Wakil Walikota Bandarlampung hingga sekarang.
�Saya saksi hidup gimana Juendi dkk capek (berjuang,red) pada waktu sengketa pilwakot,� ujar salahsatu akademisi di Bandarlampung. (rls/red)