BANDARLAMPUNG � Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang akan menggelar sidang praperadilan kasus UU ITE mantan ketua AKLI, Syamsul Arifin, Selasa (6/10). Penasehat hukum (PH) tersangka menduga banyak muatan kepentingan di kasus ini. Dimana kedua PH menduga kasus terkait SMS kliennya yang berprofesi advokat tujuh tahun lalu, untuk membungkam dua kasus besar yang tengah ditangani timnya di Lampung.

David Sihombing dan Ziggy Zeaoryzabrizkie, kedua PH Syamsul Arifin, mengatakan timnya tengah menangani aset yang nilainya ratusan miliar milik terpidana korupsi, Sugiarto Wiharjo alias Alay dan aset milik Babay Halimi di Pulau Tegal. Kedua PH heran, foto penangkapan kliennya tersebar lewat WA grup dan media siber sekitar sejam setelah penangkapan. Salahsatu foto, gambar klien berikut KTP di mobil kepolisian. “Ada apa ini, siapa yang menyebarkan begitu cepat foto-foto eksklusif itu ke media sosial dan media online?” tanya David Sihombing kepada awak media, Minggu (4/10).

Saat ini, kata David, tim kliennya, Amrullah dkk sedang menyoal kasus aset Alay yang diduga dikaburkan bahkan ada yang telah diperjualbelikan agar aset itu kembali ke Pemkab Lampung Timur. Amrullah dkk dalam Law Firm SAC & Partners yang juga tengah diperiksa kepolisian atas tuduhan pemalsuan kuasa hukum juga masih menangani perkara aset Babay Chalimi di Pulau Tegal. Soal aset Alay baru saja dilaporkan ke Mabes Polri. Sedang kasus Babay Chalimi masih bergulir di PN Tanjungkarang.

Menurut Amrullah, aset-aset Alay salah satu obyek sita eksekusi yang telah ditetapkan Sita Eksekusi No.9/Eks/2009/PN.Tk tanggal 26 Mei 2009. Dijelaskannya, pada saat Alay masih dipenjara, aset yang telah disita di penetapan No.9/Eks/2009/PN. Tk telah dialihkan.

Terkait alasan praperadilan, menurut kedua PH menilai prosedur penetapan tersangka Syamsul Arifin oleh Polda Lampung sudah cacat sejak awal, pemanggilan tak dilakukan secara patut. “Apa pretensinya menerbitkan DPO,� tanya David.

Selain David Sihombing dan Ziggy Zeaoryzabrizkie melihat banyak kejanggalan di proses menjadikan kliennya tersangka tujuh tahun lalu. “Kejanggalan proses yang ini yang harus kita koreksi lewat prapadilan,� tandasnya.

Diuraikan Ziggy, hanya dua hari pihak kepolisian mengeluarkan perintah penyidikan.�Sampai, surat panggilan pertama belum jatuh tempo, Dirreskrimsus Polda Lampung sudah kirim surat panggilan lagi. Surat Panggilan Sp.Pgl/190/III/SUBDIT-II/2013/Ditreskrimsus tanggal 25 Maret 2013 minta Syamsul hadir tanggal 28 Maret 2013.�Tapi, sebelum 28 Maret 2013, yakni 27 Maret 2013, sudah terbit surat panggilan kedua nomor Sp.Pgl/190a/III/SUBDIT-II/2013/Ditreskrimsus.

Selain itu, meski pelapor hanya melaporkan pelanggaran UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), ada penambahan pasal KUHP. Begitu juga penetapan P21 yang sudah diberikan lewat surat No. B-2271/N.8.4/Euh.1/6/2013 dari Kejati Lampung, 21 Juni 2013 juga semakin membuat tindakan polisi semakin terasa aneh. �Setelah klien kami dinyatakan kabur 18 Juli 2013 dan penyidikan selesai tapi pihak kepolisiam masih mengeluarkan perintah penggeledahan rangka penyidikan, tanpa izin Ketua PN,” kata David.

Ziggy mengatakan pihaknya belum mau masuk pokok perkara yang dituduhkan pelanggaran UU ITE, misalnya makna dari menghina, menista, atau mencemarkan nama baik. “Kita bisa berdebat panjang. Tapi, praperadilan ini, kami hanya menyoal soal kelaziman prosedur penyidikan serta pemanggilan yang terkesan sewenang-wenang,” katanya.

Ziggy khawatir jika hal semacam ini dibiarkan akan menimpa setiap orang yang dilaporkan ke kepolisian. Baru dilaporkan, langsung tersangka, katanya. “Bahaya jika hal semacam ini dibiarkan, bisa menimpa siapa saja, termasuk teman jurnalis atau aktivis penggiat demokrasi,” urainya.

Seperti diketahui terkait Pulau Tegal, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Lampung dan 11 lembaga penggiat lingkungan lainnya beberapa waktu lalu minta keseriusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menanganinya. Pasalnya meski telah dipasang larangan atau penyegelan oleh KPK, BPN, KLHK dan KKP, aktivitas penyeberangan dari dermaga pantai Marita Sari menuju Pulau Tegal Mas masih berlangsung. Direktur WALHI Lampung, Irfan Tri Musri mengatakan masih adanya aktivitas dilokasi yang jelas bermasalah atau dalam proses penyelidikan tidak dibenarkan secara hukum.

Walhi Lampung menilai reklamasi pantai oleh pengelola Pulau Tegal di Desa Sidodadi, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran sudah melanggar tiga undang-undang. Yaitu UU. No 32 tahun 2009, UU No. 1 tahun 2014 dan UU nomer 27 tahun 2007. Terkait itu, Walhi Lampung dan lembaga penggiat lingkungan mendorong proses penegakan hukum yang saat ini dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap pelanggaran lingkungan hidup oleh pengelola tempat wisata Tegal Mas di Pulau Tegal. Irfan menegaskan Pulau Tegal termasuk kawasan strategis nasional daerah latihan militer Teluk Lampung (KSN-TL-1), daerah ini tidak boleh ada reklamasi. �Lebih dari 90 persen kawasan Pulau Tegal itu (KSN-TL-1). Di daerah ini tidak boleh ada reklamasi, kalau kawasan wisata tertentu boleh,� katanya.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Walhi Lampung bersama 11 lembaga peduli lingkungan mendorong KLH�bersama Kementerian Kelautan, Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dan KPK melakukan penghentian seluruh aktivitas di Pulau Tegal Mas.

�Harus dihentikan segala aktivitas di sana dalam rangka proses hukum penyelidikan dan penyidikan. Selain itu dilakukan juga pemantauannya karena meski sudah di pasang plang pengumuman kegiatan masih berjalan. Yang tak kalah penting yaitu penegakan hukum baik pidana maupun perdata atas pelanggaran undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulai kecil dan tentang penataan ruang. Kami juga meminta dengan tegas pengelola melaksanakan kewajibannya mengembalikan fungsi kawasan pantai yang direklamasi,� tegas Irfan Tri Musri.

Selanjutnya pernyataan sikap bersama 12 lembaga penggiat lingkungan ini�akan disampaikan ke Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Mentri Kelautan dan Perikanan, Mentri Agraria dan Tata Ruang, KPK, Kapolri, Kasal, Jaksa Agung, Komisi VII DPR RI dan Eksekutif Nasional Walhi. Dua belas lembaga yang melakukan pernyataan sikap itu diantaranya adalah Walhi Lampung, LBH Bandarlampung, KBH Lampung, PBHI, Mitra Bentala, Kawan Tani, Yasadhana, Wanacala, PKBI Lampung, SP Sebay Lampung, dan Matala Lampung.

Seperti diketahui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang beberapa waktu lalu mensegel dan menghentikan operasional dermaga penyeberangan Sari Ringgung dan kawasan wisata Pulau Tegal Mas sampai semua kewajiban perizinan dan pajak dipenuhi. Penertiban bertujuan menghentikan semua pelanggaran yang mungkin terjadi di masa depan, dengan melakukan pemulihan atas apa yang telah dilakukan sebelumnya terhadap wilayah pesisir pantai, kemudian memerintahkan pengelola mengurus izin ke pemerintah kabupaten dan provinsi, serta menunaikan kewajiban membayar pajak. Penghentian ini, juga dilakukan untuk memastikan semua pemanfaatan ruang sesuai dengan Perda RZWP3K.

Sebelumnya Tim Direktorat Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan, Direktorat Penanganan Pelanggaran, Pangkalan PSDKP Jakarta, Ditjen Pengelolaan Ruang Laut, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung telah melakukan pengawasan ke Pantai Ringgung dan Pulau Tegal pada tanggal 16 -19 Maret 2019. Kemudian ditindaklanjuti lintas K/L yaitu KLHK dan KKP dengan turun ke lapangan pada 17-21 Juni 2019. Dugaan pelanggaran di Pantai Ringgung, Marita adalah pelanggaran reklamasi. Perairan Ringgung, diketahui berada di perairan Teluk Lampung bagian utara, tidak jauh dari lokasi Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL).

Bentuk dugaan pelanggaran lainnya antara lain terkait tidak memiliki izin lokasi reklamasi (pasal 4 ayat 2, Perpres 122 Tahun 2012), tidak memiliki izin lokasi sumber material reklamasi, tidak memiliki izin pelaksanaan reklamasi (pasal 4 ayat 2, Perpres 122 Tahun 2012). Lalu, perusakan ekosistem terumbu karang dan vegetasi mangrove (pasal 69 ayat (1) huruf a, UU 32 Tahun 2009), serta menguasai dan memanfaatkan sempadan pantai (Perda No. 4 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupeten Pesawaran Tahun 2011-2031.

Pembangunan dan pengelolaan tanpa izin terkait dengan Pantai Ringgung, Marita dan Pulau Tegal Mas diduga telah merugikan keuangan daerah. Sedangkan, terkait dugaan pelanggaran di Pulau Tegal Mas, tim menemukan sejumlah fakta bahwa:, penanggungjawab dari kegiatan di Pulau Tegal bermaksud menguasai seluruh pulau dan mengubah Pulau Tegal menjadi kawasan wisata yang bernama Tegal Mas. Diketahui kegiatan dilaksanakan Desember 2017 dengan melakukan pembersihan lahan memotong hampir seluruh vegetasi pantai/mangrove asosiasi di sepanjang pantai Pulau Tegal dan dilanjutkan dengan pembentukan lahan, pembangunan cottage, fasilitas wisata, reklamasi pantai, dan publikasi.

Obyek wisata Tegal Mas juga diketahui sudah beroperasi dan melayani wisatawan. �Sementara izin pengelolaan ruang laut, izin lokasi reklamasi, izin pelaksanaan reklamasi, dan Izin Lingkungan belum dimiliki oleh Tegal Mas. Selain itu cottage/villa yang dibuat sudah ditawarkan dan sudah ada transaksi jual beli cottage/villa dengan kisaran harga mencapai milyaran rupiah per unit.

Atas pemanfaatan dan pengelolaan di Pulau Tegal Mas telah terjadi dugaan pelanggaran meliputi, tidak memiliki izin lingkungan (pasal 36 Ayat (1) Jo Pasal 109, UU 32 Tahun 2009). Tidak memiliki izin pengelolaan ruang laut (pasal 16 ayat 2, UU No.1 Tahun 2014). Merusak vegetasi pantai/mangrove (pasal 69 ayat (1) huruf a, UU 32 Tahun 2009)

Lalu, Tidak memiliki izin lokasi reklamasi (pasal 4 ayat 2, Perpres 122 Tahun 2012). Tidak memiliki izin pelaksanaan reklamasi (pasal 4 ayat 2, Perpres 122 Tahun 2012). Melakukan perubahan bentang alam Pulau Tegal (pasal 69 ayat (1) huruf a, UU 32 Tahun 2009). Menguasai sempadan pantai dan melakukan jual beli atas bangunan di atasnya (Perda No. 4 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Pesawaran Tahun 2011-2031.

Dugaan Pelanggaran yang dilakukan menimbulkan dampak langsung maupun tidak langsung, berupa, merusak ekosistem terumbu karang dan padang lamun, mengganggu kestabilan daya dukung lingkungan subzona budidaya keramba jaring apung, kegiatan yang dilakukan tanpa analisa lingkungan akan menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang tak terukur. Selain itu, menurunkan integritas pemerintah dan penegak hukum di mata masyarakat, berubahnya bentang alam pantai ringgung dan pulau tegal, terbatasnya akses nelayan dan pembudidaya dll serta vegetasi pantai yang berubah menjadi lahan reklamasi.

Berikut isi plang penyegelan oleh KPK, KLHK, BPN dan KKP baik di pantai Marita Sari maupun di Pulau Tegal Mas.

Setiap orang dilarang melakukan kegiatan apapun di dalam areal ini. Areal ini dalam proses penyelidikan PPNS atas dugaan pidana;

  1. Pelanggaran pasal 98 dan 109 Undang-undang No. 32 Tahun 2019 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ancaman hukuman 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp10 miliar.
  2. Pelanggaran pasal 69 ayat (1), pasal 74 Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, hukuman 3 tahun penjara dan denda paling banyak Rp500 juta.
  3. Pelanggaran pasal 75 Jo pasal 16 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, ancaman hukuman paling lama 3 tahun penjara dan denda paling banyak Rp500 juta.
  4. Pelanggaran pidana pasal 73 ayat 1 hurul (g) Jo pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dengan ancaman hukuman paling lama 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp10 miliar.

Barang siapa dengan sengaja memutus, membuang, atau merusak penyegelan suatu benda oleh atau atas nama pengusaha umum yang berwenang atau dengan cara lain menggagalkan penutupan dengan segel, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan (pasal 232 ayat 1 KUHP).(red/net)