BANDARLAMPUNG – Penangkapan tersangka Syamsul Arifin, mantan Ketua Asosiasi Kontraktor Listrik Indonesian (AKLI) Lampung yang dilakukan oleh Ditreskrimsus Polda Lampung, 22 September 2020 berbuntut praperadilan. Beberapa pihak yakin penangkapan yang dilakukan dengan drama berlebihan ini ditunggangi kepentingan tertentu. Jika benar, maka ada lagi deretan kasus kriminalisasi yang memanfaatkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Demikian disampaikan David Sihombing, S.H dan Ziggy Zeaoryzabrizkie, S.H.,M.H, advokat atau Konsultan Hukum pada Kantor “DAVID SIHOMBING & PARTNERS yang merupakan pengacara tersangka, Syamsul Arifin.
Dijelaskan David, dalam gugatan praperadilan, diungkapkan ada beberapa kecacatan prosedur yang terjadi. “Dari laporan sampai keluar Surat Perintah Penyidikan itu hanya dua hari. Uniknya lagi, Surat Panggilan Sp.Pgl/190/III/SUBDIT-II/2013/Ditreskrimsus tertanggal 25 Maret 2013 ini meminta klien kami hadir tanggal 28 Maret 2013. Tapi tanggal 27 Maret 2013, sudah terbit Panggilan kedua nomor Sp.Pgl/190a/III/SUBDIT-II/2013/Ditreskrimsus,” ujar David Sihombing.
Menurut David, tidak umum proses sedemikian cepat terjadi, apalagi untuk delik aduan yang tergolong tindak pidana khusus yang tentunya memerlukan proses yang cukup rumit. Selain itu, penambahan pasal yang akhirnya mencampurkan pasal pidana khusus dan pidana umum juga dirasa janggal. Meski pelapor hanya melaporkan pelanggaran UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, namun kemudian ditambahkan dengan pasal-pasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
“Saksi Pelapor tidak memberikan kesaksian tentang delik yang digambarkan pasal-pasal tersebut. Itu bagaimana pembuktiannya? Artinya mereka tidak ada alat bukti untuk pasal-pasal tambahan, namun lalu sudah memberi status tersangka,” imbuh David lagi.
Penetapan P21 yang sudah diberikan melalui surat No. B-2271/N.8.4/Euh.1/6/2013 dari Kejati Lampung tanggal 21 Juni 2013 juga semakin membuat tindakan kepolisian semakin terasa mengganjal.
“Dikatakan klien kami ini kabur setelah gagal dijemput paksa tanggal 18 Juli 2013 itu, yang teman-teman media juga sempat beritakan dulu. Penyidikan sudah selesai, tapi masih mengeluarkan Perintah Penggeledahan dalam rangka penyidikan, tanpa izin Ketua Pengadilan pula. Prosedur sudah cacat sejak awal, tidak bisa kita katakan bahwa telah dilakukan pemanggilan secara patut. Lalu apa pretensinya menerbitkan DPO?”, pungkas David.
Saat ditanyakan tentang pernyataan polisi bahwa Syamsul sering mondar-mandir Jakarta – Bandarlampung, David membenarkan. “Ya klien kami ini kan memang keluarganya di Jakarta, dan juga ada kantor di Jakarta. Jika dikatakan kabur ya tidak benar, mayoritas waktunya tetap tinggal di Jl. Pattimura Bandarlampung, 950 meter jauhnya dari kantor Polda Lampung,” tutup David.
Diketahui proses praperadilan telah diterima Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang, tanggal 28 September 2020 lalu dengan nomor 09/Pid.PRA/2020/PN.Tjk. Rencananya sidang perdana, akan digelar Selasa, 6 Oktober 2020.
Berikut Isi Lengkap Gugatan Prapradilan Tersangka Syamsul Arifin :
Yang Terhormat:
Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang
Di, Jalan Wolter Monginsidi Nomor: 27, Teluk Betung Selatan,
Kota Bandar Lampung-Provinsi Lampung
Perihal: Permohonan Praperadilan
Dengan hormat!
Perkenankan, Kami, David Sihombing, S.H dan Ziggy Zeaoryzabrizkie, S.H.,M.H yakni Advokat atau Konsultan Hukum pada Kantor Hukum “DAVID SIHOMBING & PARTNERS,” yang beralamat di Jalan Basuki Rahmat, Ruko E, Depan Perumahan Dinas Kejaksaan Tinggi Lampung Komplek 17, RT 17, Kelurahan Pengajaran, Kecamatan Teluk Betung Utara, Kota Bandar Lampung – Provinsi Lampung, yang dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama SYAMSUL ARIFIN, S.H., M.H, Warga Negara Indonesia dengan umur 56 Tahun, Pekerjaan sebagai Advokat, beralamat di Jalan Pattimura Nomor 22B, Kelurahan Gunung Mas, Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kota Bandar Lampung – Provinsi Lampung, berdasarkan surat kuasa khusus yang telah ditandatangani tertanggal 29 September 2020.
Untuk selanjutnya disebut sebagai —- Pemohon Praperadilan
Dengan ini mengajukan gugatan/Permohonan Praperadilan Terhadap/Melawan Kepala Kepolisian Daerah Lampung/Penyidik Perkara Laporan Polisi Nomor: LP/84/II/2013/LPG/SPKT tertanggal 12 Februari 2013 dengan Terlapor “Syamsul Arifin” atas tidak Sahnya Penetapan Tersangka dan segala akibat hukumnya.
Untuk selanjutnya disebut sebagai —–Termohon Praperadilan
Bahwa adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut:
- KRONOLOGI:
- Bahwa Pemohon telah ditetapkan Tersangka oleh Termohon sesuai dasar Laporan Polisi Nomor: LP/84/II/2013/LPG/SPKT tertanggal 12 Februari 2013 dengan Terlapor Syamsul Arifin, dengan Pelapor bernama Napoli Situmorang;
- Bahwa sebagai Pelapor sesuai berkas ialah bernama Napoli Situmorang,atas laporan dugaan tindak pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Transaksi Elektronik atau kasus Lex Specialis/Kriminal Khusus;
- Bahwa Termohon mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (SP.Sidik) untuk kasus a quo dengan Nomor: SP.Sidik /50/II/2013/Ditreskrimsus tertanggal 15 Februari 2013; Surat tersebut ditandatangani Kasubdit II Krimsus AKBP J. David Siregar; SURAT PERINTAH PENYIDIKAN DIKELUARKAN HANYA SELISIH DUA HARI SETELAH LAPORAN POLISI;
- Bahwa sesuai Surat Perintah Penyidikan (SP.Sidik) Nomor: SP.Sidik /50/II/2013/Ditreskrimsus tertanggal 15 Februari 2013, kasus a quo disebutkan adanya dugaan tindak pidana Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berupa dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (3) Jo Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal 310 KUHP;
- Bahwa Termohon sesuai data, telah mengeluarkan Surat Panggilan I (Pertama) langsung sebagai Tersangka memanggil Pemohon sesuai surat Panggilan Nomor: Sp.Pgl/190/III/SUBDIT-II/Ditreskrimsus tertanggal 25 Maret 2013; Dalam Surat Panggilan Pertama ini, Pemohon dipanggil Termohon untuk hadir dan dimintai keterangan sebagai Tersangka pada hari Kamis tanggal 28 Maret 2013; Panggilan ini ditandatangani Wadir Krimsus atas nama AKBP Drs. Bahagia Dachi, S.H.,M.H; Tertera dalam surat panggilan tujuan pemeriksaan dalam rangka penyidikan tindak pidana meskipun isinya sudah memanggil status Tersangka;
- Bahwa kemudian, Termohon mengeluarkan surat Panggilan II (Kedua) dengan Nomor: Sp.Pgl/190a/III/SUBDIT-II/Ditreskrimsus tertanggal 27 Maret 2013 atau HANYA 2 (DUA) HARI DARI DIKELUARKANNYA SURAT PANGGILAN PERTAMA, BUKAN DUA HARI DARI JADWAL PEMERIKSAAN PERTAMA; Dalam Surat Panggilan Kedua ini, Pemohon dipanggil Termohon untuk hadir dan dimintai keterangan sebagai Tersangka pada hari Selasa tanggal 02 April 2013; Panggilan ini ditandatangani Wadir Krimsus atas nama AKBP Drs. Bahagia Dachi, S.H.,M.H; Tertera dalam surat panggilan tujuan pemeriksaan dalam rangka penyidikan tindak pidana meskipun isinya sudah memanggil status Tersangka;
- Bahwa Panggilan I dan II sebagai Tersangka, keduanya berisi permasalahan adanya dugaan tindak pidana Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berupa dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (3) jo. Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 335 KUHP; PASAL DUGAAN PIDANA DALAM PERINTAH PENYIDIKAN BERBEDA DENGAN PASAL SETELAH NAIKNYA STATUS PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA SEBAGAIMANA TERTERA DALAM PEMANGGILAN I DAN II, perbedaannya ialah Pada tahap Perintah Penyidikan menggunakan pasal 310 KUHP dan setelah naik status sebagai Tersangka menjadi menggunakan Pasal 335 KUHP;
- Bahwa berlanjut tanggal 03 Juli 2013, muncul lagi panggilan yang dikeluarkan Termohon, yang disebut Panggilan II, dengan surat Nomor: Sp.Pgl/290A/VII/SUBDIT-II/Ditreskrimsus tertanggal 03 Juli 2013; Dalam Surat Panggilan ini, Pemohon dipanggil Termohon untuk hadir dan dimintai keterangan sebagai Tersangka pada hari Selasa tanggal 09 Juli 2013; Panggilan ini ditandatangani AKBP J. David Siregar selaku Kasubdit II Krimsus Polda Lampung; Tertera dalam surat panggilan tujuan pemeriksaan dalam rangka penyidikan tindak pidana meskipun isinya sudah memanggil status Tersangka, DAN YANG LEBIH JANGGAL, PANGGILAN INI, SEBAGAIMANA DISEBUTKAN DALAM ANGKA 4 SURAT TERSEBUT, BERDASARKAN “SURAT Kejati Lampung Nomor: B-2271/N.8.4/Euh.1/6/2013 tertanggal 21 Juni 2013 bahwa kasus a quo telah lengkap (P.21). Artinya BAHWA: DALAM PENANGANAN KASUS INI BAHWA ADA TIGA STATUS BERSAMAAN TERTANGGAL 21 JUNI 2013 YAKNI: DALAM RANGKA PENYIDIKAN, DALAM RANGKA PEMERIKSAAN TERSANGKA, DAN SEKALIGUS KASUS SUDAH P21;
POKOK MASALAH PRAPERADILAN:
- Pemohon Tidak Pernah Diperiksa Dalam Tahap Interogasi/Undangan, Status Sebagai Saksi, Pemohon Langsung Dijadikan Tersangka Tanpa Bukti Permulaan Yang Cukup, Dan Terlapor Tidak Pernah Dilaporkan Delik Aduan Pasal 335 KUHP, Termasuk Adanya Percampuran Pidana Khusus Dan Umum Yang Pencarian Alat Bukti Tidak Sesuai Hukum
- Bahwa Laporan Polisi Nomor: LP/84/II/2013/LPG/SPKT tertanggal 12 Februari 2013 dengan Terlapor Syamsul Arifin yang dijadikan menjerat Terlapor/Pemohon adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Transaksi Elektronik atau kasus Lex Specialis/Kriminal Khusus, yang mana kasus ini adalah delik aduan yang oleh karenanya menggunakan dasar-dasar dalam teknis pembuktian pidana Khusus; Terlapor tidak melaporkan pasal aduan lainnya dalam kasus Pidana Umum seperti Pasal 335 KUHP;
- Bahwa bunyi Pasal 335 KUHP Ayat (1) butir 1 dan 2, dan Ayat (2) sebagai berikut:
“Ayat (1):
Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
- barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;
- barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.
Ayat (2):
Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.”
- Bahwa bahwa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU- XI/2013, frasa “perbuatan tidak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP telah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi/MK, MK menyatakan bahwa frasa, “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga, Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP selengkapnya berbunyi:
“Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.”
- Bahwa Termohon telah mengarang sendiri, dengan menciptakan pasal baru yang tidak pernah diadukan atau dilaporkan oleh Pelapor, sehingga perbuatan Termohon yang memasukkan pasal 335 KUHP bertentangan dengan Pasal 335 KUHP Ayat (2) yakni:
“Ayat (2):
Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.”
- Bahwa dengan sendirinya, sesuai akibat hukum dalam pencarian bukti, dengan munculnya Pasal 335 KUHP yang tidak pernah dilaporkan, maka tidak mungkin secara logika hukum dan fakta adanya bukti permulaan yang cukup dalam perkara a quo; KARENA PENCARIAN SEMUA ALAT BUKTI HANYA DARI YANG MENGADUKAN ATAU ATAS PENGADUAN ORANG YANG TERDUGA TERKENA. Artinya penyidik telah menciptakan sendiri pasal yang tidak pernah diadukan atau dilaporkan, yang menadakan bahwa tidak adanya alat bukti permulaan yang cukup;
- Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU–XII/2014 “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia);
- Bahwa menyangkut praperadilan, Mahkamah Konstitusi menegaskan, sesuai Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU–XII/2014, barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian tidaklah dapat terlepas dari pasal yang disangkakan yang BERISI RUMUSAN DELIK yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti: “…“bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP harus dimaknai “minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184” yang tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, namun juga meliputi barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal dengan istilah physical evidence atau real evidence yang tentunya tidaklah dapat terlepas dari pasal yang disangkakan, yang pada HAKEKATNYA PASAL YANG AKAN DIJERATKAN BERISI RUMUSAN DELIK yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti.”
- Bahwa menjadi PERTANYAAN ialah: Apa bukti permulaan yang cukup sebagai alat bukti dan barang bukti physical evidence/real evidence SEBELUM MENETAPKAN TERSANGKA sesuai rumusan delik pasal yang disangkakan untuk pasal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 KUHP sementara Pelapor saja tidak pernah melaporkan delik aduan tersebut? DAN APA bukti permulaan yang cukup sebagai alat bukti dan barang bukti physical evidence/real evidence SEBELUM MENETAPKAN TERSANGKA sesuai pasal yang disangkakan berdasar Laporan Polisi Nomor: LP/84/II/2013/LPG/SPKT tertanggal 12 Februari 2013 dalam dugaan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Transaksi Elektronik? Dan di tahap mana (penyelidikan, atau Penyidikan, atau penetapan Tersangka) bukti ditemukan?;
- Bahwa karena yang digugat/dimohonkan Pemohon adalah mengenai tidak sahnya penetapan tersangka dan pembatalan semua akibat hukumnya, maka sudah barang tentu mengarah pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU–XII/2014, mengenai “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP harus dimaknai “minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184” yang tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, namun juga meliputi barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal dengan istilah physical evidence atau real evidence yang tentunya TIDAKLAH DAPAT TERLEPAS DARI PASAL YANG DISANGKAKAN, YANG PADA HAKEKATNYA PASAL YANG AKAN DIJERATKAN BERISI RUMUSAN DELIK yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti;
- Bahwa Pemohon tidak pernah diperiksa sama sekali pada tahap penyelidikan dan penyidikan, TERMASUK TIDAK PERNAH DIPANGGIL DALAM TAHAP SAMA SEKALI PADA TAHAP PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN, Pemohon LANGSUNG DIPANGGIL DENGAN STATUS TERSANGKA, bagaimana jadinya memenuhi RUMUSAN DELIK yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti SEBAGA DASAR MINIMAL ALAT BUKTI? Hal ini berakibat pada semua Tindakan Termohon harus dinyatakan cacat hukum dan layak serta HARUS dibatalkan dengan segala akibat hukumnya;
- Bahwa di sisi lain, Mahkamah Konstitusi menilai syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu;
- Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan/Dipanggil dalam kapasitas Pemohon sebagai Terperiksa, Saksi, dan calon tersangka untuk Laporan Polisi Nomor: LP/84/II/2013/LPG/SPKT tertanggal 12 Februari 2013 dengan Pelapor bernama Napoli Situmorang, sehingga jelas terlihat adanya kecacatan hukum dalam penetapan Pemohon sebagai tersangka atau belum adanya pemenuhan hukum dalam pencarian alat bukti;
- Bahwa dengan memperhatikan tindakan Termohon dalam rangka penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus a quo belum memenuhi unsur berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 terkait Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP, dan harus sesuai dengan rumusan delik terutama mengenai keberadaan alat bukti real evidence;
- Bahwa tindakan Termohon tidak memenuhi ketentuan prosedural rangkaian peningkatan status hukum hingga penetapan tersangka, sebagaimana dimanatkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU – XII/2014 tanggal 28 April 2015, aturan Pasal 1 angka 14 KUHAP harus dimaknai: “Tersangka adalah seorang yang KARENA PERBUATANNYA ATAU KEADAANNYA, berdasarkan “minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 ”patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”
- Bahwa Surat Panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon tidak pernah membuktikan Pemohon diperiksa sebagai calon tersangka, Pemohon langsung dipanggil sebagai Tersangka oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon, dan perbuatan Termohon seperti mengeluarkan penetapan dan berbagai penetapan upaya paksa tidak sah dan cacat hukum, dan harus dibatalkan dengan segala akibat hukumnya;
- Bahwa sesuai Pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, mengatur sebagai berikut: “Kegiatan penyidikan dilaksanakan secara BERTAHAP meliputi:
- penyelidikan; b. pengiriman SPDP; c. upaya paksa; d. pemeriksaan; e. gelar perkara; f. penyelesaian berkas perkara; g. penyerahan berkas perkara ke penuntut umum; h. penyerahan tersangka dan barang bukti; dan i. penghentian Penyidikan.”
- Bahwa tahapan-tahapan dalam Pasal 15 Perkap Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, diartikan sebagai langkah yang harus dilalui sesuai urutan, sehingga apabila dilangkahi satu tahapan saja, maka sepatutnya menurut hukum harus dipandang sebagai kesalahan dan menjurus pada unfair prejudice atau melanggar hukum dalam proses penyelidikan dan penyidikan;
- Bahwa menurut hukum urutan status dan penanganan perkara penyelidikan dan penyidikan bahwa status Terlapor tidak dapat langsung dijadikan tersangka sebelum melewati proses pemeriksaan status sebagai Terperiksa, Saksi (setelah naik sidik), dan Tersangka;
- Bahwa dalam kasus a quo, Termohon sudah menetapkan tersangka tanpa memenuhi prosedur hukum yang benar, dengan langsung menjadikan Pemohon sebagai Tersangka, sehingga tidak terungkap hubungan hukum antara kasus yang dilaporkan (delik aduan) dengan tahapan waktu pencarian dan jenis alat bukti (apakah bukti ditemukan dalam tahap lidik? Atau bukti ditemukan dalam tahap sidik? Atau bukti yang cukup belum ada meskipun sudah keluar penetapan tersangka?).
Maka oleh karena itu, bercampur aduknya pasal krimsus dan krimum termasuk adanya delik aduan, membuat semua Tindakan Termohon tidak jelas dan sangat membingungkan, maka semua Tindakan yang dilakukan oleh Termohon dalam penetapan Pemohon sebagai Tersangka harus dinyatakan cacat prosedur; Dengan kata lain tindakan Termohon dalam tahapan pencarian bukti yang dikaitkan dengan peningkatan status Pemohon tidak sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU – XII/2014 tanggal 28 April 2015, frasa “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 yang dijadikan dasar patut diduga karena perbuatannya sebagai pelaku tindak pidana adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Artinya secara hukum, minimal dua alat bukti yang sah itu bertitel “Pro Justisia” yang ditemukan/didapat oleh Penyidik dalam tahap penyidikan BUKAN BUKTI-BUKTI YANG DITEMUKAN/DIDAPAT DARI TAHAP PENYELIDIKAN; Dan dalam kasus a quo, tidak jelas kapan bukti permulaan yang cukup ditemukan, apakah pada tahap penyidikan? Setelah penetapan Tersangka? Atau saat masih dalam tahap penyelidikan?;
- BAHWA YANG LEBIH JANGGAL DAN TIDAK MASUK LOGIKA DAN NALAR HUKUM KETIKA pada tanggal 03 Juli 2013, muncul panggilan yang dikeluarkan Termohon, yang disebut Panggilan II, dengan surat Nomor: Sp.Pgl/290A/VII/SUBDIT-II/Ditreskrimsus tertanggal 03 Juli 2013; Dalam Surat Panggilan ini, Pemohon dipanggil Termohon untuk hadir dan dimintai keterangan sebagai Tersangka pada hari Selasa tanggal 09 Juli 2013; Tertera dalam surat panggilan tujuan pemeriksaan dalam rangka penyidikan tindak pidana meskipun isinya sudah memanggil status Tersangka, DAN YANG LEBIH JANGGAL DALAM PANGGILAN INI DISEBUTKAN DALAM ANGKA 4 SURAT TERSEBUT YANG MENYATAKAN SURAT DIBUAT BERDASARKAN “Surat Kejati Lampung Nomor: B-2271/N.8.4/Euh.1/6/2013 tertanggal 21 Juni 2013 bahwa kasus a quo telah lengkap (P.21). Artinya BAHWA: DALAM PENANGANAN KASUS INI: ADA TIGA STATUS BERSAMAAN TERTANGGAL 21 JUNI 2013 YAKNI: DALAM RANGKA PENYIDIKAN, DALAM RANGKA PEMERIKSAAN TERSANGKA, DAN SEKALIGUS KASUS SUDAH P21. Hal ini di luar nalar!
- Bahwa prosedur pengumpulan alat bukti Termohon, yang digunakan menetapkan Syamsul Arifin sebagai Tersangka, harus dinyatakan batal demi hukum dan segala akibat hukumnya, karena tanpa perlindungan hak Tersangka dari tindakan pencarian bukti;
- Bahwa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU – XII/2014 Halaman 98: “…. Penyidik dalam rangkaian tindakan penyidikan melakukan suatu Proses pengumpulan bukti yang dengan bukti itu kemudian penyidik menemukan tersangka dalam suatu tindak pidana sehingga tidak serta merta penyidik menemukan tersangka sebelum melakukan pengumpulan bukti sebagai mana yang ditentukan dalam pasal Pasal 1 Angka 2 KUHAP…..”
- Bahwa juga tindakan Termohon harus dinyatakan cacat dan batal demi hukum karena tidak sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU – XII/2014 tanggal 28 April 2015 Hal 4: “……Perlindungan yang diberikan oleh hukum acara pidana ini termasuk perlindungan dari tindakan pencarian bukti, kesalahan yang tidak masuk diakal dan menjurus unfair prejudice atau penyitaan terhadap barang dengan cara melanggar hukum dalam proses penyelidikan, dan penuntutan yang tidak berdasarkan atas hukum serta proses peradilan yang memihak (unlawful legal evidence)”.
Berdasar argumen dan fakta yuridis di atas, Pemohon mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Cq. Hakim Tunggal Praperadilan Yang Memeriksa Dan Mengadili perkara a quo berkenan menjatuhkan amar putusan sebagai berikut:
- Menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
- Menyatakan Surat Perintah Penyidikan (SP.Sidik) untuk kasus a quo dengan Nomor: SP.Sidik /50/II/2013/Ditreskrimsus tertanggal 15 Februari 2013 atas dasar Laporan Polisi Nomor: LP/84/II/2013/LPG/SPKT tertanggal 12 Februari 2013 dengan Terlapor Syamsul Arifin/Pemohon, dengan Pelapor bernama Napoli Situmorang terkait Perkara dugaan tindak pidana Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berupa dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (3) jo. Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 310 KUHP yang diterbitkan oleh Termohon adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Menyatakan Penetapan Syamsul Arifin/Pemohon yang dilakukan oleh Termohon dengan berdasar pada Surat Perintah Penyidikan (SP.Sidik) dengan Nomor: SP.Sidik/50/II/2013/Ditreskrimsus tertanggal 15 Februari 2013 adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Menyatakan segala keputusan atau penetapan upaya paksa atas Pribadi Tersangka Syamsul Arifin/Pemohon yang dilakukan Termohon adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat serta batal dengan segala akibat hukumnya;
- Menyatakan tidak sahnya segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka Syamsul Arifin/Pemohon;
- Menyatakan penanganan Perkara kasus dugaan tindak pidana kasus a quo atas nama Syamsul Arifin/Pemohon terkait Perkara pasal yang disangkakan harus dihentikan;
- Memerintahkan untuk memulihkan harkat dan nama baik Tersangka;
- Membebankan biaya kepada Negara.
Apabila Hakim Tunggal Yang Mulia berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil – adilnya (ex aequo et bono).
Bandar Lampung, 29 September 2020
SALAM HORMAT
David Sihombing, S.H, Ziggy Zeaoryzabrizkie, S.H.,M.H (red/rilis)