JAKARTA�� �Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertimbangkan penundaan proses penegakan hukum pasangan calon (paslon) kepala daerah yang maju di Pilkada Serentak 2020. Dengan demikian posisi beberapa paslon yang diduga terlibat perkara korupsi di daerahnya masing-masing sementara �aman�. Tak tercuali calon kepala daerah di Provinsi Lampung, khususnya Kabupaten Lampung Selatan (Lamsel), Nanang Ermanto.

�Kami memahami pertimbangan penundaan proses hukum bagi peserta pilkada agar proses hukum tak disalahgunakan kepentingan politis. KPK masih mempertimbangkan kebijakan itu apakah diperlukan atau tidak,� kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron kepada wartawan, Sabtu (5/9/2020).

Menurutnya, setiap kasus yang tengah ditangani KPK telah mempunyai Standar Operasional Prosedur (SOP). �Tidak mungkin ditersangkakan, ditahan dan seterusnya kecuali memenuhi syarat dan prosedur yang sangat ketat,� jelasnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan pihaknya meyakini proses hukum sesuai peraturan. Sebaliknya, tak akan ada intervensi proses hukum yang dijalani. �Tidak akan terintervensi tekanan, desakan kemauan politik dalam masa pilkada ini, malah sebaliknya jangan sampai proses politik yang biaya dan keterlibatan masyarakatnya tinggi namun tak mengungkapkan semua sisi dari para calon kepala daerah agar pilkada 2020 ini mampu menemukan pemimpin daerah berintegritas,� pungkasnya.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Idham Azis sudah memerintahkan jajarannya menunda proses penegakan hukum paslon kepala daerah yang akan maju di Pilkada 2020. Perintah tertuang dalam Surat telegram bernomor ST/2544/VIII/RES.1.24./2020 per tanggal 31 Agustus 2020.

Seperti diketahui KPK beberapa waktu lalu menggeledah Kantor Bupati dan Dinas PUPR Lamsel. KPK membenarkan telah menetapkan Asisten II bidang Ekonomi dan Pembangunan (Ekobang) Setdakab Lamsel, Hermansyah Hamidi sebagai tersangka hasil pengembangan kasus suap fee proyek infrastruktur terpidana mantan Bupati Lamsel, Zainudin Hasan dan beberapa terpidana lain. Penetapan tersangka, berdasarkan SPDP Nomor B/176/DIK00/230/07/2020 yang diterbitkan KPK tanggal 30 Juni 2020 dengan menetapkan Hermansyah Hamidi sebagai tersangka. Dalam SPDP yang ditandatangani penyidik KPK Brigjen Seto Budiyanto tanggal 1 Juli 2020, Hermansyah Hamidi disangka Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi karena telah menerima fee pengerjaan proyek infrastruktur Pemkab Lamsel.

�Benar, itu surat SPDP yang dikeluarkan KPK dan ditujukan ke pihak yang tertera namanya disana (SPDP). Namun, kami belum bisa memberikan informasi spesifik karena masih melakukan serangkaian kegiatan penyidikan,�kata Plt Juru bicara KPK, Ali Fikri.

�Untuk pihak-pihak yang ditetapkan sebagai tersangka, belum bisa kami sampaikan saat ini. Nanti, tentu akan kami informasikan lebih lanjut hasil perkembangannya,�ungkapnya.

Sebelumnya diberitakan Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi Bupati nonaktif Lamsel Zainudin Hasan. Itu membuat mantan Ketua DPD PAN Lampung yang juga adik kandung mantan Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan tetap dihukum 12 tahun penjara. Kini KPK telah mengeksekusi terpidana Zainudin Hasan guna menjalani masa hukuman penjara. Selain itu, Zainudin dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp66 miliar.

Zainudin dinyatakan terbukti korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Aset senilai Rp40 miliar yang telah disita akan dirampas. Sisanya, Rp66 miliar, wajib dikembalikan Zainudin Hasan. Bila tak membayar, hartanya disita jaksa untuk dilelang dan disetor ke negara. Bila masih kurang, hukuman Zainudin ditambah 18 bulan penjara.

Atas vonis ini, Wiliyus Prayietno, S.H., M.H., advokat yang juga Ketua Lembaga Transformasi Hukum Indonesia (THI) sebelumnya minta KPK mengusut pihak lain yang juga terlibat kasus ini. Mereka Sahroni sebagai pejabat di Dinas PUPR Pemkab Lamsel. Lalu, Ahmad Bastian SY, anggota DPD RI dan Nanang Ermanto, Wakil Bupati Lamsel yang kini telah naik sebagai Bupati Lamsel. Terakhir Bobby Zulhaidir, wiraswasta dan orang kepercayaan Zainudin.

�Mereka ini layak dan sudah jelas harus ditetapkan�tersangka, karena terbukti tindak pidana korupsi sesuai fakta dipersidangan terpidana Zainudin Hasan dkk. Tidak ada alasan KPK �mengaburkan� atau memghilangkan keterlibatan mereka,� tegas Wiliyus.

KPKAD Lampung juga pernah mendesak jaksa KPK dan Pengadilan Tipikor bisa menindaklanjuti fakta di sidang perkara korupsi dugaan fee setoran proyek pada dinas PUPR Lamsel. Mereka meminta jaksa KPK dan hakim mengambil langkah hukum,�khususnya nama yang muncul yang diduga ikut menerima aliran dana fee proyek dari dinas PU PR Lamsel.

Menurut KPKAD, atas fakta ini penegak hukum dipandang perlu meningkatkan status Nanang Ermanto. Yakni menjeratnya Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 12 dan 15 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Sehingga,�penegakan hukum bisa�sesuai adagium dan asas hukumnya yakni equality before the law dan tanpa pandang bulu.

�Fakta persidangan harus ditindaklanjuti, jika tidak maka akan menambah rentetan panjang dugaan�pengungkapan tindak pidana korupsi yang setengah hati,� tegas Presidium Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah (KPKAD) Lampung Ginda Ansyori Wayka.

Di sejumlah persidangan nama Nanang disebut�menerima uang Rp480 juta dalam kurun 2017-2019. Uang itu ia terima dari empat orang.�Dua di antaranya adalah terdakwa anggota DPRD Lampung Agus Bhakti Nugroho dan mantan Kadis PUPR Lamsel Anjar Asmara. Selain dari Agus dan Anjar, Nanang mengaku terima uang dari Kepala Bidang Pengairan Sahroni dan mantan Kadis PUPR Lamsel Hermansyah Hamidi. Sebelum menerima uang, Nanang mengaku terlebih dulu memberi tahu Zainudin.

�Saya mintanya selalu dengan bupati. Tapi ngasihnya lewat Syahroni, ABN (Agus BN), Hermansyah, dan Anjar,� kata Nanang saat bersaksi dalam sidang lanjutan kasus fee proyek Dinas PUPR Lamsel dengan terdakwa Agus BN dan Anjar Asmara, di PN Tipikor Tanjungkarang.

Nanang mengakui telah mengembalikan uang Rp 480 juta itu melalui KPK. Pengakuan Nanang ternyata tidak sesuai hasil berita acara pemeriksaan, pasalnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Subari Kurniawan mengaku�Nanang menerima total Rp 960 juta selama 2017-2018. Rinciannya, Rp 510 juta dari Sahroni, Agus BN, dan Hermansyah pada 2017. Kemudian, Rp 450 juta dari Agus BN dan Anjar pada 2018.

�Jadi, saya bacakan ini, di BAP. Pada 2017, Saudara Saksi (Nanang) menerima uang dari Sahroni, ABN, dan Hermansyah, total Rp 510 juta. Dan pada 2018, Saudara Saksi menerima uang dari ABN dan Anjar. Total Rp 450 juta,� paparnya.

Tak hanya KPKAD yang mendesak KPK. Hal sama ditegaskan tokoh masyarakat Lampung, M. Alzier Dianis Thabranie. Ini menyikapi soal pengakuan Nanang Ermanto yang mengaku telah menerima uang ratusan juta rupiah dari pihak yang terlibat kasus fee proyek ini. Bahkan karena perbuatannya, Nanang Ermanto mengaku telah mengembalikan uang yang diterimanya ke KPK senilai Rp480 juta.

�Pertanyaannya darimana saksi Nanang Ermanto bisa dapat uang sebegitu besar di waktu singkat. Kalau gaji sebagai Plt Bupati, jelas tak mungkin. Untuk itu KPK harus jeli mengusut asal muasal uang pengembalian Rp480juta,� terang Alzier beberapa waktu lalu.

Menurut Alzier, agak aneh dimana di persidangan, Nanang mengaku tak memiliki uang. Dia pun lantas mau saja menerima bahkan memaksa minta uang ratusan juta ke pihak yang terlibat kasus fee proyek. Seperti dari tersangka, Agus BN dan Anjar Asmara, serta makelar proyek Sahroni, Kabid Pengairan Dinas PUPR Lamsel. Namun nyatanya, begitu kasus ini mencuat, dimana Bupati Lamsel, Zainudin Hasan ditangkap, dan Nanang kemudian ditunjuk jadi Plt Bupati Lamsel, tiba-tiba dia langsung memiliki uang Rp480juta untuk dikembalikan ke KPK.

�KPK harus patut curiga soal asal muasal uang pengembalian itu. Rasanya tak mungkin kalau dari gaji sebagai Plt Bupati. Apalagi uang yang dikembalikan cukup besar Rp480juta. Ini harus diusut KPK. Jangan sampai uang ini bersumber dari fee proyek dan sebagainya. Dimana kini, Nanang Ermanto sudah berstatus sebagai Plt Bupati. Sekali lagi KPK harus berani usut masalah ini,� tandas Alzier waktu itu.

Selain itu, lanjut Alzier yang harus diingat pengembalian uang korupsi milik negara, tak menghilangkan kasus pidana atau perbuatan melawan hukum. Melainkan hanya menjadi salahsatu pertimbangan jaksa dan hakim untuk menentukan tuntutan dan vonis penjara.

�Karenanya sekali lagi saya minta KPK berani mengusut kasus ini hingga keakar-akarnya. Dalam hukum, jangankan ratusan juta. Menikmati Rp1juta hasil korupsi, itu kejahatan. Lalu Sahroni, jelas disurat dakwaan berperan memuluskan praktek suap mengatur proyek di Lamsel. Kemudian ada nama Ahmad Bastian dan Bobby Zulhaidir, sebagai kontraktor. Ini harus diproses dan dibui semua. Bila perlu tetapkan sebagai tersangka TPPU. Jangan hanya Zainudin Hasan,� harap Alzier.(red)