JAKARTA- UU Pilkada digugat ke Mahkamah Konstitusi. Ada tiga Pemohon yang meminta MK untuk mengatur kotak kosong dalam pilkada di seluruh daerah Indonesia bisa menjadi opsi.
Gugatan itu diterima MK pada 5 September 2024. Tiga pemohonnya adalah Heriyanto (pengacara), Ramadansyah (wiraswasta), dan Raziv Barokah (karyawan swasta).
Dikutip dari permohonan di situs MK pada Senin (9/9), ketiga pemohon itu mengaku hak konstitusionalnya dirugikan dengan aturan UU Pilkada yang saat ini berlaku.
Pemohon I adalah Heriyanto yang juga pernah menjadi Tenaga Ahli di Bawaslu. Selaku pemilih di Banten, dia merasa gelisah dan gundah melihat calon Gubernur Banten dan Wali Kota Tangerang yang akan berkontestasi.
“Tidak ada satu pun sesuai harapan pemohon,” ujar Heriyanto dalam permohonan.
Ia menyebut bahwa ada salah satu pasangan calon yang satu mewakili dinasti/oligarki kekuasaan yang sebelumnya pernah tersandung kasus korupsi. Bahkan orang terdekat yang satu ranjang dari cagub tersebut juga terlibat juga dalam kasus korupsi. Ia khawatir bahwa cagub itu sebagai sebagai seorang istri tidak mampu menolak pengaruh buruk yang berpotensi timbul di kemudian hari bagi pemerintahan.
Selain itu, cagub lainnya dinilai bisa maju dikarenakan atasannya yang juga Anggota DPR RI dapil Banten memiliki kuasa dan pengaruh bahkan pengendali di dalam KIM Plus. Menurut Heriyanto, Anggota DPR itu tidak hanya memajukan stafnya di Banten, tetapi juga memajukan staf lainnya sebagai calon wakil gubernur sumatera barat.
Heriyanto tak menyebutkan identitas calon yang dimaksudnya tersebut di atas.
Lantaran tidak ada calon pemimpin yang dikehendakinya, Heriyanto menyebut bahwa selaku pemilih maka pilihannya hanya ada dua ketika datang ke TPS. Memilih semua pasangan calon/mencoblos di luar kotak pasangan calon atau membiarkan surat suara tidak tercoblos. Kedua opsi itu bakal dianggap suara tidak sah.
Padahal, menurut dia, suara ketidaksetujuan tersebut merupakan bagian kedaulatan rakyat dan kebebasan berekspresi. “Dan itu dilindungi oleh konstitusi UUD NRI 1945,” ujar Heriyanto dalam permohonan.
Ia pun merasa iri dengan pemilih di daerah dengan calon tunggal. Sebab, MK sudah melindungi suara ketidaksetujuan (blank vote) terhadap pasangan calon tunggal menjadi suara sah dalam bentuk kotak kosong yang dapat dicoblos.
Pemohon II adalah Ramadansyah. Ia adalah Ketua Panwaslu Pilgub DKI 2012 yang juga mantan Sekjen Partai IDAMAN.
Dalam paparannya, ia menyinggung soal Anies Baswedan yang dipandang telah berhasil menjalankan tugasnya sebagai Gubernur Jakarta 2017-2022. Ia berharap keberhasilan Anies memimpin Jakarta untuk dilanjutkan pada periode keduanya.
Secara survei, lanjutnya, Anies Baswedan lebih unggul dari beberapa kandidat lain untuk Pilkada Jakarta.
Ia pin menyinggung soal putusan MK yang menurunkan ambang batas Pilkada. Sehingga membuat Anies memiliki peluang besar menjadi Gubernur Jakarta. Namun, Anies tetap tidak dapat maju karena menurutnya dijegal.
“Tidak terpilihnya Anies Baswedan dikarenakan adanya upaya penjegalan dari kartel politik dalam demokrasi di Indonesia yang mencegah calon pemimpin potensial menjadi pemimpin kepala daerah,” ujar Ramadansyah.
Ia pun menyatakan mengalami kerugian konstitusional ketika calon yang diharapkan dapat diusung oleh partai politik. Namun tertolak oleh keberadaan kartel politik.
“Ada hak dasar warga negara yang hilang untuk memilih dengan bebas sesuai hati nurani,” ujarnya.
Pemohon III adalah Raziv Barokah. Ia merupakan advokat dari kantor hukum Integrity yang juga pendukung Persija Jakarta, Jakmania.
Menurut dia, Anies merupakan Gubernur Jakarta kedua setelah Sutiyoso yang memiliki perhatian lebih kepada Persija. Anies merupakan gubernur yang membangun Jakarta International Stadium (JIS).
Ia pun menyinggung soal Ridwan Kamil yang saat ini maju sebagai kandidat Gubernur Jakarta merupakan pendukung Persib Bandung, saingan dari Persija Jakarta dan Jakmania.
Selain itu, Raziv menyebut Anies memiliki survei tertinggi sebagai Gubernur Jakarta. “Namun terganjal oleh sekelompok elite yang tergabung di dalam KIM Plus,” ujar dia dalam permohonannya.
“PDIP yang semula ingin mengusung Anies Baswedan pun diduga terganjal sehingga tidak jadi mengusung,” sambungnya.
Para Pemohon menyebut bahwa kondisi saat ini membuat masyarakat dipaksa memilih kandidat yang menjadi pilihan elite/kartel partai politik. Bila masyarakat memilih suara kosong atau blank vote maka suara masyarakat tersebut akan dinyatakan tidak sah. Hal tersebut, menurut Pemohon, melanggar prinsip kedaulatan rakyat dan persamaan di hadapan hukum.
Menurut mereka, blank vote biasanya dianggap sebagai suara sah. Sebab, pemilih mengikuti semua prosedur yang benar meskipun pemilih tidak memilih kandidat mana pun. Beda dengan invalid vote yang dianggap tidak sah karena penyimpangan terhadap aturan pemilihan.
Minta 5 Pasal UU Pilkada Diubah
Berdasarkan sejumlah argumen tersebut, para Pemohon meminta agar MK mengubah sejumlah ketentuan untuk membuat opsi kotak kosong tersebut. Berikut ketentuan UU Pilkada yang diminta Pemohon untuk diubah MK:
Pasal 79 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015
“Surat Suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf b memuat foto, nama, dan nomor urut calon, dan kolom kosong sebagai wujud pelaksanaan suara kosong”
Pasal 85 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015
Pemberian suara untuk pemilihan dapat dilakukan dengan cara:
- Memberi tanda satu kali pada surat suara, baik pada pasangan calon maupun kolom kosong; atau
- Memberi suara melalui peralatan pemilihan suara suara secara elektronik
Pasal 94 UU Nomor 8 Tahun 2015
Surat suara untuk Pemilihan dinyatakan sah jika:
- Surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan
- Pemberian tanda satu kali pada nomor urut, foto, atau nama salah satu Pasangan calon dalam surat suara atau pada kolom kosong.
Pasal 107 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016
Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang memperoleh suara terbanyak dan mengalahkan Suara Kosong (Blank Vote) ditetapkan sebagai Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota Terpilih
Pasal 109 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016
Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak dan mengalahkan Suara Kosong (Blank Vote) ditetapkan sebagai Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Terpilih
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” bunyi petitum para Pemohon.(kumparan.co/net)